Mohon tunggu...
Riski
Riski Mohon Tunggu... Mahasiswa - Berusaha belajar untuk menjadi pelajar yang mengerti arti belajar

Ada apa dengan berpikir?

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

ESENSI (Dzati): Menilik Esensi Manusia

7 Agustus 2024   17:38 Diperbarui: 7 Agustus 2024   17:39 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.astranawa.com/seksualitas-dan-spiritualitas-dalam-tasawuf-al-ghazali.html

Jika dilihat dari aspek klasifikasi, Pembagian dzt biasanya merujuk pada dua makna, yaitu:

1.Dzt dalam Pembahasan Isaguji (Lima Universal)

Dzt dalam konteks ini merujuk pada sifat atau esensi yang melekat pada sesuatu secara inheren dan tidak berada di luar dari sesuatu itu. Dengan kata lain, dzt dalam isaguji mencakup sifat yang merupakan bagian dari hakikat sesuatu, baik sebagai keseluruhan maupun sebagai bagian dari sesuatu tersebut. Bagian ini bisa berupa sesuatu yang bersifat musytarak (memiliki kesamaan dengan yang lain) atau mukhtash (memiliki kekhususan tersendiri).

2.Dzt dalam Pembahasan Burhn (Pembuktian Demonstratif)

Dzt dalam burhn digunakan dalam konteks logika dan pembuktian untuk menunjukkan sifat esensial yang tidak bisa dipisahkan dari sesuatu yang dibuktikan. Dalam pembuktian demonstratif, dzt membantu dalam memahami dan membuktikan hakikat sesuatu melalui argumen yang kuat dan logis.

Dengan demikian, pemahaman dzt dalam kedua pembahasan ini membantu dalam mengidentifikasi sifat dan esensi yang melekat pada sesuatu, baik dalam konteks lima universal (isaguji) maupun dalam pembuktian logis (burhn).

Dari kedua klasifikasi di atas, penulis akan membahas konsep dzt dalam pembahasan Isaguji menurut pandangan Ibnu Sina, Mulla Sadra, Akhun Mulla Muhammad Kzhim Khurrsn, dan Allamah Thabathaba'i.

Menurut Paripatetik; Aristoteles, dan dilanjutkan oleh Ibnu Sina, esensi (dzati) dari manusia terdiri dari tiga unsur utama: genus, spesies, dan diferensia. Genus merujuk pada kategori umum yang mencakup manusia, seperti hewan. Spesies menunjukkan kelompok spesifik, yaitu manusia sebagai makhluk rasional. Diferensia adalah karakteristik yang membedakan manusia dari spesies lain dalam genusnya, yaitu kemampuan berpikir rasional. Kombinasi dari ketiga unsur ini membentuk esensi manusia, yang mencakup identitas dasar yang membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya. Dengan demikian antara manusia dan hewan raiosal tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Menyebut manusia berarti kita menyebut hewan raiosal, dan menyebut hewan raiosal berarti kita sedang menyebut manusia. Yang artinya manusia dan hewan raional adalah esensi dari manusia.

Menurut Mulla Sadra, esensi (dzati) dari manusia adalah gerak, sebuah konsep yang menandai pergeseran signifikan dalam filsafat Islam. Berbeda dengan pandangan klasik yang melihat esensi sebagai sesuatu yang statis dan tidak berubah, Mulla Sadra memperkenalkan teori "gerak substansial" (al-harakat al-jawhariyyah). Dalam pandangan ini, segala sesuatu dalam alam semesta, termasuk esensi manusia, berada dalam keadaan terus-menerus berubah dan berkembang.

Gerak dalam konteks ini tidak hanya merujuk pada perubahan fisik tetapi juga mencakup perubahan esensial dan eksistensial. Bagi Mulla Sadra, esensi manusia tidak statis; ia mengalami transformasi terus-menerus dalam proses eksistensinya. Manusia bergerak dari potensi ke aktualisasi, dari ketidaksempurnaan menuju kesempurnaan, baik dalam aspek fisik, intelektual, maupun spiritual. Gerak ini mencerminkan perjalanan eksistensial manusia menuju tujuan akhir, yaitu kesatuan dengan Yang Maha Esa.

Pandangan Mulla Sadra ini menekankan dinamisme dalam eksistensi manusia. Esensi sebagai gerak mengimplikasikan bahwa manusia selalu berada dalam proses menjadi, selalu dalam perjalanan menuju realisasi diri yang lebih tinggi. Konsep ini mengajak manusia untuk melihat diri mereka sebagai entitas dinamis yang memiliki potensi untuk terus berkembang dan berubah, melampaui batasan-batasan statis yang sebelumnya dipahami dalam filsafat klasik. Dengan demikian, pandangan Mulla Sadra memberikan perspektif baru dalam memahami esensi manusia sebagai entitas yang dinamis dan selalu dalam proses evolusi.

Menurut Akhun Mulla Muhammad Kzhim Khurrsn, esensi (dzati) dari manusia adalah beribadah. Khurrsn, seorang ulama dan filsuf Islam terkemuka, melihat ibadah sebagai tujuan utama dan hakikat keberadaan manusia. Dalam pandangannya, ibadah tidak hanya terbatas pada ritual keagamaan, tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan yang dijalani sesuai dengan perintah dan kehendak Tuhan.

Ibadah dalam konteks ini mencakup tindakan, niat, dan sikap hidup yang selaras dengan nilai-nilai agama dan moral yang ditetapkan oleh Tuhan. Khurrsn menekankan bahwa kehidupan manusia harus diarahkan pada pengabdian total kepada Tuhan, yang melibatkan pengembangan spiritual, moral, dan etika dalam segala aktivitas sehari-hari.

Dengan demikian, esensi manusia sebagai makhluk yang beribadah berarti bahwa setiap tindakan manusia harus didasari oleh kesadaran untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, menjalankan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya, sehingga mencapai tujuan akhir hidup yang penuh makna dan kepuasan batin.

Menurut Allamah Thabathaba'i, esensi (dzati) dari manusia adalah kebahagiaan. Thabathaba'i, seorang filsuf dan teolog Islam, melihat kebahagiaan sebagai tujuan akhir dari eksistensi manusia. Kebahagiaan ini bukan sekadar kesenangan atau kenikmatan duniawi, melainkan kebahagiaan yang lebih mendalam dan abadi yang berkaitan dengan kedekatan manusia kepada Tuhan.

Thabathaba'i berpendapat bahwa esensi manusia adalah pencapaian kesempurnaan melalui perjalanan spiritual dan moral. Kebahagiaan sejati tercapai ketika manusia berhasil menyelaraskan diri dengan kehendak ilahi dan menjalani kehidupan yang berbudi pekerti tinggi. Oleh karena itu, pencarian kebahagiaan menurut Thabathaba'i melibatkan pengembangan potensi intelektual dan spiritual, serta penerapan nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian, kebahagiaan menurut Thabathaba'i adalah keadaan di mana manusia menemukan makna dan tujuan hidup melalui hubungan yang harmonis dengan Tuhan, yang pada akhirnya membawa ketenangan dan kepuasan batin yang mendalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun