Mohon tunggu...
Riska Yunita
Riska Yunita Mohon Tunggu... Bankir - Karyawan Swasta

Be your own kind of beautiful

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Dunia Maya dengan Segala Asumsinya

18 Februari 2021   19:41 Diperbarui: 20 Februari 2021   17:30 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi orang-orang yang main media sosial. (sumber: unsplash.com/@camstejim)

Pasti pernah diantara kita, ketika melihat beranda dari teman, kerabat, saudara atau bahkan orang yang tak kita kenal di media sosial kemudian kita akhirnya memberikan sebuah 'nilai' pada mereka.

"Wah sering banget ya liburan keluar negeri. Tempat makannya fancy-fancy ya. Couple goals banget sih ini. Santai banget ya hidupnya." Dan berbagai penilaian laiinnya.

Memberikan penilaian yang demikian sebenarnya bukan sesuatu yang kriminal jika sekadar  menilai dan bicara untuk diri kita sendiri. Karena manusia cenderung lebih mudah melihat hal yang lebih tinggi dibanding hal yang ada di bawah. 

Ya tidak heran jika banyak mungkin kita temui komentar-komentar kebencian atas kehidupan yang diperlihatkan seseorang dengan latar belakang utamanya adalah rasa iri itu sendiri.

Pada dasarnya, menggunakan media sosial bukanlah perkara sulit. Dari usia muda hingga tua, semua bisa menggunakannya namun saya rasa, tidak semua orang sudah cukup 'dewasa' untuk menjadi pengguna media sosial.

Menjadi pengguna media sosial tidak hanya perkara membagi kisah atau kehidupan pribadi kita untuk khalayak ramai. Namun terdapat hal-hal psikis yang sangat mempengaruhi kehidupan sie pengguna itu sendiri.

Semua orang pasti memilih membagikan momen atau sisi kehidupan yang baik, nyaman, dan indah untuk diperlihatkan. Namun hal dasar ini sering terlupakan oleh mereka yang terlalu cepat menilai apa yang dilihatnya di media sosial. 

Perasaan iri, buruk sangka, atau timbul rasa untuk ingin lebih dari yang lain adalah beberapa penyakit mental yang dialami oleh mereka yang belum siap melihat kehidupan di dunia maya.

Kita tidak bisa menyalahkan apa yang orang lain bagikan di halaman media sosialnya. Kita sendirilah yang punya kendali atas perasaan yang ingin kita alami. 

Jika kita merasa tak nyaman, kita bisa menghindar. Jika tidak memberi kebajikan, kita bisa menyembunyikan. Semua pilihan itu ada ditangan kita sendiri. 

Itulah mengapa pengguna media sosial haruslah mereka yang sudah dianggap "dewasa" untuk menangani penyakit mental yang demikian. Jika tidak, hal itu hanya akan membawa kita tengelam dalam pikiran-pikiran yang tidak akan membuat kita berkembang dan maju ke depan.

Sebagian mungkin bisa tangguh untuk melawan perasaan iri tersebut dengan usaha yang lebih keras hingga bisa melaju kearah yang lebih baik. Namun tidak semuanya bisa bertindak sedewasa itu. 

Melihat kehidupan di dunia maya yang pastinya selalu memperlihatkan hal yang bahagia, seharusnya membuat kita berpikir bagaimana sebenarnua bahagia itu bisa tercipta. Ada mereka yang suka berlibur hingga berandanya penuh dengan pesona pemandangan indah di tempat wisata. 

Tapi apakah kita pernah tahu bagaimana cara mereka hingga bisa melakukan itu? Bisa saja semua hal dilakukannya adalah hasil dari tabungannya selama ini. 

Bisa saja itu adalah reward atas kinerjanya di perusahaan. Atau banyak kemungkinan lain yang kita tidak pernah tahu bahkan menolak untuk kita ketahui karena yang ada di pikiran kita hanyalah hal yang terpampang di berandanya, namun bukan bagaimana usaha dibaliknya.

Melihat postingan orang dengan tempat-tempat makan ber-background menarik. Yang kita nilai hanyalah betapa fancy-nya gaya hidup mereka. 

Padahal kita juga tidak pernah sampai mencari tahu harga menu hidangannya berapa. Bukankah di jaman sekarang tempat makan dengan hidangan ala angkringan pun bisa disulap sedemikian rupa untuk menarik konsumen milenial yang menyukai hal-hal yang estetik dan autentik?

Melihat kehidupan dunia maya pasangan kekasih atau suami istri yang harmonis membuat beberapa pengikut mereka di media sosial menjadikan pasangan ini sebuah impian kehidupan pasangan masa depan. Mengagumi setiap apa yang dibagikan hingga tak jarang menjadikannya panutan dalam menjalani kehidupan nyata dengan pasangan. 

Namun saat hal kurang menyenangkan terjadi pada pasangan panutan tersebut, orang-orang mulai merasa tertipu atas apa yang mereka lihat selama ini. 

Ada yang mengagumi, yang memberi label idola atau panutan adalah para pengikut itu sendiri. Mereka lah yang berekspektasi atas apa yang mereka lihat selama ini. Kecewanya pun jadi milik mereka sendiri.

Orang-orang yang hanya melihat sisi luar dari kehidupan di dunia maya cenderung akan berasumsi singkat atas apa yang dilihatnya. Beberapa mungkin hanya sekadar menyapa, melihat kemudian menghilang. 

Terlepas apapun bahagia yang coba kita bagikan di dunia maya, entah dengan niatan baik sekalipun, spertinya tak lepas dari komentar yang tidak mengenakkan. Karena sekali lagi, tidak semua orang sudah 'dewasa' dalam bermedia sosial.

Saat ada mereka yang hanya singgah dan memberi nilai rendah atas diri kita, mereka hanya golongan orang yang tidak 'berhak' untuk mengenal seistimewa dan semenarik apa diri kita di dunia nyata.

Jadi, tetap lakukanlah dan bagikan apa yang membuat kita bahagia. Perkenalkan diri kita yang lebih nyata hanya pada mereka yang tidak gemar berasumsi atas apa yang dilihatnya di dunia maya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun