Mohon tunggu...
Risky Arbangi Nopi
Risky Arbangi Nopi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - suka nulis cem macem

kalau otak lagi gremed gremed ya nulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ujung Tombak (Cerpen)

24 Desember 2020   07:38 Diperbarui: 24 Desember 2020   07:44 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Selamat, Besok bisa daftar sidang."

Dan tentu saja, aku tak percaya. Bagaimana, jika ini hanya sekedar mimpi. Pasti tumpah harapanku. Harapan tahun ini menyudahi hasil bimbingan yang kian datang dan pergi. Semangat yang mulai pudar. Kesendirian. Lalu mulai kucoba mengulang lagi, mengetuk semangat baru. Memang sudah tak semudah dan tak semuda dulu. 

Terlalu lama. Semangatku kadang-kadang datang tiap kesendirian melanda. Seperti buruh pabrik yang merindukan kampung halaman. Kadang semangat berbicara sendiri melalui pikiranku. Kadang ada rasa takut dan tak bisa melakukan semua harapanku. Diam adalah ketenangan sendiri. Seperti danau yang dingin tertutup dedaunan hijau yang rindang. Kadang-kadang temanku benar dalam ucapannya. Sering kali ada hal yang bisatercapai, padahal belum kau coba. Berubah adalah hal yang pasti. Temanku memaksa padaku untuk lebih berani. Dan mungkin itu benar. Dan aku hanya kurang mencoba.

            "Yang benar pak?"

            "Selamat." Pembimbing yang selalu aku temui tiap hari. Dan aku hanya bisa memandang hari ini. Dia kuat seperti ombak menerjang kapal kapal pencuri ikan di perbatasan. Mampu membawa harapanku yang sederhana. Cepat selesai adalah rindu di ujung tombak. Rindu dengan harapan menuntaskan janjiku kepada kekasihku. Agar tak akan ada lagi sebuah tanda tanya. Tentang kenapa. Seperti kasus air keras yang menyiram korban dengan alasan tidak sengaja.

            Otakku terbagi menjadi dua. Satu kebahagiaan, dan satu kesedihan. Ada bom melanda dan menerjang kebahagiaanku. Aku baru saja kehilangan cinta. Baru saja, setelah kata "Selamat" menyapa diriku. Yang kumili sekarang hanyalah diriku sendiri. Harapanku hilang seperti tertampar ombak dasyat. Kebahagiaan bercampur duka. Aku merasa sendiri, bahkan tubuhmu serasa telanjang. Tak ada selimut untuk menutup diriku. Sendiri. Kehangatanku hilang, lalu pergi.

***

Ia datang tanpa mengetuk lalu merangkulku

Adapun ia yang licik bernama duka.

Ia bulan jingga neraka langit dadaku

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun