Mohon tunggu...
Riski
Riski Mohon Tunggu... Mahasiswa - Berusaha belajar untuk menjadi pelajar yang mengerti arti belajar

Ada apa dengan berpikir?

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kerancuan Pemikiran Suhrawardi tentang Mahiyah sebagai Prinsip dan Wujud sebagai Itibar

4 Januari 2025   21:48 Diperbarui: 4 Januari 2025   21:48 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.app.goo.gl/NCcK6teMo5DhYQFj7

Syihab al-Din Suhrawardi, pendiri Hikmah Isyraqiyyah, adalah seorang filsuf yang menawarkan pandangan radikal dalam filsafat Islam. Salah satu ide pokoknya adalah bahwa mahiyah (esensi) merupakan prinsip realitas, sedangkan wujud (eksistensi) hanya bersifat i'tibari (konseptual atau sekadar konstruksi mental). Pandangan ini menentang doktrin ashalah al-wujud (fundamentalisme eksistensi) yang kemudian dikembangkan oleh Mulla Shadra. Namun, pendekatan Suhrawardi terhadap wujud mengandung sejumlah kerancuan filosofis yang patut dikaji.

Dalam filsafat Isyraqiyyah, Suhrawardi berargumen bahwa eksistensi bukanlah entitas independen yang nyata. Ia menganggap wujud hanya sebagai kategori mental.

Suhrawardi mendasarkan filsafatnya pada konsep "cahaya," yang dianggap sebagai realitas paling mendasar. Dalam karyanya Hikmah al-Isyraq, ia mengajukan bahwa cahaya dan kegelapan membentuk dasar ontologis segala sesuatu. Eksistensi, menurutnya, hanyalah representasi mental dari berbagai tingkatan cahaya.

Dalam buku Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Shadra, Murtadha Muthahahari menyoroti kerancuan mendasar dalam pendekatan Suhrawardi terhadap wujud dan mahiyah. Berikut adalah beberapa poin kerancuan tersebut:

1. Kontradiksi Antara "Cahaya" dan Penolakan Eksistensi sebagai Realitas

Suhrawardi menganggap cahaya sebagai realitas tunggal dengan gradasi, namun menolak eksistensi sebagai sesuatu yang real. Hal ini menciptakan kontradiksi filosofis, karena karakteristik yang ia atribusikan kepada cahaya---seperti gradasi, substansi, dan kebutuhan akan relasi dengan "kegelapan"---sebenarnya lebih cocok diterapkan pada eksistensi. Para filsuf seperti Mulla Shadra kemudian menunjukkan bahwa "cahaya" dalam filsafat Suhrawardi sejatinya adalah eksistensi itu sendiri.

2. Reduksi Wujud menjadi Konsep Mental

Dengan menyatakan bahwa wujud bersifat i'tibari, Suhrawardi mengabaikan fakta bahwa realitas tidak dapat sepenuhnya direduksi menjadi konstruksi mental. Filsafat Muta'aliyyah menunjukkan bahwa eksistensi adalah fondasi segala sesuatu, termasuk mahiyah. Mahiyah tidak dapat aktual tanpa wujud, sehingga menjadikan mahiyah sebagai prinsip fundamental justru bertentangan dengan pengalaman dan realitas objektif.

3. Kesalahan Interpretasi Sejarah

Dalam bukunya, Muthahahari menyebutkan bahwa Sabzawari, yang dipengaruhi oleh Suhrawardi, berusaha menyelaraskan konsep "cahaya" dengan eksistensi. Namun, dalam hal ini Suhrawardi dengan tegas menunjukkan bahwa ia sendiri menolak eksistensi sebagai realitas. Hal ini menunjukkan bahwa filsafat Suhrawardi sulit dipertahankan secara konsisten, bahkan oleh para pengikutnya.

Oleh karena itu, dalam hal ini kerancuan Suhrawardi dalam memprioritaskan mahiyah atas wujud memiliki dampak signifikan pada perkembangan filsafat Islam:

1. Pergeseran Fokus Ontologis

Dengan menolak eksistensi sebagai realitas fundamental, Suhrawardi menggiring filsafat menuju pendekatan yang lebih abstrak dan spekulatif. Hal ini menjadikan filsafat Isyraqiyyah kurang relevan dalam menjelaskan realitas konkret dibandingkan tradisi Muta'aliyyah yang memprioritaskan eksistensi.

2. Kesulitan dalam Integrasi Metafisika dan Ontologi

Filsafat Isyraqiyyah tidak mampu menjembatani hubungan antara konsep mental (wujud sebagai i'tibari) dan realitas objektif. Sebaliknya, filsafat Muta'aliyyah berhasil mengintegrasikan keduanya dengan menegaskan bahwa eksistensi adalah realitas yang mencakup semua tingkatan, dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi.

Dengan demikian, dari apa telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa pandangan Suhrawardi tentang mahiyah sebagai prinsip dan wujud sebagai i'tibari mengandung kerancuan filosofis yang serius. Dengan menolak eksistensi sebagai realitas, ia menciptakan kontradiksi dalam sistemnya sendiri dan gagal menjelaskan hubungan antara konsep mental dan realitas objektif. Pemikiran ini akhirnya dikoreksi oleh Mulla Shadra, yang melalui filsafat Muta'aliyyah menegaskan eksistensi sebagai fondasi realitas yang memungkinkan pemahaman yang lebih holistik tentang wujud dan mahiyah.

Referensi:

Murtadha Muthahahari, Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Shadra, (Bandung: Penerbit Mizan, April 2002), 60-63.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun