Kondisi yang tidak dapat membuat tenang, serba terbatas, terpimpin oleh pemerintahan asing dari barat jauh, melahirkan kaum muda yang memiliki sense of belonging yang sama terhadap Negara Indonesia. Sekalipun para kaum muda dibenturkan pada pilihan pandangan hidup masing-masing (ideologi, red), tekat untuk mandiri dari pemerintahan asing tidak meruntuhkan semangat itu.
Budi Utomo, sebagai awalan mahasiswa mengorganisir diri untuk mencapai kemandirian bangsanya. Hingga tahun 1928 kaum muda dari berbagai organisasi di seluruh Indonesia berkumpul dan di kongres ke dua kaum muda mencetuskan ikrar bahwa mereka sadar akan ke-Indonesiaan dan berjuang bersama untuk mandiri dari pemerintahan asing.
Sejak kongres ke dua dengan menghasilkan ikrar yang hingga saat ini menjadi sakral sebagai penegasan bahwa untuk merdeka, mereka harus bersatu bukan hanya secara fisik. Juga, secara filosofis supaya konsep cita-cita mandiri dari pemerintahan asing tidak semu.
Sebagaimana bunyi dari ikrar kongres ke dua menegaskan bahwa, bertumpah darah satu, berbangsa satu, menjunjung bahasa persatuan, Indonesia. Dengan menyadarkan bahwa kita sebagai organisasi kenegaraan harus memiliki bahasa persatuan karena masyarakat yang multi-ras dan etnis supaya memudahkan kita untuk berkomunikasi satu sama lain.
Sejak 1978, setiap tanggal 28 Oktober bukan hanya diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda, tetapi juga sebagai Hari Pemuda. Presiden Soeharto, dalam pidatonya menjelaskan "kita tidak ingin menghapus sejarah, karena justru dari Hari Sumpah Kaum muda itu kita semua akan mengambil ilham yang tidak akan habis-habisnya untuk terus memperkuat persatuan kita" (dikutip dari salah satu media).
Bagaimana seharusnya sikap kaum muda di zaman serba berdata yang tersimpan dalam angka-angka biner komputasi ini? Sebagai alat pembantu kerja otak manusia yang bersifat terbatas dalam menyimpan data konvensional.
Sebagai kaum muda yang bersemangat mencari hal baru serta berteman akrab dengan berbagai tantangan, jiwa muda harus memiliki rasa cinta, cita, cipta seperti gagasan yang dituangkan oleh Om Budiman Sujadmiko (cieile sok akrab lu ngab)
Gambaran-gambaran kaum muda yang tertuang dalam konsepsi pemikiran Budiman sebagai mana tantangan kaum muda tidak hanya pada kepekaan mereka akan dinamika kehidupan sosial di lingkungannya juga bagaimana mereka mampu menggunakan alat digital yang akan membantu mereka dalam aktivitas keseharian.
Bukan alat yang akan menggantikan pekerjaan mereka, merekalah yang harus memperalat alat. Dengan demikian kaum muda tetap menjaga marwahnya sebagai benteng utama dalam menjaga dan memajukan bangsa dari berbagai arah.
Jika pada tahun 1928 kaum muda yang memiliki rasa cinta, cita, dan cipta menelurkan ikrar yang relevan hingga kini. Bagaimana dengan sekarang?
Apa yang bisa para kaum muda ciptakan? Jika tidak mampu untuk negara, minimal untuk daerah kelahirannya. Membantu dalam mengedukasi masyarakat yang berada di kota maupun di desa.
Memperkenalkan potensi budaya misalnya, sebagai tombak informasi bagi masyarakat dalam menginformasikan kurs mata uang, pemasaran produk UMKM, atau sebagai wadah informasi edukatif dengan menginformasikan universitas terbaik, beasiswa hingga memberikan kesempatan kepada publik dalam kebebasan berbicara di muka umum.
Begitu pentingnya kebebasan berbicara di muka umum sebagai bagian dari dinamika berdemokrasi, dengan peran kaum muda mampu mengedepankan argumen daripada sentimen. Karena hanya dengan argumentasi membuat kita mampu berpikir secara kompleks.
Kerena setiap benturan yang dihadapi mampu dibaca secara kompleks. Dengan mengedepankan esensi dan konteks, harapan kaum muda tidak menjadikan dirinya sebagai  reaksioner. Inilah yang diharapkan dari jiwa yang selalu menyala dan bersemangat untuk menumbuhkan karakter.
Sebelum jauh mengekspresikan diri, kaum muda harusnya lebih dulu mengenali dirinya, apa yang mampu mereka perbuat untuk kemaslahatan bersama. Seperti tulisan Nietzsche bagaimana menggambarkan Ubermensch atau manusia unggul.
Nietzsche berpendapat bahwa setiap manusia yang dilahirkan mampu bertahan dalam dorongan hidup yang keras. Menerima segala tantangan dengan melakukan inovasi supaya kemampuan yang ada pada dirinya keluar secara maksimal.
Jika para kaum muda kontemporer tidak mampu menerima gempuran budaya yang dinamis hingga membuat sebuah budaya dapat dibilang sebagai peradaban baru. Dengan melimpahnya teknologi, jadilah mereka merugi karena tidak mempu memperalat alat malahan diperalat oleh alat.
Mereka yang diperalat oleh alat hanya akan asik kongkow eksistensi demi story dan like di media sosial. Tapi mereka yang memperalat alat akan mampu memberikan cipta sebagai kemanfaatan bersama.
Tentu para kaum muda tidak bisa dilepas begitu saja, ada campur tangan pemerintah dalam penciptaan sebuah cipta. Dorongan pemerintah tidak melulu soal cipta yang mampu berdampak pada income pribadi ataupun sebuah lembaga.
Semua harus berasaskan Ekonomi Kerakyatan yang tertuang dalam Tap-MPR No: IV/MPR/1999 mengenai Garis-Garis Besar Haluan Negara yang menyatakan bahwa sistem perekonomian Indonesia ini ialah Sistem Ekonomi Kerakyatan.
Sebagai masyarakat yang kolektif, dengan membangun iklim Sistem Ekonomi Kerakyatan diharapkan mampu mendorong masyarakat untuk memiliki competitive advantage supaya semua merasakan kebijakan dan iklim kompetisi dalam pembangunan dari sektor ekonomi.
Dari semua ini, diharapkan lahir dari para kaum muda, bukan sebagai pembatasan ruang gerak setiap masyarakat. Namun, harapan datang dari setiap kaum muda untuk mampu memberikan ide-ide baru yang segar, relevan, dan original.
Sebagai penutup, penulis mengutip kata-kata dari Tan Malaka "Cuma manusia pengecut atau curang yang tiada ingin melakukan pekerjaan yang berat, tetapi bermanfaat buat masyarakat sekarang dan dihari kemudian itu".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H