Mohon tunggu...
Risky Arbangi Nopi
Risky Arbangi Nopi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - suka nulis cem macem

kalau otak lagi gremed gremed ya nulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Catatan Buku Elsa tentang Keluarga Toxic (Cerpen)

12 Desember 2020   09:07 Diperbarui: 12 Desember 2020   09:16 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pernah dengar tidak? Terkadang orang tua sering bilang gini "Els, mama dah nyekolahin kamu mahal-mahal, yang ada cuma main Handphone terus gak mau belajar. Mama ini sayang kamu, pengin kamu pinter, biar jadi dokter."
***
Aku adalah Elsa, anak satu-satunya kesayangan mama. Umurku baru saja menginjak enam belas tahun. Kegiatanku terlihat monoton. Aku selalu di awasi oleh mama, entah bibi diam-diam juga mengamati dan mengadu ke mama selama mama tidak ada di rumah. Aku sangat tertekan. 

Setiap pagi aku bangun jam lima, lalu siap-siap untuk berangkat sekolah dan pulang jam enam sore. Sisanya, aku di kurung di dalam kamar untuk belajar, tak ada kesempatan untuk bermain dengan teman. Bahkan aku sampai lupa, bahwa aku tak punya teman. Setiap akhir pekan, tidak ada libur, les piano dan olahraga bulu tangkis adalah waktu yang aku habiskan di akhir pekan. Sementara, mama sibuk dengan pekerjaan bolak-balik keluar kota. Sedangkan papa, papa menghilang. Yang aku ingat, umurku saat itu baru sepuluh tahun. Papa menghilang setelah bertengkar hebat dengan mama. Setelah kejadian itu, mama menuntuku menjadi seperti anak robot.

Di rumah, aku sama sekali tidak hidup. Memang, di rumah aku tidak sendirian. Masih ada bibi yang selalu memperhatikanku dan sopir yang selalu siap sedia mengantarkanku berangkat sekolah dan pulang sekolah. Sebenarnya aku anak siapa? bibi atau mama? Seperti yang ku bilang tadi, mama teramat sibuk. Bisa dikatakan satu atau dua hari di rumah, sisanya sibuk dan sibuk.
***
"Ma, jangan pergi-pergi lagi." Kataku, saat kita sedang makan malam di meja makan. Hanya ada aku dan mama. Mama memandangku terheran-heran. Wajahnya merah padam. Seketika berhenti mengunyah. Segera meletakan sendok dan garpu ke dalam piring yang berisi nasi setengah dan lauk pauknya.

"Ada apa? Kenapa kamu ngomong seperti itu?" di tatap anak semata wayangnya dan saling pandang memandang. Untuk beberapa saat ruangan seketika hening. Akhirnya mama Elsa mengambil sepotong daging rendang dan memindahkannya ke piring Elsa.

"Jangan atur-atur mama. Kalau mama gak pergi, siapa yang mau nyenengin kamu els?" tangan kanannya mengambil tisu, mengusap-usap bibirya. Lalu di ambilnya  cangkir yang berisikan air putih. Merasa cukup kenyang dengan makan malamnya, ia langsung meninggalkan anaknya yang cantik. Dua langkah setelah berdiri dari meja makan, ia kembali berucap "Selesaikan makanmu, dan kembali ke kamar. Belajar, mama sayang kamu Els."
***

Awal bulan oktober dengan hujan yang deras. Malam begitu dingin menyambutku di dalam kamar. Lagi-lagi mama menyuruhku belajar, padahal baru saja aku pulang dari les renang. Katanya "Kalau kau ingin professional, gak usah bergantung pada mood" cara bicaranya selalu tinggi. Membuat aku tertekan. Apakah setiap orang tua seperti mamaku. Memaksa anaknya harus seperti yang ia inginkan. Dengan memfasilitasi, seakan dengan mudah mengatur hidup seseorang. 

Dengan mengancam, apakah mengubah tingkah laku seseorang. Aku tidak butuh semua fasilitas seperti ini. Yang aku butuhkan kasih sayang mama dan papa. Papa hilang, mama sibuk. Tidak ada lawan bicara selain bacaan bacaan. Setiap minggu, mama memfasilitasi perlengkapan belajar untuk menunjang prestasiku, termasuk bacaan novel maupun yang lainnya. Dan kadang-kadang Chairul anwar datang melewati puisi aku ini binatang jalang.
***

"Kenapa kau membuat puisi seperti itu" kataku pada Chairul. kita beteman, semenjak satu tahun yang lalu. Saat aku sedih dan meneteskan air mata, Chairul kadang-kadang membisikan bait-bait puisinya di sebelah telinga kananku. Menghiburku, menyemangatiku.
"Kau harus bebas Els, kau harus seperti binatang. Bebas kemanapun kau mau. Kau harus merdeka" matanya merah membara, mukanya pucat. Rupanya gagah perkasa. Umurnya hampir tiga puluhan. Namun aku merasa senang punya teman seperti Chairul Anwar. Ya benar. Aku harus bebas. Ya, aku masih punya teman. Walaupun hanya teman fiksi.
***

Tidurku selalu terbangun jam satu malam. Seseorang mengetuk pintu kamarku tiga kali. "Tok, tok, tok" dan aku yakin ini pasti ulah Bapak Neil, ia adalah teman fiksiku berikutnya. Salah satu penulis dan pendiri sekolah Summerhill. Namun sekolah itu ditutup lantaran pemerintah melarangnya, katanya si kurikulumnya terlalu bebas dan radikal.

"Halo, sayang" ia menyapaku layaknya seorang ayah yang merindukan anaknya. Ya benar, ayahku Bapak Neil dalam dunia fiksi. Ubun ubunku sedikit basah diciumnya. Aku tersenyum. Aku tidak merasa sendiri di dalam kamar. Setiap hari temanku silih berganti. Kadang Tokoh Minke datang mengajakku untuk berdiskusi tentang hukum yang di jarah. Dan kemarin, kesedihanku terhibur oleh sosok Chairul Anwar. Teman-temanku tak mengenal usia, seperti Karl Mark, Tan Malaka, Pramoedya, Agata Cristie, maupun Sophie. Dan kali ini, ayah Neil menemuiku setelah satu minggu menghilang.

"Ada cerita baru yah?" Tanya Elsa pada ayah Neil sambil melirik tas kantor yang di bawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun