Mohon tunggu...
Risky Apriyandi P.N
Risky Apriyandi P.N Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran

Say seorang penggemar olahraga dan gaya hidup, serta perkembangan kehidupan di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perempuan dan Pendidikan di Awal Pergerakan Nasional

3 Juli 2024   16:30 Diperbarui: 3 Juli 2024   16:34 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Laporan Dinas Pendidikan pada 1928 menyatakan bahwa 58 persen dari perempuan Indonesia berhasil meraih ijazahnya pada tahun tersebut. Beberapa sekolah kejuruan untuk perempuan pun didirikan oleh pihak swasta. Sekolah yang berdiri paling awal kemungkinan adalah sekolah Tomohon (Minahasa) pada 1901. Sekolah-sekolah kerumahtanggaan, sekolah Van Deventer, sekolah Kartini, sekolah-sekolah misi Katolik dan Protestan merupakan inisiatif yang dilakukan oleh pihak Belanda, sementara inisiatif sekolah Muhammadiyah dan sekolah-sekolah lainnya berasal dari pihak swasta Indonesia. Di balik kesuksesan pengembangan sekolah-sekolah tersebut salah satunya adalah seorang tokoh perempuan, Rahma El Junusia dari Minangkabau. Ia menempuh sekolah madrasah tetapi tidak dapat menyelesaikan pendidikannya karena ia harus menikah pada usia 15 tahun karena tuntutan budaya daerahnya. Beberapa tahun setelah bercerai muncul sebuah semangat di dalam dirinya untuk meningkatkan martabat perempuan dengan memberikan pendidikan modern berbasis agama. Rahma kemudian mendirikan sekolah agama khusus perempuan yang pertama dan modern pada tahun 1922. Sekolah dasar tersebut bernama Sekolah Diniyah Puteri yang didirikan di Padang Panjang dan dilengkapi dengan asrama yang dikelola sendiri oleh Rahma sendiri.

Peranan perempuan di awal periode pergerakan nasional ditandai dengan bertambahnya keinginan untuk memperbaiki berbagai hal. Meskipun pergerakan perempuan tidak pernah dapat mewujudkan kesetaraan antara kebebasan yang diajarkan di sekolah dengan pengekangan yang berasal dari adat, perempuan Indonesia setidaknya telah diakui keberadaannya dalam kehidupan sosial pada abad ke-20. Peristiwa ini didukung pula dengan meningkatnya jumlah kaum muda yang bertekad menjamin kemerdekaan dan keberadaan Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun