"Ah, ya, tentu saja" sambil mengeluarkan isi tas yang ada di dalamnya. Kali ini ayah Neil membacakan buku dari biografi Soe Hok-gie. "Kau tau Soe Hok-Gie?" menunjukan buku yang begitu menarik perhatian Elsa.
"Apa yang menarik dari kisah buku ini yah?" Elsa menatap sampul muka itu lekat-lekat.
"Kamu harus kenalan dengannya sayang." Sambil memberikan buku ke dalam genggamannya Elsa. "Ada kisah yang cukup menarik untukmu, tapi ini bukan fiksi, judulnya Soe Hok-gie ...Sekali Lagi. Itu adalah sebuah kisah manusia bebas. Dan kau harus bebas sayangku."
"Ceritakan sedikit tentang dia, agar aku mengenalnya dan dia mau berkunjung ke rumahku yah." matanya begitu penasaran, seperti ingin lekas berteman dengannya.
"Baiklah. Dia menutup usia di Gunung Semeru pada tahun 69, usianya sekitar 27 tahun pada waktu itu. Dia adalah sosok pejuang yang konsisten, banyak karyanya yang di muat dalam media cetak pada waktu itu. Dia adalah sosok manusia merdeka Els."
Elsa mengangkat alisnya. Ayah Neil paham maksudnya, itu tanda ia masih butuh keterangan yang lebih lanjut.
"Yah, aku ingin seperti teman-temanku, menjadi sosok manusia merdeka." Kedua bola matanya membesar.
"Ya, kamu bisa sayangku. Dan kamu berhak dengan pilihanmu." Ayah Neil tersenyum. "Sekarang kembalilah tidur sayangku, bermimpilah bahwa besok kau akan menjadi manusia merdeka."
***
Sarapan sudah tersedia di depan meja makan. Satu gelas susu putih di temani roti isi selai. Pukul enam pagi aku menyantap sereal bercampur susu coklat. Ada dua pilihan menu makanan, dan aku lebih memilih sereal coklat. Mama sibuk dengan ponsel sembari menyantap telur ceplok setengah matang. Telepon berdering, dan mama mengabaikanku.
"Hallo, pak. Oiya saya segera kesana. Tolong siapkan berkas serta materi yang saya kirim tadi malam." sambil melirik kepadaku, mama kembali sibuk dan mengabaikanku.
Aku kembali melihat jam pada ponselku. Sudah jam enam lewat lima menit. Sarapanku sudah selesai, sambil menunggu mama berbincang dengan mitra kerjanya, aku sesekali mencuri waktu untuk mebuka Game. Belum ada lima menit, ponselku di rampas oleh mama.
"Mau jadi anak bodoh kamu?!" matanya melotot, seperti melampiaskan amarahnya kepadaku. Sontak aku kaget, bahkan juga sudah sedikit terbiasa dengan gertakan seperti itu.
"El, mama sayang kamu, sekolahin mahal-mahal. Pokoknya semester ini kamu harus juara satu. Mama gak mau tau." bosan mendengar ceramah itu-itu mulu.