Masuknya dua Situs Megalitikum dalam  Geopark Map of Bondowoso yang mana terdapat Gua Buto Cermee yang sudah dibahas sebelumnya dalam (Baratha Post Edisi 456/5-12 Oktober 2020) dengan judul Gua Buto Cermee Menuju Geopark National Ijen dan situs  kedua yaitu Gua Buto Sumber Wringin yang sekarang kita mulai bahas.
Gua Buto Sumber Wringin tepatnya berada di Dusun Sumber Canting, Desa Sukorejo, Kecamatan Sumber Wringin ini tidak terlalu banyak perbedaan dengan Gua Buto yang berada di Cermee.Â
Ciri gua pertapaan dengan konsep Tirtha Amrtha yaitu berada pada puncak bukit di lereng gunung serta dekat dengan aliran sungai yang diyakini dapat memberikan ketentraman batin dan ketenangan perasaan.
Begitu juga pada penggunaan ragam hias Kala yang berfungsi sebagai karya seni bangunan atau menyerupai Kala yang terdapat pada Gua Buto Cermee pun terpahat di Gua Buto Sumber Wringin.Â
Hanya saja, pada Gua Buto Sumber Wringin tidak banyak ragam pahat relief pada tebing. Pahatan berwujud Kala di pintu gua merupakan satu-satunya pahatan relief yang terdapat pada Gua Buto Sumber Wringin.
Sebagai tambahannya, di samping relief  Kala terdapat pahatan angka yang menunjukan angka Tahun 1216 Saka atau 1294 M (walaupun kondisinya agak aus) berdasarkan pada kajian Dr. Ismail Lutfi MA (Arkeolog Epigrafi Universitas Negeri Malang) pada Penetapan Cagar Budaya Struktur Gua Buto Sumber Canting (2018).Â
Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 5 UU No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, bangunan yang memiliki usia paling singkat 50 (lima puluh) tahun masuk dalam aspek cagar budaya.
Maka dari itu situs Gua Buto Cermee dan Sumber Wringin masuk dalam kategori Situs Budaya Megalitikum pada peta Geopark National Ijen. Walaupun kondisi pahatan angka sudah agak aus namun angka yang terpahat pada pintu masuk gua masih bisa terbaca. Sehingga membantu tim pengkaji dari Universitas Malang untuk meneliti pahatan pada situs gua.
Tantangan kedepannya bagi seluruh elemen masyarakat Bondowoso beserta pemangku jabatan bukan hanya sebatas menjaga situs gua tersebut, mengingat lokasi yang jauh dan curam. Juga dapat menghambat upaya dalam rasa ingin memiliki.Â
Bagaimana mungkin masyarakat akan bangga pada daerahnya jika situs gua hanya dijadikan sarana rekreatif, namun juga harus bisa menjadi rekreatif yang mengedukasi.
Sangat menarik jika pemerintah kabupaten membangun museum sebagai sarana edukatif bagi masyarakat dengan menampilkan miniatur-miniatur dari situs megalitikum serta penjelasan terkait historis megalitikum itu sendiri.Â