Mohon tunggu...
Redemptus Rizky
Redemptus Rizky Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

'pura-pura' penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gadai Rosario

30 Juni 2019   04:51 Diperbarui: 18 Oktober 2019   02:19 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Entah kenapa refleksiku begitu mendalam hari ini. Sudah sehari lebih aku tak bisa tidur. Mataku memarah bukan main. Air mataku menetes setiap kali rasa pedih itu sudah tak bisa kutahan. Rasa kantukku yang luar biasa ini ternyata telah mati terbunuh olehnya. 'Rasa apa ini Tuhan?'  Demikian doaku. 'Apakah Kau sudah kugadai?'Doaku tak pernah terjawab. Air mataku  jatuh lagi.

---------------

Gereja lengang siang itu. Semua pengisah memilih bungkam. Apakah karena mereka sudah tahu akhir dari kisah itu? Aku tidak tahu sama sekali. Ini kedatanganku yang pertama setelah gereja ini kutinggalkan sejak paskah Maret lalu. Sebenarnya aku juga memilih bungkam, semata-mata karena sebelum akhir kisah aku akan memilih untuk mengundurkan diri. Anehnya, pesan cerita itu terus membawa nyanyiannya pada telinga kami berlima dengan begitu lembut. Tidak satu katapun yang hilang dari pesan yang ingin disampaikan. Setelah kutanya  para pengisah lain yang bungkam itu, rasa itu muncul semakin jelas. Jawaban mereka membuat rasa itu mengusai seluruh intuisiku malam itu. Ternyata mereka juga bungkam karena hal yang sama. Mereka, mereka juga  memilih mengundurkan diri ketika akhir kisah hampir diceritakan. Lalu, siapa yang melanjutkan kisahnya? Tidak ada orang lain yang tau kisahnya selain kami berlima. Bahkan bapa paus sekalipun. Apalagi bapak presiden. Kami duduk melingkar, mencemaskan apa yang harus kami lakukan.
 Ada seseorang dalam Hipotesisku. Hanya dia yang tau skenarionya selain kami para pengisah. Konon namanya;
 'Tuhan'.
--------------
Setiap malam aku akan lapar. Lapar yang cukup pedih, karena aku hanya akan makan 1 kali sehari. Uangku hanya dicukupkan demikian. Itulah mengapa aku akan begitu lapar pada malam hari. Sudah terhitung  sebulan lalu aku makan sekali sehari. Pada hari pertama, aku makan nasi kosong. Nasinya dibungkus, dan kuminta sedikit garam. Akupun pulang. Aku memakannya begitu lahap. 'Terimakasih Tuhan', demikian doa khusukku setelah nasi garam itu habis kulahap. Akupun tidur dengan nyenyak. Pada malam berikutnya, aku makan lagi. Kali itu, aku makan nasi sayur. Akupun pulang. Aku juga memakannya begitu lahap. Tak lupa pula aku bersyukur. Satu minggu berikutnya aku makan nasi sayur terus. Nasi garam sudah kutinggalkan. Satu minggu berikutnya aku merasa lebih bergizi. Sayur yang menemani nasiku tarnyata memberiku gizi yang lebih baik. Tak lupa aku selalu bersyukur setiap kali nasi sayurku sudah habis kulahap.Selama sekitar dua minggu lebih aku makan nasi sayur, tubuhku ternyata semakin sehat. Tanpa surat keterangan doktepun, aku sudah bisa merasakannya.
Minggu berikutnya uangku mulai menipis. Satu persatu barang kujual. Mulai dari gelas, sampai piring. Mulai dari baju, sampai celana. Mulai dari meja, sampai kursi. Semuanya hampir habis kujual. Minggu ketiga kujalani dengan baik. Giziku masih terjaga. Sampai akhirnya barangku benar-benar habis. Memasuki hari pertama minggu keempat, barangku telah benar-benar habis. Hanya tersisa 'barang' yang menggantung disekujur tubuhku. Aku memberanikan diri pergi kewarung untuk melamar kerja. Namun nihil, semua warung tak ada yang menerimaku. Mereka bilang,' kami tak suka dengan tanda dikepalamu'. Sempat ingin kuhapus tanda itu. Nihil juga. Tanda itu terlalu dalam tertulis dikepalaku. Tak ada cara lain, aku segera menjual baju yang kukenakan. Itu baju peninggalan ayahku. Uangnya hanya bisa membuatku bertahan selama sehari saja. Memasuki hari sabtu, kujual juga calanaku. Saat itu aku hampir 'mirip' dengan Yesus. Aku hampir telanjang bulat. Uangnya tak seberapa. Setelah semuanya habis, aku benar-benar tak punya apa-apa. Besoknya pada hari Minggu aku pergi kegereja, ketika semua orang sudah pulang dari Misa. Karung bekas kujadikan penutup tubuhku. Aku malu dengan Tuhan. Tiga menit kuberdoa, dan aku bergegas pulang. Kucari 'Tempat gadai' terdekat. Kutemui penjaganya. Kuraba-raba leherku. Kalung dekil dengan butir-butir bulat dan palang panjang diujungnya menggantung disana. 'Kali ini tidak kujual pak, digadai saja'. demikian kataku. Bapak itu membuka lacinya, dan mengeluarkan duit 5.000 rupiah. Aku merasa puas dan langsung bergegas ke warung. Malamnya aku tertidur sangat nyanyak. 'Terimakasih Tuhan', demikian aku berdoa.
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun