Mohon tunggu...
Risky Arbangi Nopi
Risky Arbangi Nopi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - suka nulis cem macem

kalau otak lagi gremed gremed ya nulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Handbody (Cerpen)

12 Desember 2020   05:39 Diperbarui: 12 Desember 2020   05:48 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengagumi seseorang boleh-boleh saja. Namun, jangan sampai keblabasan mengejar-ngejar untuk mendapatkannya. Kadang, yang dikejar malah gak sadar. Sadar gak, perihal mengangumi seseorang secara diam-diam itu capek banget.

            Tapatnya, sepuluh tahun menjadi teman dari sekolah dasar sampai sekarang kerja bareng. Sebagai pengagum rahasia dan teman sedari kecil. Dirinya melihat perkembangan dari masih busik yang belum tersentuh HandBody sampai klimis seperti sekarang. Dari tomboy sampai jadi feminim, dari yang sendiri sampai ada yang berani deketin. Perubahannya bisa dilihat sampai sekarang. Dirinya ingat, ketika ia mulai terlihat cantik, dan menarik perhatiannya sewaktu ia akan berkencan dengan pacarnya. Memang, sedikit ada rasa cemburu. Namun saat itu juga, mereka juga sama-sama sedang memiliki pasangan.

            Memasuki SMP yang sama, SMA yang sama, kuliah di tempat yang sama. Namun, bila sampai sekarang dirinya belum berani mengungkapkan isi hatinya, ya sama saja percuma. Jujur memang ada dua pilihan. Antara menerima atau menolak, dan bahkan pertemanan yang sudah dibangun selama bertahun-tahun, mungkin akan hancur dengan sebuah kejujuran.

            Gak mungkin, dua insan laki-laki dan perempuan berteman tapi tidak ada rasa. Untuk sebuah awal memang belum, namun seperti perhatian kecil yang tidak terasa malah bisa jadi tumbuh sebuah rasa. Itu yang sedang dihadapinya. Dirinya akan bertahan sampai kapan menyimpan rasanya? Memilih untuk mencintai orang lain, yang ada hanya mampu bertahan beberapa bulan. Dan yang paling lama hanya sekitar satu sampai dua setengah tahun. Begitu juga dengan dirinya.

            Berbagai waktu dan tahun tak pernah kehabisan obrolan. Kenyataanya, dirinya masih memiliki kesempatan untuk mengungkapkan cintanya. Namun bila sebuah kejujuran menimbulkan kekecewaan. Untuk kali ini, dirinya belum sanggup untuk menerima kenyataanya. Namun, jangan sampai menjadi pecundang yang hanya berdiam diri tanpa adanya keberanian.

***

"Kau tau Tam? Candra melamarku."

            "Hah, benarkah?" tanyaku.

            "Iya bener, dan gua seneng banget Tam" kedua pipinya memerah, bersama bibir yang ranum berwarna merah muda.

            Tama tau. Temannya memang sedang bahagia dengan kekasihnya yang baru saja dilamarnya. Andai saja ia tau, Tama yang membantu proses lamaran berjalan lancar. Dirinya membantu Candra dalam berbagai hal yang ia sukai. Mulai dari bunga kesuakaan, makanan kesuakaan, sampai tempat favoritnya.

***

            "Tam, bantuin gua dong." Candra yang kala itu menelponku tengah malam pukul sepuluh.

            "Bantuin apaan? Lu gak tau gua mau tidur."

            "Hehe, bentaran doang deh."

            "Ah, elu. Buruan."

            "Gini Tam, gua mau ngelamar Fara."

Sontak Tama kaget, nafasnya salah jalur. Tersedak seketika. Dirinya buru-buru menuju dapur untuk mengambil air minum untuk membantu pernafasannya kembali normal.

            "Halo, Tam?" tanya Candra.

"Uhuk, Uhuk." Tama sibuk memperbaiki pernafasannya yang masih kesasar. Batuknya sedikit tenggelam bersama air minumnya.

"Halo Tam, lu kenapa Tam?" tanya Candra.

"Hah, sorry sorry gua sedikit haus tadi Ndra."

            "Aman kan?"

            Candra kembali meminta bantuan kepadaku, menanyakan segala hal tentang dirimu yang kau sukai. Memang, hubungan meraka baru saja menginjak seumur jagung. Baru saja tiga bulan kenal. Dan kali ini, akankah perasaannya akan terpendam dan tak tersampaikan. Yang jelas malam ini adalah malam yang menampar jelas ke dalam perasaanya.

***

            Tiga bulan Fara mengenal Candra dengan baik. Tiga bulan juga, Candra mampu memikat hatinya. Mereka bertemu dalam satu kerjaan sebagai Jurnalis di salah satu stasiun televisi swasta. Dimana, Fara sebagai reporter. Sedangkan Candra sebagai editor. Parasnya yang elok adalah pandangan pertama yang mempertemukan mereka. Tak wajar Candra jatuh hati padanya.

            Namun tidak untuk Tama. Dirinya mengenal Fara jauh sebelum parasnya yang elok seperti sekarang. Dirinya masih ingat betul betapa tomboy-nya Fara sewaktu masih SMP. Sebagai atlit basket yang busik, kulitnya gosong terpapar sinar matahari. Tama diam diam membelikan HandBody untuk Fara demi melindungi kulitnya yang terbakar. Semenjak itu, Fara mulai merawat dirinya. Yang terpenting untuk Tama adalah, paras bukan hal nomer satu. Namun baginya, sosok Fara adalah tempat yang mampu menampung segala ceritanya. Mulai dari kisah cintanya sampai hal-hal lainnya. Sebaliknya juga Fara.

            Berkomitmen untuk tidak saling jatuh hati dalam sebuah pertemanan adalah janji yang mereka lakukan sewaktu menginjak masa kuliah bersama.

            "Janji ya, kita teman sehidup semati." Katanya.

            "Iya janji Far." Jawab Tama.

            Sebuah janji yang disepakati antara Fara dan Tama. Dengan jari kelingking, mereka saling mengikatkan janjinya.

***

            "Tam lu tau gak?" tanya Fara.

            "Enggak." jawabku.

            "Ya, kan gua belum cerita Tam." matanya membesar dan sedikit kesal. "Candra melamarku dengan bunga kesukaanku, aneh padahal kan dia gak tau."

            Tama hanya menjawab dalam hati. Ya jelas taulah, yang kasih tau kan gua.

            "Kenapa sih lo, dari tadi kisut amat tuh muka?" tanya Fara.

            "Gak papa." Jawabku.

            Mereka kembali menghabiskan Soto di pinggir jalan sewaktu jam makan siang ketika istirahat kerja. Sementara Candra memang sedang cuti untuk pulang ke kampung halamannya. Secara, seminggu lagi pernikahan akan segera dilaksanakan bersama Fara.

            "Eh Tam, besok sore anterin gua ya. Cari-cari gedung buat nikahan."

            "Ogah ah, sama Candra sana." jawabku sambil menghabiskan sisa soto yang ada di mangkuk.

            "Candra kan pulang, Pliss bantuin dong." raut mukanya memelas. Wajahnya manis, sampai-sampai dirinya tak tega melihatnya.

            "Iya deh."

Candra memang sudah tau pertemanan antara Fara dan Tama. Candra memang bukan tipikal lelaki yang melarang-larang pasangan berteman kepada siapa saja. Menurut Fara, Candra adalah lelaki yang dewasa. Lelaki yang membebaskan untuk melakukan apa saja tanpa ikut campur. Sebab dirinya tau, Fara lebih mengenal lama sahabatnya daripada pasangannya yang sekarang. Jadi, dalam urusan cemburu Candra justru tidak begitu memperdulikannya.

***

            Sore adalah janji Tama menemani sahabatnya untuk melihat-lihat gedung untuk acara pernikahannya yang sebentar lagi akan dilaksanakan. Tama yang sedikit males, terlihat betul dari raut mukanya. Dirinya di jemput oleh sahabatnya pukul tiga sore dengan mobil Honda Jazz warna hitam keluaran 2011. Fara yang terlihat sumringah, kadang gemas dengan wajah Tama yang lusuh seperti belum mandi selama dua hari.

            "Kenapa sih lusuh banget tuh muka?" tanya Fara.

Dirinya lantas membuka pintu mobil setelah berhenti di depan rumahnya. "Gak papa, lagi banyak pikiran gua. Yaudah yuk, keburu kesorean nanti."

Mobil melaju meninggalkan rumah Tama dan juga jalanan yang bising. Di dalam mobil, tumben-tumbenan seketika hening tak ada bahan untuk obrolan. Lagi-lagi Jakarta macet dengan klakson-klaksonnya. Fara kemudian memutar lagu untuk mencairkan suasana dengan volume keras untuk menutupi keheningan. Diluar memang bising, namun di dalam mobil seketika mati tanpa suara.

"Far, volumenya gua kecilin aja ya. Lagi pusing gua." dirinya memutar volume rendah. Musik seketika hanya desir-desir dan sayup-sayup melintasi telinga mereka.

"Hmmm, ya deh." jawabnya.

Kurang lebih perjalanan sepuluh kilometer mereka sampai di gedung pertama. Sesampainya dilokasi, Fara sibuk melihat-lihat seisi ruangan dan fokus berbincang dengan wedding organizer. Fara yang Nampak antusias, sebaliknya dengan Tama yang banyak pikiran.

            "Gimana mbak, mas. Cocok dengan gedung ini?" tanya salah satu konsultan vendor.

            "Cocok, gua suka si. Untuk dekorasi juga ok nanti." jawab Fara.

            "Gimana mas, suka dengan gedung ini?" konsultan vendor menanyakan lagi ke Tama

            "Bukan gua yang mau nikah! Noh temen gua!" Ketus Tama, wajahnya sedikit kesal.

            "Eh maaf mas, saya kira calon pasangan."

            "Temen Pak, temen." Fara sedikit tersenyum memaksa dan geli.

Selesai dengan segala urusan Wedding Organaizer, Fara pun pulang bersama Tama. Jam tangan menunjukan pukul delapan malam. Di dalam mobil, suasana kembali hening. Sedikit bernyanyi mengikuti alunan musik yang sedang diputar, Fara mencoba mencairkan suasana. Suaranya memang tak bagus-bagus amat. Tapi setidaknya, telinganya tak sampai rusak karena hentaman suaranya Fara.

"Uhuk, uhukk, air minum mana air minum Tam.?" tenggorokannya kering, ikutan nyanyi-nyanyi di dalam mobil bukannya bagus malah pernafasannya kesangklak.

"Ah elu, kebiasaan deh. Nyusahin orang aja." Tama sedikit menggerutu, namun tetap perhatian mengambilkan air minum di dalam tas kecil milik Fara.

Ketika sedang mengambil air minum di dalam tas. Tiba-tiba dirinya melihat Handbody yang pernah ia berikan padanya. Dalam hatinya bertanya-tanya, loh, itu kan HandBody pemberian gua? Tama hanya berfikir, paling-paling ia memang cocok memakai HandBody yang diberikannya sewaktu masih SMP.

"Makasih Tamaku yang baik hati." Fara menerima minuman botol dari Tama, menenggak perlahan-lahan dan tetap fokus menyetir mobilnya.

"Far, lu masih pake HandBody pemberian gua?" Tama menanyakan.

"Ha? Oh itu, iya masih pakai. Semenjak lo kasih pas waktu SMP, gua jadi cocok pakai itu."

"Far, lo gak tau kenapa gua uring-uringan hari ini?" Tama kembali menanyakan

"Kenapa emang?" berhenti menenggak minuman yang ada di dalam botol, kemudian meminumnya lagi.

"Gua sayang lo, gua suka sama lo Far."

"Ha, uhuuk, uhuuukk, eh, ini air minumnya salah apa gimana sih?! Kok gua kesedak lagi si!!" Fara yang tadinya biasa, ia kembali tersedak. Tanpa seketika ia mengerem kendaraannya tiba-tiba. Dan untungnya jalanan sedang sepi.

"Gua beneran suka sama elu." Tatapannya serius.

"Eh, bentar-bentar. Lu gila apa?!" Fara mencoba mengendarai mobilnya ke pinggiran jalan. Dan kembali berhenti untuk mendengarkan penjelasan dari Tama. "Lu gila apa?! Gua mau nikah bentar lagi sama Candra."

"Lah, lu gila apa?! Lu aja yang gak nyadar gua sayang ama lu." jawabnya.

"Kan lu dah tau, kita temenan dari bocah. Dan lu dah tau gua mau nikah sama Candra. Lu maunya apa sih?! Lu mau, gua batalin pernikahan gitu?! Eh sorry ya Tam, gua gak gitu orangnya. Gila lu ya Tam!"

"Eh, ni apaan si. Musiknya ganggu banget. Gua matiin ya." tangan Tama mengecilkan volume musik yang ada di dalam mobil. Dan melanjutkan penjelasannya lagi. "Gua tau elu Far, gua tau elu banget, gua tau elu. Gua tau bunga kesayangan lu, bunga krisan wana putih yang masih segar. Gua tau lagu kesukaan lu, lagu Ada Band yang tiap hari lu denger ampe gak bosen-bosen. Gua tau makanan favorit lu di pinggir jalan, yaitu batagor punya bang Abdul. Gua tau lu, yang makan gak pernah abis, terus sisanya lu nyuruh gua yang abisin. Gua tau lu yang gak doyan makanan pedes, gua tau lu yang nangis gara-gara makan pedes. Gua tau tempat favorit elu yaitu pantai. Gua tau lu gak suka gunung, gua tau lu gak suka dingin. Gua tau lu pernah ampe mati kena hipotermia pas nyobain naik gunung ke Slamet. Gua lebih tau elu dibandingkan sama Candra. Dan asal elu tau? Gua yang bantuin Candra buat ngelamar elu jauh-jauh hari, nyiapin ini itu. Gua tau elu Fara! Tapi gua gak tau perasaan elu. Dan gua adalah orang yang bego ngebiarin elu sama Candra."

"Iya gua tau elu Tam. Tapi gua anggep lu gak lebih dari temen. Ngerti gak si?! Gua anggep lu kayak kakak gua. Emang bener, lu tau segalanya tentang gua, Ada Band lagu kesuakaan gua. Masalah tentang kesukaan, besokpun akan beda Tam. Gak harus sama melulu. Gua juga tau lu perhatian ama gua, bela-belain abisin makanan gua walaupun lu dah kenyang bego. Gua tau elu yang selalu uring-uringan tiap kali masalah datang tiba-tiba. Tapi perasaan gua gak bisa masuk ke hubungan ini Tam. Gua cinta sama Candra." jawabnya.

"Ya oke. Gua tau kok Far. Gua Cuma gak mau, gua nyesel gak kasih tau perasaan ini sama lu. Gua juga gak mau bego, seolah-olah gak ada masalah dalam hidup gua. Yang gua takutkan adalah, gua takut lu gak tau tentang isi hati gua. Gua berani kok, hasilnya kek gini. Dan gua siap kok."

Tama tau, pada akhirnya sebuah pertemanan akan terjadi sebuah rasa yang tak terduga. Tama tau, pada akhirnya perasaannya bertepuk sebelah tangan. Tama tau, dianggap menjadi kakak dalam sebuah pertemanan akan lebih baik dibandingkan tidak sama sekali. Kecewa memang sebuah rasa wajar. Namun kecewa dengan masalah hati tak harus sampai berlarut-larut.

"Tapi lu besok datang kan ke acara pernikahan gua kan? Lu jadi kan ngisi acara di pernikahan gua?" tanya Fara.

"Iya gua janji kok Far."

***

Semua orang akan menyaksikan kisah asmara antara pernikahan Fara dan Candra. Begitu juga dengan Tama. Tamu undangan yang datang satu persatu memenuhi ruangan acara. Tama melihat sahabatnya duduk berdampingan dengan kekasihnya, wajahnya sumringah.

Tama yang berdiri tak jauh dari tempat fara, menyanyikan lagu kenangan bersama Fara. Suaranya begitu merdu, sampai-sampai tamu undangan terpana dengan suaranya yang indah. Kembali menyanyikan lagu untuknya, kali ini Tama menyanyikan lagu tentang isi hatinya. Sekali ini saja Glenn Fredly. (*)

-2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun