Sebagaimana sebuah sistem sosial/masyarakat eksis dalam kehidupan, manusia sendiri juga perlu sebuah kerangka etika atau moral untuk menuntun kehidupannya. Moral itupun menurut hemat saya tumbuh dan berkembang dari budaya manusia. Dengan kata lain, arah atau kiblat moral dijalankan/distandarisasi itu mengikuti pergerakan budaya manusia.
Setiap manusia atau kelompok manusia punya kerangka acuan moralnya masing-masing. Hal ini sebanarnya wajar-wajar saja. Â Manusia merupakan mahkluk berbudaya, yang mana budaya tersebut akan membentuk seperti apa standar moral yang digunakan dalam lingkungan budaya manusia terkait. Secara umum memang moral tidak dapat dikawinkan dengan budaya khusus atau lokal. Moral memiliki daerahnya sendiri.
Dalam filsafat standarisasi etika atau moral memang tidak hanya berlalu bagi sebagian orang, tetapi berlaku secara umum. Hal ini berarti etika(dalam artian filsafat) sendiri tidak mengindahkan beradanya adat-istiadat yang tentunya berbeda pada setiap daerah.Â
Sesuatu yang dipandang salah oleh budaya tertentu belum ditentu dipandang salah juga oleh budaya yang lain. Wajar saja, adat-istiadat pada umunya punya jalan pikiran yang tidak sesuai dengan standar kebenaran ilmu filsafat.
Terlepas dari itu semua, kita sebagai masyarakat Indonesia punya sebuah standar nyata yang sama akan benar dan salahnya sesuatu. Kita punya norma hukum, norma agama, norma kesusilaan, dan norma-norma lainnya. Saya secara pribadi meyakini norma-norma tersebut berangkat dari sebuah keyakinan akan pentingnya etika moral dalam kehidupan bersama.
Akhir-akhir ini dunia maya dihebohkan dengan kasus Ferdinan Paleka. Menurut keterangan beberapa sumber pemberitaan, Ferdinan dipolisikan karena tindakan prank, yang kemudian dibawa ke ranah hukum. Netizenpun ramai memberikan komentar, dan hampir semuanya negatif. Beberapa mengutuk perbuatan Ferdinan, beberapa mencacimakinya, dan beberapa membuat parodi tindakannya.
Dari kasus ini dapat dikatakan bahwa Ferdinan Paleka semacam mendapat social judgement dari masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat luar negeri. Pihak kepolisian bahkan publik figur sekalipun tidak ketinggalan untuk membuat judgement  terbuka terhadap Ferdinan Paleka. Hal ini memang tidak dapat dipungkiri. Judgement tersebut muncul sebagai konsekuensi pelanggaran hukum sekaligus moral yang berlaku ditengah masyarakat.
Masalahnya adalah bagaimana judgement tersebut menyebar begitu cepat dan memicu judgement lain yang sering kali tanpa acuan etis. Dengan kata lain, banyak judgement yang hanya muncul sebagai bentuk asik-asikan masyarakat terhadap kasus ini. Alhasil judgement yang ada bukan hanya reaksi moral masyarakat terhadap kasus Ferdinan Paleka yang seharusnya mengkoreksi tindakan amoral tersebut, namun juga menghasilkan tindakan amoral baru.
Tindakan amoral menghasilkan tindakan amoral lainnya. Disini dapat dilihat seberapa masif kekuatan masyarakat untuk memproduksi tindakan amoral hanya dari sebauh wadah reaksi terhadap sebuah tindakan amoral. Menurut hemat saya, ini merupakan masalah serius bagi masyarakat kita, yang tanpa disadari telah merusak ketahanan moral bangsa kita.
Benar Indonesia merupakan negara demokrasi yang mana seluruh elemennya bebas untuk berpendapat. Namun, jika pendapat tersebut disampaikan secara tidak bermoral atau tidak etis, menurut saya itu tindakan kriminal massal. Dampaknya bukan lagi pada implementasi nilai-nilai demokrasi, tetapi pada bahaya kerusakan moral massal dalam masyarakat.
Demokrasipun kehilangan esensinya untuk membentuk masyarakat yang bertanggung jawab pada setiap perbuatannya kepada publik. Bukannya menuntun masyarakat kearah yang lebih baik, namun sebaliknya secara radikal pembawa masyarakat pada kerusakan massal akan etika moral. Etika moral yang seyogyanya dijadikan kedok untuk menghakimi perbuatan amoral.