Mohon tunggu...
Riski Ramadan RR
Riski Ramadan RR Mohon Tunggu... Wiraswasta - I love imagination

Pekerja Serabutan [ kerjaannya banyak, bayarannya sedikit ]

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Panggung Cerita

17 Maret 2015   11:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:32 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teater itu sedang mementaskan drama tentang kisah cinta seorang gadis betawi dan pria asing yang berasal dari Belanda.
────
Gadis berusia sekitar 20 tahun itu senang sekali bisa terpilih menjadi pemeran utama sebagai Fatimah, seorang wanita yang bertemu dengan pria Belanda bernama Robert. Keduanya jatuh cinta. Namun semua terhalang restu orang tua Fatimah yang sama sekali tidak suka dengan pria Belanda tersebut.
"Abang, orang tua aye nggak ngerestuin hubungan kite. Tolong abang ngerti yeh,"
"Fatimah, saya janji akan menanggung konsekuensinya, semua tantangan akan kita hadapi. Fatimah, kamu harus percaya itu."
Adegan saat Fatimah menemui pria Belanda itu didepan rumahnya. Meski tak lancar berbahasa Indonesia, pria itu berusaha sedemikian rupa.
"Abang, cepet pergi dah. Keburu babeh dateng, bakal berabe,nih."
"Oke, saya akan pergi, tapi
besok saya akan ke sini lagi,"
Fatimah memegang rambut yang dikepangnya, mengusir pujaan hati dengan lembut, karena babehnya yang tak suka orang Belanda. Semua yang dilakukan Fatimah untuk melindungi pujaan hatinya, karena ia tak mau kekasihnya itu menjadi sasaran golok yang diasah babeh tiap malam.
***
Adegan yang satu ini membuatnya semakin cinta dengan dunia seni peran.
Di hadapan nyak, babeh. Fatimah menjelaskan bahwa pria yang sedang dekat dengannya adalah pria baik-baik.
"Sampe kapan pun gue nggak bakalan setuju!" babeh memukul meja keras.
"Robert laki-laki pujaan Fatimah,beh, laki-laki baik, die sayang sama Fatimah,beh."
"Ape? Gue kagak salah denger? Baik macem ape yang tega ngejajah negara kite berabad-abad? Fatimah.. Fatimah lo anak babeh bukan,sih? Walopun Indonesia udeh merdeka,gue tetep nggak suka ame yang namanye Belande."
Fatimah Bergeming di hadapan jendela. Bersedih, tak ada harapan yang tersisa. Kata-kata babehnya tadi masih berkelebatan dibenaknya.
Pada suatu pagi, pria Belanda itu diam-diam menemui Fatimah lewat jendela kamarnya.
"Kita kawin lari saja, Fatimah!"
"Abang gila? Aye nggak mau,"
Pria itu memegang tangan Fatimah.
"Kamu sudah tak cinta lagi sama abang?"
Mata birunya menyiratkan kerinduan, dia takut jika cintanya tak dapat digapai.
Sejenak, Fatimah membayangkan saat awal bertemu, berboncengan dengan sepedah mengelilingi kota dan kenangan-kenangan manis lainnya.
"Ikut saya ke Belanda, Fatimah."
Fatimah memerhatikan pria di hadapannya. Dia tahu, nyak dan babehnya sangat penting dari apapun. Pria Belanda itu muncul, mengubah segalanya.
Tetapi, sesaat yang hanya muncul dibenak Fatimah saat ini adalah pisah. Fatimah merasa diantaranya dengan pria Belanda itu sudah berbeda pemikiran. Fatimah sendiri sudah tak punya solusi untuk bisa memengaruhi orang tuanya. Fatimah lebih menyayangi orang tuanya dibanding pria Belanda itu.
Pada akhirnya dia memutuskan untuk mengakhiri cintanya. Namun, dua hari kemudian, sesuatu yang mengejutkan Fatimah datang tanpa diduga.
Fatimah tak tahu orang tua pria Belanda itu datang ke Indonesia sejak kapan? dan mengapa begitu ramai?
Benarkah yang dipegang beberapa orang itu merupakan hantaran dalam melamar seseorang?
Entah mengapa keadaan begitu ramah saat semua rintangan terjawab sudah. Semua terjadi tanpa begitu saja. Fatimah tak tahu bagaimana bisa pria Belanda itu menyiapkan semua ini? menyewa tanjidor, hantara khas Indonesia dan membawa orangtuanya ke sini. Babeh yang tadinya bersikap tak suka sekali dengannya, malah bersikap ramah. Fatimah masih menganggap mimpi, tapi dia tidak mimpi, dia mendengar jelas pria itu berkata apa.
"Fatimah, maukah kamu jadi istri abang?"
Fatimah mengangguk, senyum manisnya melukiskan kebahagiaan, pernikahan pun semakin dekat.
***
Gadis yang tengah merapikan rambutnya di ruang make-up itu membayangkan kembali, beberapa menit yang lalu, tepuk tangan dan sorak penonton membuat dirinya begitu puas dengan apa yang ia perankan hari ini.
Dia mulai melangkah keluar backstage, menghirup udara kebebasan dari drama itu, pikirnya.
Pandangan laki-laki blasteran itu tertuju pada panggung yang tertutup tirai berwarna merah. Sambil memegang se-bucket bunga. Suasana begitu membingungkan, drama yang dia saksikan sudah berakhir dan penonton pun sudah bubar dengan puas.
Mengapa laki-laki itu masih duduk di bangku teater itu?
Gadis yang hendak keluar dari teater itu tiba-tiba berhenti sesaat setelah melihat laki-laki blasteran yang pandangannya lurus ke depan sambil senyum-senyum sendiri.
Gadis itu mengernyitkan alis.
Dengan takut-takut, gadis itu memanggil laki-laki yang tengah duduk nyaman di bangku itu dari kejauhan.
"Halo, selamat malam! Dengan siapa?"
Laki-laki itu menoleh, memasang tampang gembira dan senyum yang menggoda.
Alis gadis itu terangkat, perasaannya kini terbagi dua, di satu titik senang karena wajah gembira yang muncul dari kejauhan, dan satu titik lagi takut karena merasa aneh dengan lelaki itu.
Gadis berparas cantik ini mengerjap setelah lelaki itu menyorongkan se-bucket bunga kepadanya.
"Untukmu." lelaki itu memulai. Dengan senyum lebarnya.
"Terima kasih!" gadis itu menerimanya. Lalu, langsung dihirup aroma harum bunga tersebut.
"Erwin," dengan sedikit malu, lelaki itu mengulurkan tangannya.
"None, panggil saja non,"
"Saya sangat menikmati pementasan drama tadi, i love it, i love act. Your acting is amazing."
Lelaki bernama Erwin itu memberikan pujian terhadap None. Sepertinya ada yang ingin disampaikannya. Atau kesan terindah, disudut-sudut senyumnya kepada None menyiratkan ketertarikan.
"Saya tertarik dengan akting, jika boleh saya ingin mendaftar ke grup teater kamu."
"Boleh sekali, pementasan drama hanya show satu kali seminggu. Dan latihan hanya 6 hari, minggu-jumat. Setiap jam 12 siang sampai 5 sore." Jelas None.
"Oh, begitu. Terima kasih! Besok kita ketemu lagi, kan?"
None mengangguk. Perbincangan selesai.
***
Siang yang cerah mereka bertemu, saling menyapa, menyambut. Kesan seperti hambar rasanya. Karena bukan di akhir atau klimaks.
"Di grup teater ini, kita saling berekspresi, bertukar pikiran, kadang nangis bareng. Dan nggak cuma remaja atau orang dewasa aja yang bergabung, di sebelah sana pentasnya anak-anak, kadang aku juga sering ngajarin mereka."
None mengenalkan grup teaternya pada Erwin. Berdua. Bersisian. Salah satu hal yang tak bisa ia pungkiri ialah senyum yang dimiliki Erwin membuat suasana tenang, nyaman dan akrab. Sampai ingin memejamkan mata. Tetapi, hal yang mengagetkan muncul bersamaan dengan degup kencang.
Tiba-tiba Erwin memegang kedua tangannya dengan tulus, terlihat dari mimik juga mata bening yang berbinar.
"Menikahlah denganku, permaisuriku."
None mengernyitkan alis penuh debar. Dianggapnya romantis seketika berubah menjadi kecemasan.
"Kamu bercanda?"
"Bercanda." Lelaki itu tertawa.
"Nggak lucu."
Kini bibirnya mengerucut. Tawa yang didengarnya membuat tersipu.
Lalu, hening.
Kalau saja itu sungguhan, None takkan menolak. Aktingnya luar biasa. None mulai merasa kejanggalan. Apa lagi saat matanya ditatap Erwin penuh arti. Seperti mata kucing, tanpa kedip. Mungkin, inilah cara menjiwai peran.
Alih-alih ceria, None merasakan tatapan tajam dari kejauhan sana. Teman-teman segrupnya memanggil dengan cara bahasa tubuh, dengan cara mengayunkan telapak tangan.
"Sini.. sini,"
"Itu siapa? ganteng..."
"Kasep pisan, kayak bule."
"Kamu dapet dari mana?"
"Cie. Itu pacar kamu, ya?"
None menghela napas. Saat disergap oleh teman-teman yang menggosipinya sejak tadi. Setelah mendengar ocehan sana sini, dia menjelaskan.
"Nggak ada apa-apa, cuman temen baru."
"Masa sih, Non?"
"Tadi mesra banget,lho!!!"
"Ngaku aja deh,"
Salah satu temannya Anita mengotot kalau None berhubungan dengan Erwin. Dengan menekan None, Anita bakal membuatnya tidak fokus dalam drama yang akan digarap sabtu mendatang.
"Kalian maunya apa, sih? Kalo aku bilang enggak ya enggak,"
Ucap None sewot, tak pernah sebelumnya dia sejengkel ini. Padahal teman-temannya hanya bercanda. Hanya saja diantaranya memang tak suka dengan None.
Keadaan kembali membaik saat semua siap melakukan pembedahan isi naskah yang akan dipentaskan. Judul yang menjadi tantangan adalah "Laila Si Gadis" sutradara dan penulis sudah menyiapkan segala isi cerita dan pemilihan tokoh. Sebelum casting dilakukan, tiba-tiba None memprotes karena belum casting dia sudah terpilih menjadi tokoh utama lagi.
"Tokoh utama lagi?"
"Mengapa?"
"Kita kan belum casting?"
"Saya tahu, saya yakin saya percaya. Kamu pasti bisa memerankan tokoh ini."
Entah mengapa None merasa canggung menerima peran tersebut. Tidak seperti biasa, yang hanya ada dipikirannya adalah takut. Takut jika lawan mainnya adalah Erwin.
Mengapa memangnya?
None merasakan gugup yang menciutkan. Debar halus saat memandang sosok lelaki itu.
Nanar.
"Dan lawan mainmu adalah Erwin! Satu-satunya anggota yang mempunyai jiwa besar dalam tokoh ini!"
Sudah diduganya.
"Oh ya. Omong-omong dapet dari mana? Hmm kalau begini, penonton bakalan nambah." Lanjutnya menyerocos.
Drama yang akan digarap None dkk adalah cerita yang terinspirasi dari lagu 'Laila Canggung' dimana tokoh Laila dijodohkan oleh orangtuanya. Banyak lelaki yang menyakitinya, karena dia tidak percaya sejati. Suatu saat dia bertemu sosok lelaki yang belum pernah dijumpainya.
Setelah semua mendalami peran, blocking yang sudah disiapkan. Barulah 2 hari setelahnya, running atau latihan utama dari dialog sampai mengatur pentas dilakukan.
None mencoba menghilangkan rasa gugupnya terhadap lelaki bernama Erwin. Perkenalan mereka yang baru beberapa hari meninggalkan kesan-kesan. Obrolan menyenangkan, diskusi tentang drama, dan menyebabkan konflik antara None dan Anita.
Perselihan antara mereka seolah tiada henti. Dari SMA sampai kuliah pun selalu ada yang harus diributkan. None tetap sabar dan ikhlas. Kesabarannyalah yang menjadi semua masalah seakan sirna dengan mengalah.
Seusai latihan, Anita membawanya ke toilet. Bersamaan dengan Erwin menawarkan untuk pulang bersama.
Mungkin.
Lagi-lagi terjadi.
Anita mungkin tak rela jika Erwin terus-terusan dekat dengan None.
"Mau ngapain lagi?"
"Lo nggak usah pura-pura nggak tau, deh. Jauhin Erwin."
"Kamu siapa saya? Apa hak kamu ngelarang-larang saya buat deket sama dia,ha?"
None menggertak, matanya membelalak tegas. Kesabarannya mungkin sudah habis.
"Saya heran sama kamu, kenapa setiap kali saya dekat sama laki-laki kamu selalu saja iri."
Saat perselisihan dan kenangan itu selesai. Tiba-tiba terkuak kembali saat Anita memancing emosi. None menerobos Anita dengan cepat. Dia berlari keluar toilet dengan muka sedih. Lalu menangis. Dia tahu hal ini tak penting untuk ditangisi kembali.
Cuma masalah teman dekat.
Dulu, saat None baru semester satu. Dia jatuh hati pada seorang pria, tak lama kemudian Anita merebutnya dengan segala cara. Mematahkan hatinya sampai melebur.
Jangan lemah. Kejahatan tak boleh dibalas kejahatan, tetapi kebaikanlah yang akan membuat semua yang jahat menjadi baik.
***
Sabtu malam tiba.
"Laila Si Gadis Desa."
Laila sepertinya sudah tak menghiraukan ucapan kedua orangtuanya yang selalu menginginkan anaknya untuk cepat menikah. Tetapi, dia sudah sering patah hati. Banyak laki-laki yang ingin melamarnya. Namun, berakhir dengan tidak beres.
Adegan yang membuat None kesal, karena terus-terusan dibodohi laki-laki. Tetapi untuk penjiwaan, ia tak memikirkan laki-laki. Melainkan Anita yang seolah menghidupkan rasa kesal terhadap dirinya.
"Saya tak mau ayah, ibu. Saya sudah sangat ringkih oleh laki-laki, disakiti, dibohongi. Apa ayah dan ibu tidak merasakan apa yang saya rasa?"
"Kamu tak boleh berbicara seperti itu, Laila!"
"Saya tak mau dijodoh-jodohkan."
Laila berlari. Pergi. Menjauh dari rumah. Dia pergi ke hutan untuk menenangkan diri.
Datang adegan seorang pria tampan dan gagah yang sedang berburu. Laila menabrak pria itu.
Pria itu menahan berat tubuh Laila, dengan saling memandang.
Mereka bertatapan. Saling menebar senyum satu sama lain. Degup kencang yang begitu merisihkan hati dirasanya seketika. Getaran yang mulai menyebar membuat senyum itu kian lama hinggap diwajahnya.
Alasan yang cukup untuk menangkangkap cinta yang berhamburan melayang-layang. Kejadian yang spontan terjadi di atas panggung. Adegan yang cukup lama.
Cukup lama.
Terlihat pasangan muda-mudi maupun yang lain, saling menebar senyum haru. Dan tak sabar ingin bersorak.
Kembali ke pentas.
"Siapakah Anda? Sepertinya aku belum pernah bertemu dengan sosok sepertimu."
"Saya Sultan dari pulang seberang,"
"Pulau seberang?" tanyanya heran.
"Ya, dengan Nona siapa?"
"Laila." sambil menjabat tangannya.
Setelah berkenalan, Laila mengajaknya ke desa tempat yang ditinggalinya.
Perkenalan pun berlanjut di hari-hari kemudian. Semakin akrab. Semakin menumbuhkan kepercayaannya akan kisah cintanya.
Mungkin tuhan telah mempersiapkan kebahagiaan padanya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba.
Semakin cepat hari berlalu. Keduanya saling jatuh cinta. Rencana pernikahan yang segera dilaksanakan pun begitu membahagiakan. Namun, semua terhalang restu orangtua Laila.
"Dia bukan dari suku kita, Laila!"
"Tidak! Saya sangat mencintai dia, mau bagaimana pun saya akan tetap menikah."
"Kerap kali kau menentang perkataan kami!" Ayahnya menunjuk pada Laila. "Sekarang pilih orangtuamu ini atau kau ingin aku tendang dari rumah ini dan jangan pernah kembali?" Lanjutnya dengan nada bicara yang sangat tinggi.
"Saya memilih..." Laila tergugu. "Cinta sejati saya," lalu menahan tangis.
"Pergi dari rumah ini!! Pergi!!!"
Ayahnya mendorong kuat hingga terjatuh. Lalu menutup pintu dengan kencang, hingga mengeluarkan bunyi keras.
Laila menangis, tetapi langsung dipeluk oleh calon suaminya. Mungkin, semua orang akan menganggapnya sebagai anak durhaka. Tetapi, hati kecilnya yakin dengan keputusan terbaiknya. Dia juga meyakini jika suatu saat orangtuanya akan mengerti keputusan yang diambilnya.
2 tahun kemudian tinggal jauh dari orangtua. Laila merasakan kerinduan yang melekat di hatinya. Kini mereka sudah dibuahi satu orang anak. Mungkin, sudah waktunya dia mengunjungi ayah ibunya.
Saat tiba di desa kecilnya, Laila merasakan hal yang tak begitu menyenangkan, hatinya begitu gelisah dan tak tenang.
Kemudian, dia melihat rumah kecilnya yang sudah gubuk. Seorang wanita lansia bertubuh kurus tengah duduk di teras. Dari kejauhan dia merasakan hatinya yang tak henti didera sesal. Penyesalan yang menyerbunya.
"Ibu. . . ." Dia memanggil sambil berlari, lalu menjatuhkan air matanya.
Laila memeluk wanita tua itu dengan tangis yang tak bisa dicegahnya. Lalu, berlutut sembari meminta maaf.
"Maafkan aku ibu, maafkan aku."
Ibunya tersenyum. Air matanya mengalir perlahan.
"Ibu sudah memaafkanmu, nak,"
"Terimakasih bu, di mana ayah?"
Hening. Sultan dan si kecil mendekat perlahan.
"Ayah di belakang rumah."
Laila langsung bergegas. Sambil meneriakan 'ayah' berulang-ulang. Namun, dia tercengang saat ditemuinya malah gudukan tanah berbatu nisan.
"Ayah...." teriaknya mengagetkan Ibu, suami, dan anaknya.
"Kau harus mengikhlaskan nak."
"Aku belum sempat meminta maaf, bu."
"Dengan begini, kau sudah dimaafkannya."
Semua telah terjadi. Penyesalan begitu terasa di benaknya. Tetapi, untuk ibu dia ingin membahagiakannya.
***
Tepuk tangan meriah membuat para pemeran sekaligus crew bersorak bangga atas pencapaian hari ini. Meski terbilang sederhana, kekuatan akting None dkk begitu luar biasa. Dan, kejutan indah untuk None datang dari Erwin.
Dia menarik tangan gadis itu, dan membawanya entah ke mana? Tanpa ganti baju atau apapun.
"Ada apa Erwin?" Tanyanya heran, lalu kedua tangannya dipegang oleh lelaki itu.
Mereka bertatapan.
"Non, kamu yang aku cari."
Erwin memeluk None dengan erat. Dipeluknya None merasakan sebuah rasa yang tak asing. Seperti api yang menyulut pada hatinya lalu memanas.
"Saya merasakan, Non. Merasakan!"
"Apa maksudmu?"
Tiba-tiba Erwin mencium tangannya.
Hah?
"Sekarang, kamu ngerti?"
"Kamu?"
Alisnya mengernyit menatap wajah lelaki di hadapannya. Kemudian tersenyum, lalu mengangguk.
Sosok lelaki di dekatnya melonjak, melompat-lompat kegirangan dan berlari sambil membopong permaisurinya. Dengan terkaget-kaget None masih tak percaya. Tetapi, bukti cintanya membuahkan motivasi dalam berkarya. Dia juga sudah tak menghiraukan orang-orang yang seolah mencoba menghalangi kisahnya.
Kisah yang berawal dari sebuah panggung.[]
_

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun