Kenaikan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di perguruan tinggi negeri (PTN) di
Indonesia telah menjadi isu yang memicu protes mahasiswa di berbagai kampus.
Kenaikan ini sering kali dikaitkan dengan status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan
Hukum (PTN-BH) yang memberikan otonomi kepada kampus dalam pengelolaan sumber
daya dan penentuan biaya pendidikan. PTN-BH dan otonomi kampus memiliki Status
PTN-BH memungkinkan kampus untuk lebih mandiri dalam mengelola keuangannya.
Mereka diberi wewenang untuk menentukan sendiri besaran UKT berdasarkan
Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Biaya Operasional
Pendidikan Tinggi (SBOPT) pada PTN. Dalam peraturan tersebut, hanya kelompok UKT
1 dan 2 yang ditetapkan dengan batasan tertentu, sedangkan kelompok UKT lainnya
ditentukan oleh masing-masing perguruan tinggi. Jaringan Pemantau Pendidikan
Indonesia (JPPI) menyatakan bahwa PTN-BH mendorong privatisasi dan komersialisasi
pendidikan tinggi. PTN-BH diizinkan dan diwajibkan untuk berbisnis guna memenuhi
kebutuhan operasional kampus. Hal ini berbeda dengan sistem PTN di masa lampau
yang sepenuhnya dibiayai oleh negara tanpa dorongan untuk mencari keuntungan
sendiri.
 Dampak Rendahnya Bantuan Operasional guru besar Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI), Cecep Darmawan, menilai bahwa kenaikan UKT yang dianggap tidak
rasional tidak lepas dari rendahnya bantuan operasional yang diberikan oleh pemerintah.
Dengan bantuan yang terbatas, PTN-BH harus mencari tambahan dana melalui berbagai
cara, seperti kerjasama riset, inovasi, dan hak paten. Namun, tidak semua PTN-BH
mampu melakukan ini secara efektif, sehingga kenaikan UKT menjadi solusi untuk
menutupi biaya operasional. Rgulasi PTN-BH pada dasarnya tidak salah. Mahalnya UKT
bukan semata-mata disebabkan oleh status PTN-BH, melainkan oleh minimnya bantuan
pemerintah. Sehingga, permasalahan utama terletak pada rendahnya alokasi dana
pemerintah untuk pendidikan tinggi.
Kesimpulan
Polemik kenaikan UKT di PTN di Indonesia memiliki beberapa faktor penyebab. Status
PTN-BH memberikan otonomi kepada kampus dalam menentukan biaya pendidikan,
yang dalam beberapa kasus berujung pada kenaikan UKT. Namun, masalah utama yang
mendasari kenaikan ini adalah rendahnya bantuan operasional dari pemerintah, yang
memaksa PTN-BH untuk mencari sumber dana tambahan guna menutupi biaya
operasional mereka. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan evaluasi mendalam
terhadap kebijakan bantuan operasional dan mekanisme penentuan UKT di PTN-BH.
Pendekatan yang lebih berimbang antara otonomi kampus dan dukungan pemerintah
dapat menjadi solusi untuk menjaga aksesibilitas pendidikan tinggi bagi seluruh lapisan
masyarakat tanpa membebani mahasiswa dengan biaya yang tidak rasional.
Referensi
Sumarno., Gimin., Nas, S. 2017. Dampak Biaya Kuliah Tunggal Terhadap Kualitas
Layanan Pendidikan. Jurnal Manajemen Pendidikan. 4(2) : 184-194.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H