Ada beberapa titik masalah yang saya lihat dalam hal ini. Masalah yang mudah dilihat adalah lemahnya peran social influencer untuk menggiring masyarakat(netizen) kedalam pagar moral yang seharusnya. Mereka malah mempertontonkan tindakan amoral yang tidak seharusnya dilakukan. Misalnya adalah konten yang dibuat oleh para editor Indonesia terkait video prank Ferdinan Paleka. Mereka dengan gamblang membuli Ferdinan(bukan fokus tindakannya) dengan kedok skill editing. Begitupun dengan social influencer lainnya dengan kedok masing-masing.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa mereka itu budak views yang bisa melakukan banyak hal, termasuk hal-hal amoral. Pertanyaannya sekarang adalah, apa bedanya mereka dengan Ferdinan Paleka? Mereka tidak sadar bahwa tindakan mereka telah menjadi undangan terbuka bagi publik untuk memproduksi komentar-komentar amoral dan tidak berpendidikan. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa karakter netizen kita yang demikian tidak bisa lepas dari pengaruh social influencer yang cenderung memiliki mental budak views.
Hal ini sebenarnya tidak beda jauh dari pihak-pihak lainnya yang menyulut api amoral ditengah masyarakat. Apa yang seharusnya menjadi tugas sosial mereka diabaikan demi kepentingan views dan sensasi. Hal yang sangat disayangkan untuk negara sebesar ini.
Satu hal yang ditakutkan adalah disorientasi moral ditengah masyarakat. Kalaupun moral masyarakat sudah mulai membaik, masyarakat tidak takut lagi dengan perbuatan amoralnya karena kesadaran penuh dalam dirinya bahwa perbuatan itu salah. Namun, masyarakat melakukan tindakan netral atau bermoral karena takut dibully oleh orang lain dan orang-orang yang seharusnya membimbing.Â
Masyarakat dibimbing oleh katukutan, bukannya hati nurani yang benar-benat bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Jika kerangka moral bangsa kira adalah sebuah mekanisme untuk bertahan dari segala macam pengaruh buruk baik dari dalam ataupun luar, maka agaknya masalah ini merupakan sebuah kerusakan besar yang harus segera diatasi.
Masyarakat perlu sebuah kesadaran radikal bahwa standarisasi moral yang berlaku di Indonesia itu ditujukan untuk kebaikan bersama.Â
Stereotype yang mengatakan bahwa ada konsekuensi netizen yang siap membantai perbuatan amoral secara amoral sebaiknya dihilangkan. Stereotype itu justru semakin menghilangkan integritas kita sebagai mahkluk bermoral. Jadi kita bermoral bukan karena takut masyarakat(netizen), tetapi karena kita tahu mana yang benar dan mana yang salah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H