Mohon tunggu...
Riski
Riski Mohon Tunggu... Mahasiswa - Berusaha belajar untuk menjadi pelajar yang mengerti arti belajar

Ada apa dengan berpikir?

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Apakah Aku Telah Pantas Disebut Manusia Ketika Aku Diberikan Akal?

13 Agustus 2024   11:14 Diperbarui: 13 Agustus 2024   11:37 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.app.goo.gl/JTYRMNdVfGAR6LjN8

Berbicara mengenai manusia, kata "berakal" mungkin sudah tidak asing lagi. Manusia adalah makhluk yang diistimewakan dari makhluk lainnya karena diberi akal oleh Allah SWT. Namun, apakah dengan diberikannya akal, kita sudah layak mendapatkan gelar manusia? Dalam firman-Nya, Allah SWT menegaskan bahwa manusia diberi akal agar mereka berbeda dengan makhluk lainnya. Ayat tersebut berbunyi: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan." Apakah ungkapan "kelebihan yang sempurna" ini menegaskan bahwa kita sudah layak disebut manusia?

Dalam firman-Nya yang lain, Allah SWT membicarakan manusia dari sisi berpikirnya. Hal ini dapat ditemukan dalam sebuah ayat yang artinya: "Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam dengan banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka memiliki telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah." Dalam ayat ini, Allah SWT menegaskan bahwa kesempurnaan manusia terletak pada akal yang digunakan dengan benar sesuai tempatnya.

Dari kedua ayat tersebut, kita dapat menemukan dua poin penting yang perlu diungkap, yaitu kata "akal" dan "berpikir". Pertanyaannya, apakah cukup dengan berakal saja kita bisa dikatakan manusia, ataukah berpikir harus terlibat terlebih dahulu? Atau mungkin, berakal dan berpikir belum cukup untuk disebut sebagai manusia, melainkan kita harus menambahkan satu poin lagi, yaitu menempatkan berpikir pada tempat yang seharusnya.

Oleh karena itu, dalam artikel ini akan dibahas mengenai posisi akal dalam diri manusia dan apakah dengan itu kita sudah layak mendapat gelar manusia atau belum. Dalam ayat pertama, Allah SWT memberikan akal kepada manusia agar mereka berbeda dengan makhluk lainnya, seperti kambing, sapi, dan makhluk hidup lainnya yang tidak rasional. Namun, apa maksud dari firman itu? Dalam konteks ini, pemberian akal sebagai pembeda antara manusia dan makhluk lainnya menegaskan bahwa manusia berada satu tingkat lebih tinggi dari makhluk lainnya. Hal ini dikarenakan perbedaan utama antara manusia dan makhluk lain, terutama hewan yang tidak rasional, terletak pada adanya akal.

Dari sini dapat ditemukan satu kata kunci, bahwa manusia dilihat dari esensinya sudah mandiri, yaitu suatu hakikat diri yang hanya terdapat pada manusia dan tidak ditemukan pada makhluk lain. Lantas, apakah dengan posisi itu kita sudah pantas disebut manusia? Jawabannya adalah ya, karena ketika akal diberikan sebagai pembeda antara manusia dan makhluk lainnya, posisi manusia sebagai makhluk yang sering disebut manusia itu menjadi potensial. Namun, pemberian akal tersebut, meskipun aktual sebagai pembeda, masih potensial dalam hal berpikir. Artinya, aktualitas manusia sebagai makhluk yang disebut manusia hanya dapat terealisasi apabila akalnya telah beraktivitas.

Pertanyaan selanjutnya adalah, kapan akal pada makhluk yang disebut manusia itu mulai beraktivitas? Jawaban ini akan menjelaskan maksud dari firman kedua yang disebutkan sebelumnya, bahwa makhluk yang disebut manusia hanya dapat dikatakan manusia apabila sudah ada proses berpikir dalam akalnya.

Dalam hal ini, berpikir juga berarti beraktivitas. Ketika akal manusia mulai beraktivitas, maka pada saat itu predikat manusia pada makhluk yang disebut manusia telah menjadi aktual, bukan lagi hanya potensial. Namun, pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah dengan terjadinya proses berpikir, masalah predikat manusia telah selesai? Jawabannya adalah tidak. Memang benar bahwa aktualitas manusia terjadi ketika berpikir mulai ada pada akal, tetapi aktualitas manusia pada makhluk yang disebut manusia tersebut belum sempurna. Dikatakan sempurna apabila aktivitas berpikirnya berada pada tempat yang seharusnya.

Jika kita menelusuri lebih jauh, kesempurnaan kemanusiaan seorang makhluk yang disebut manusia hanya dapat terjadi apabila ia menempatkan berpikirnya pada tempat yang seharusnya. Ini juga menegaskan poin ketiga yang telah disebutkan di atas, yang menyatakan bahwa kemanusiaan seorang makhluk yang disebut manusia hanya dapat dikatakan sempurna apabila ia menempatkan kadar berpikirnya pada tempat yang seharusnya. Namun, apakah predikat manusia telah selesai dengan hanya menempatkan aktivitas berpikir sesuai tempatnya? Jawabannya adalah ya. Tetapi pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, bagaimana caranya agar berpikir pada manusia dapat terealisasi sesuai dengan kodratnya?

Untuk menjadi manusia bukanlah hal yang mudah, seperti membalikkan telapak tangan. Meskipun kita tahu bahwa untuk menjadi manusia kita harus menempatkan berpikir kita pada tempat yang seharusnya, namun merealisasikannya membutuhkan pendalaman yang panjang. Seperti halnya ketika kita ingin mempelajari suatu ilmu, tentu kita harus memahami dan mempelajari kaidah-kaidah ilmu tersebut agar kita tidak salah dalam memahaminya dan mengimplementasikannya. Begitu juga dalam hal berpikir. Ketika kita ingin berpikir sesuai dengan kodratnya, kita harus mempelajari kaidah-kaidah dalam berpikir. Dengan mengikuti kaidah-kaidah tersebut, berpikir manusia tidak akan keluar dari kodratnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kemanusiaan seorang manusia hanya dapat terjadi apabila ia benar-benar memahami kaidah tersebut dan mampu mengimplementasikannya dalam aktivitas berpikirnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun