Mohon tunggu...
Riski Pratama
Riski Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Buruh Harian diri Sendiri dan Penjinak Isu dengan tulisan yang tidak berfaedah

Belajarlah dari kesalahan. Jika kau belajar dari kebenaran maka tak ada yang namanya proses. Jika Ragu Pulang Saja !!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Problematika Perkawinan Siri

11 Juli 2022   22:55 Diperbarui: 11 Juli 2022   23:11 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkawinan atau pernikahan adalah ritus sakral yang menjadi jalan untuk menghalalkan sesuatu yang haram menjadi halal yaitu berhubungan badan. Bukan tentang kebutuhan biologis saja menikah itu dilakukan, akan tetapi dengan jalan menikah manusia mencapai nilai kodratnya karena setiap manusia diciptakan secara berpasang-pasang. 

Secara islam, perkawinan dikehendaki juga sebagai langkah untuk menghidupkan peradaban dengan lahirnya generasi yang akan turut serta membangun perdaban dunia. Karena itulah, perkawinan menjadi sangat sakral karena mengandung nilai serta tujuan yang kompleks pada saat perkawinan dijalankan.

Sebagai negara penganut paham Negara Hukum yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, perkawinan haruslah dilandaskan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah dibuat disamping harus sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. 

Dalam realitas sosial-kemasyarakatan, tentu kita mengenal adanya sebutan perkawinan dibawah tangan atau dalam term islam disebut sebagai nikah sirri. Nikah sirri adalah bentuk pelangsungan perkawinan yang tidak dicatatkan kepada pegawai pencatatan nikah. Dalam hal istilah perkawinan sirri, perkawinan sirri sebenarnya tidak terdapat definisinya dalam fiqh klasik. 

Di dalam fiqh klasik dapat dilihat bahwa redaksi sirri adalah perkawinan yang disembunyikan atau tidak diumumkan statusnya ke khalayak umum. Terminologi ini kemudian diperlebar cakupannya mengacu pada ketentuan UU Perkawinan yaitu bahwa term perkawinan sirri adalah perkawinan yang tidak dicatatkan kepada negara.

Pencatatan perkawinan adalah bagian dari tertib administrasi dan sebagai penjaminan hukum perkawinan sehingga adanya pencatatan perkawinan dapat menjadi tanda bahwa perkawinan yang telah dilangsungkan diakui mempunyai legalitas secara hukum, sehingga negara sebagai pemangku kebijakan dan institusi yang mendistribusikan keadilan dan kesejahteraan dapat turut serta menjamin hak-hak seseorang yang telah melangsungkan perkawinan. Hal ini diatur dalam pasal 2 ayat 2 UU No 1/1974 yang menyatakan bahwa perkawinan akan memiliki legalitas secara undang-undang, jika dicatatkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tentu hal ini akan berdampak pada seseorang yang melakukan perkawinan dibawah tangan atau sirri. Salah satu dampaknya adalah seseorang yang melangsungkan perkawinan akhirnya tidak memiliki jaminan berupa dokumen sah atas perkawinannya dan akan menyebabkan ketika ada penyelewengan yang dilakukan oleh kedua pasangan, hal ini akan berakibat tidak dapat dituntutnya perbuatan tersebut. 

Sehingga secara yuridis, legalitas perkawinan yang berhubungan dengan hak-hak berumah tangga tidak dapat dilindungi oleh negara. Hal ini akan sangat berdampak pada perempuan. Karena dalam kehidupan berumah tangga, hak-hak yang berkaitan dengan kesejahteraan materil banyak diterima oleh pihak perempuan. 

Meskipun di dalam UU ditegaskan bahwa hak dan kewajiban suami dan istri memiliki kedudukan yang sama, akan tetapi berkaitan dengan hal ihwal materi istri lebih banyak mendapatkannya. Mulai dari hak nafkah, hak mahar ketika belum dibayarkan secara kontan, hak mendapatkan jaminan hidup yang layak bagi seorang perempuan seperti, baju dan tempat tinggal. 

Di lain sisi, dampak perkawinan sirri akan dirasakan oleh anak hasil dari perkawinan tersebut. Seperti hak mewarisi, hak mendapatkan identitas diri seperti akta. 

Terlebih, perkawinan sirri memiliki banyak mudhorot selepas kedua pasangan bercerai. Hal ini tentunya akan sangat rumit secara administratif untuk mengurusi percerainnya, karena tidak ada dokumen legal atas perkawinan yg dilangsungkan. Dan pada sisi materilnya, pasca bercerai istri dan anak tidak dapat menuntut hak-haknya yang wajib diperoleh keduanya dari pasangan atau ayah si anak. Seperti keduanya tidak dapat menuntut hak nafkah pasca bercerai, hak pengasuhan bagi anak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun