Fenomenologi adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, yang berkembang pesat sampai ke abad kontemporer, bahkan perkembangan ilmu ini masih dipakai dalam dunia akademis saat ini, khususnya pada jurusan "Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora". Fenomenologi sangat memberikan pengaruh [sangat berpengaruh] bahkan ilmu ini bukan hanya sekedar sebuah mazhab filsafat dan bukan pula hanya sebuah sistem pemikiran, tetapi fenomenologi adalah ilmu yang juga dijadikan sebagai satu metode penelitian. Jikapun diperbandingkan antara fenomenologi [sebagai sebuah ilmu yang baru muncul belakangan dari Eksistensialisme] dan Eksistensialisme [sebagai sebuah ilmu muncul lebih lama dari fenomenologi]—Maka, akan terdapat perbedaan yang cukup menarik. Dikatakan menarik—karena mempertimbangkan gagasan dan teori eksistensialisme tidak pernah di pakai menjadi sebuah metode dalam menjawab problem epistemik—Sedangkan ilmu fenomenologika, meskipun ia baru ada, tetapi adanya bukan hanya menjadi sebuah ilmu, melainkan juga sebagai sebuah metode untuk menjawab masalah.
Melacak jejak historis sejarah, Fenomenologi sebagai salah satu mazhab filsafat terbesar (khususnya Filsafat Barat). Aliran ini merupakan satu dari beberapa mazhab filsafat yang lahir karena ketidaksepakatannya dengan tiga aliran besar dalam Filsafat Barat. Diantara ketiga aliran tersebut ialah Positivisme, Naturalisme, dan Historisisme. Mazhab Positivisme dan Naturalisme mendasari kebenaran suatu fenomena bersandar pada penilaian objektif, atau bisa disebut kedua aliran tersebut mengedepankan kebenaran hanya pada sesuatu yang objektif (Objektivisme), [baca: aliran Positivis dan Naturalis meyakini dan mempercayai akan adanya kebenaran objektif pada fenomena yang terjadi di alam ini. Olehnya itu mereka sangat menitik beratkan agar subjek harus meneliti fenomena yang terjadi lebih secara mendalam, dengan memperhatikan semua faktor dan lainnya, yang terdekat, juga yang sekiranya dapat menjadi bukti dalam menjawab problem dari masalah yang dihadapi]. Sedangkan mazhab Historisisme ialah aliran yang mendasari pembuktian suatu fenomena dengan bersandar pada penilaian subjektif, atau disebut pula aliran ini mengedepankan pemahaman subjek atas realitas. Berbeda dengan kedua pahaman di atas (Positivis dan Naturalis), yang mengedepankan pada kebenaran objekjektif—Dalam hal ini, bagi pahaman Historisisme tidak ada kebenaran objektif, semunya adalah hasil dari pemahaman subjek sendiri atas sesuatu, dan bukan dari objek di luar diri subjek—Sebeb, kita tidak bisa menemukan kebenaran dari sesuatu diluar diri subjek—karena, segala sesuatu yang di nilai, selalu dan selalu, tidak terlepas dari apa yang menjadi pradigma dan ideologi yang diyakini sebelumnya. Pahaman ini pula disebut (subjektivisme). Sedangkan Fenomenologi adalah aliran dalam filsafat yang lahir dari ketiga aliran tadi. Basis epistemologi yang oleh Fenomenologi juga di ambil dari ketiga aliran sebelumnnya, yaitu objektivisme dan subjektivisme—Namun, walaupun dasar basis epitemologinya dari ketiga aliran di atas, tetap saja antara Subjektibisme dan objektivisme yang dipakai oleh Fenomenologi berbeda dengan ketiganya secara totalitas.
Istilah "Fenomenologi" pertama kali di prakarsai oleh Hegel. Selain itu kita juga akan menemukan pembahasan "fenomena" dalam kerangka pemikiran Imanuel Kant. Pemikirannya terhadap fenomena sangat populer di dunia filsafat barat.
Tentu, berbicara fenomena, pikiran kita tidak asing lagi dengan lawan katanya, yaitu nomena. Secara maknawi nomena berarti sesuatu yang tidak tampak dan tidak tersentuh oleh aspek-aspek fisik [terkhusus Kant ia memberi makna lain selain dua hal tersebut, yaitu nomena tidak dapat diketahui. Namun, makna ini "tidak dapat diketahui" juga kemudian di kiritisi lagi oleh orang-orang yang tertarik dengan pemikirirannya. Mereka itulah yang disebut post Kant]. Kemudian pertanyaan yang kemudian hadir ialah terus apa yang dimaksud dengan Fenomena? Sebelum kita masuk pada definisi fenomena, sedikit kita tarik kebelakang terkait pendiri dari aliran Fenomenologi. Ia adalah Edmund Husserl. Husserl disebut sebagai pendiri dan tokoh yang mempopulerkan aliran Fenomenologi. Ia merupakan guru dari Heideger, dan juga merupakan salah satu filsuf besar dari Jerman.
Secara etimologi fenomena memiliki arti sesuatu yang nampak atau gejala. Sedangkan secara terminologis fenomena berarti gejala atau segala sesuatu yang nampak dalam kesadaran subjek. Maksud dari kata "nampak dalam kesadran" ialah segala sesuatu itu disebut gejala atau lebih tepatnya problem epistemik pada pikiran manusia, jika sesuatu itu lebih dahulu disadari [maksudnya: subjek yang mengetahui harus lebih dulu menyadari kehadirannya, barulah kemudian sesuatu itu disebut ada keberadaannya, karena jika sesuatu itu tidak disadari keberadaannya—Maka, sesuatu itu tidak ada].
Melihat definisi yang telah di jelaskan di atas bahwa, fenomenologi sebenarnya bagian dari Filsafat Idealis [Baca: Karena Filsafat Idealis basis epistemologinya adalah subjektivisme—Maka basis epistemologi fenomenologi adalah juga subjektivisme]. Meskipun basis epistemologi fenomenologi adalah subjektivisme—Namun, subjektivisme yang dimaksud berbeda dengan subjetivisme yang dipakai dalam basis epistemologinya aliran Historisisme [baca: Disebut berbeda antara subjektivisme menurut fenomenologi dan subjektivisme menurut Historisisme—Karena subjektivisme yang menjadi pahaman aliran Historis cendrung ekstrim ketimbang subjektivisme dalam pahaman Fenomenologi]. Olehnya itu basis epistemologinya Fenomenologi adalah subjektivisme cum objektivisme.
Selain sebagai basis epistemologi [baca: subjektivisme cum objektivisme] yang menjadi pijakan aliran Fenomenologi, tentu latar belakang penempatan basis epistemik ialah karena adanya tujuan yang ingin dicapai. Tujuan dari Fenomenologi adalah untuk mencapai yang namanya erlebnis (ilmu murni) [Baca: yang dimaksud dengan ilmu murni ialah ilmu tanpa adanya asumsi-asumsi di dalamnya. Maksudnya, menerima sesesuatu sebagai adanya, dengan tidak memasukan gagasan kita di dalamnya].
Contoh bentuk dari erlebnis; Seseorang bertanya pada seorang tukang becak, yang tidak adanya bikai teori atau pemahaman yang membingkai pikiran sebelumnya dan pada seorang mahasiswa Filsafat, yang sebelumnya memiliki teori atau pemahaman yang membingkai pikirannya, tentang konsep "Ada" yang dikaitkan pada sesuatu benda [baca: Sebut saja Matahari], "apakah Matarahari itu Ada?"—Jawaban pertanyaan itu di jawab oleh tukang Becak dengan berbalik bertanya "apakah bapak waras [baca: masuk akal]?". Di sini dapat dilihat bahwa penyebab tukang Becak merespon pertanyaan itu dengan penuh keanehan dan ketidaknyamanan—karena menurutnya pertanyaan itu sebenarnya salah dan keliru—Sebab, sesuatu yang sebenarnya jelas-jelas Ada, tetapi masih pertanyakan adanya.
Selesai pada tukang Becak, pertanyaan itupun berpindah pada Mahasa Filsafat. Ketika pertanyaan yang sama itu dilontarkan kembali pada Mahasiswa Filsafat—Jawaban yang kumudian keluar darinya adalah "Iya, Matahari itu Ada". Pengafirmasian Matahari itu Ada karena sebelumnya pemahaman tentang "Ada" sering menjadi pembahasan dalam kelimuan Filsafatnya—Sehingga ketika ada pernyataan yang dilontarkan terkait "Ada", baik di hubungkan pada sesuatu benda yang lain ataupun tidak, hal itu tidak ditolak mentah-mentah oleh Mahasiswa Filsafat.
Dari contoh di atas, antara tukang Becak dan Mahasisa Filsafat. Hal yang kemudian ingin ditegaskan yang dimaksud dengan pengetahuan erlebnis ialah pada si tukang Becak—Sebab, yang dimaksud ilmu murni pada pembahasan paragraf sebelumnya ialah pengetahuan yang betul-betul murni dari pemahaman [baca: tidak adanya konsep apapun tentang sesuatu itu sebelumnya dalam pikiran].
Cara Kerja Ilmu Fenomenologi
1.Fenolomenologis (wawancara)
Melakukan wawancara antar subjek atau secara person. Hal ini dilakukan untuk mengumpulkan semua data-data pada setiap person dan gejala-gejala apa yang terjadi dibalik fenomena yang nampak. Dalam tahan ini tidak perkenankan itu melakukan penilaian atau memberi hukum (justifikasi) langsung.
2.Eidetis/Epoch (Menunda)
Setelah semua datang telah diperoleh, data itu kemudian di tunda terlebih dahulu sebelum ke tahap justifikasi. Hal ini bertujuan, agar dapat memperkuat tawsiran yang yang akan terjadi nantinya. Olehnya itu dalam tahan penundaan data, di saat itu pula data-data lain yang berkorelari dengan fenomena yang dikumpulkan sapai data-data yang dikumpulkan telah cukup untuk dijadikan bahan analisis.
3.Transendental (Tafsiran)
Setelah kemudian sebelumnya kita telah selesai pada tahap pertama dan tahap kedua, selanjutnya pada tahap ketiga, yang sekaligus sebagai tahap terakhir dalam proses kerja Fenomenologi. Pada tahap ini data yang telah dikumpulkan kemudian diberi hukum (penafsiran). Penafsiran terjadi bersifat objektif. Namun objektif di sini tidak berlaku universal atau menyelurus pada seluruh individu, tetapi hanya berlaku pada individu yang darinya data itu diperoleh. Thap inilah yang kemudian disebut objektivisme.
Catatan: Subjektivisme cum Objektivisme
1.Subjektivisme:
a.Wawancara yang dilakukan terhadap fenomena person.
b.Eidetis/Epoch (Menunda). Penundaan data oleh subjek sampai terkumpulnya semua data yang dibutuhkan