Mohon tunggu...
Risky Arbangi Nopi
Risky Arbangi Nopi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - suka nulis cem macem

kalau otak lagi gremed gremed ya nulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Catatan Buku Elsa tentang Keluarga Toxic (Cerpen)

12 Desember 2020   09:07 Diperbarui: 12 Desember 2020   09:16 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pokoknya, kita harus buktikan. Kita bisa dan gak tergantung sama papa sialan itu." kembali mama, meluap luap mulutnya. Tangan kanannya sambil mengacung-acung kepadaku. Ingin rasanya aku menutup kedua telingaku dengan tanganku. Aku pernah melakukan itu, yang ada aku di tampar. Perlakuan kasar itu kerap kali sering di lakukan. Ketika, aku mengabaikan perintah mama. Kadang pedih hati, namun aku harus bertahan.

Setelah bosan dengan amarah yang tak kunjung selesai. Aku bangkit dari bangku, lantas menuju mobil. Dan lagi-lagi mama lupa menutup teleponnya. Biar saja orang-orang tau didikan seorang wanita karir yang memiliki peran penting dalam keluarga.

"Lancang kamu ya?! Mama belum selesai ngomong!" mengerjarku di dalam mobil.

"Sudah telat ma, nanti gerbang di tutup repot" hanya respon diam yang aku dapat, dan supir mulai menghidupkan mesin mobil untuk menuju sekolahku, lalu lanjut mengantar mama ke kantor.
***

Terkadang aku berfikir tentang kehidupanku. Apakah dalam kehidupan sebuah keluarga, orang tua mendominasi untuk mengatur dan mengubah cita-cita seorang anaknya? Ataukah kesuksesan dan kegagalan tergantung dari didikan orang tua? Ataukah ini memang perilaku orangtuaku? Aku merasa ini adalah ciri-ciri sebuah toxic parent. 

Menurutku, gertakan ataupun nasihat yang sering aku dengar sebagai santapan setiap hari adalah nasihat yang kuno. Menurutku, itu adalah tradisi orang-orang yang trauma dengan masalalu, dan seketika di lampiaskan kepada orang yang lemah untuk melawannya. Percumah saja perpendidikan tinggi, namun, dalam mempraktikkan sebuah gagasannya atau idenya, masih sama dengan manusia-manusia yang kurang mengenyam dunia pendidikan.

Bilangnya sih sayang sama anak. Tapi malah menyakiti anaknya sendiri. Kesakitan bukan terletak pada sebuah fisik belaka. Namun hati kadang menyembunyikan ketegaran dan benturan semacam itu. Memang, orang tua memiliki segudang harapan. Namun pertanyaanya adalah, apakah orang tua seperti mamaku sendiri mengapresiasi? Atau hanya sebuah tuntutan terus-menerus? Hanya dengan melakukan kesalahn sedikit, langsung kemarahan meluap-luap. 

Di bentak-bentak, di ungkit-ungkit ataupun di banding-bandingkan. Seakan-akan jerih payah mendidik dengan fasilitas yang telah di berikan seakan sia-sia. Padahal, belum tentu si anak meminta akan fasilitas tersebut.

Kemauan orang tua belum tentu kemauan seorang anak. jika kemamuan seperti itu terjadi, itu adalah kemauan sepihak yang di putuskan tanpa menanyakan terlebih dahulu kepada si anak. padahal, itu belum tentu membuat si anak menjadi bahagia. Menurutku, cinta yang tulus adalah cinta untuk melihat yang disayangi bahagia. Cinta melulu bukan hanya sekedar pasangan dua insan yang sedang menggebu-gebu. Masih banyak cinta yang penuh dengan masalah. Maka melangkahlah demi cinta yang sesungguhnya. Apakah ini cinta yang tulus? Atau bahkan sekedar cinta yang berambisi? (*).
-Purwokerto, 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun