Mendengar sebutan 'anak pertama', satu kata yang dapat mewakili mereka adalah harapan. Sebuah momen perdana bagi sepasang pria dan wanita yang menyebutkan diri sebagai orang tua. Sebuah kehadiran dari pengharapan dan bahkan penantian panjang untuk beberapa diantaranya. Mereka yang akhirnya hadir di dunia dengan sejuta doa dan harap dari orang tua dan mata-mata di sekitarnya.
Ketika mereka masih belum mengerti dunia, seluruh mata memberikan perhatian dan rasa yang luar biasa. Langkah kaki pertamanya, ucapan perdananya, bahkan tiap apapun perkembangannya adalah pusat dunia dari kedua orang tuanya. Mereka adalah pelajaran pertama dari semua orang tua di dunia.
Namun hidup manusia memiliki jalannya sendiri-sendiri. Tak semua bisa mendapatkan cinta sekaligus hidup yang mudah. Tetapi saya percaya, semua sulung mendapat cinta yang luar biasa dari kedua orang tuanya terlepas bagaimanapun situasi keluarganya.Â
Ada sie sulung yang mengawali hidup dengan kemampuan orang tuanya. Ada yang dibesarkan dengan kehidupan seadanya. Ada pula yang harus ikut berjuang bahkan sejak baru lahir di dunia. Sekali lagi, setiap manusia memiliki kehidupnnya masing-masing.
Seiring  waktu, saya banyak bertemu dengan sulung lain yang memiliki kehidupan berbeda dari kehidupan sulung yang saya jalani. Dan bertemu serta menyaksikan kehidupan mereka membuat saya semakin yakin bahwa ada hal yang pada akhirnya selalu melekat pada mereka yang terlahir sebagai sulung apapun dan bagaimanapun kehidupannya.
Sie sulung yang awalnya lekat dengan harapan, ketika semakin dewasa berubah menjadi sebuah tanggung jawab. Terlepas dia pria atau wanita. Sebuah prinsip yang saya rasa dimiliki mereka, para anak pertama. Mungkin tidak bisa kita sama ratakan semua, karena pada akhirnya watak manusia adalah tentang kemauan diri mereka sendiri untuk membawa dirinya menjadi manusia yang seperti apa.
Ada seorang sulung yang saya kenal terlahir dari keluarga berada. Menyaksikan kehidupannya dari luar sering membuat orang merasa iri dengan hidupnya yang serba ada. Melihatnya bisa mengendarai kendaraan pribadi sejak muda membuat saya akhirnya pun pernah merasa iri dengan kehidupannya. Sampai akhirnya dia bercerita tentang alasannya sudah belajar mengendarai kendaraan roda empat sejak muda. Â
"Ayah sudah sakit sejak aku masih SMA dan beliau akan semakin tua. Begitu juga Ibu. Jika mereka butuh bantuan untuk pergi atau terjadi sesuatu, siapa lagi yang akan membawa mereka. Akulah. Sang anak pertama. Aku yang harus bisa melakukannya."
Dan saya benar-benar melihat apa yang menjadi latar belakangnya itu benar-benar menjadi nyata. Dia yang dengan sigap mengendarai kendaraan roda empat dengan jarak tempuh dan medan yang sulit mengantarkan ayahnya berobat ketika sakit. Dia seorang sulung yang sekalipun serba ada juga tetap memiliki rasa tanggung jawabnya pada keluarga.
Saya bertemu pula dengan sulung lain yang bekarakter keras. Ditakuti oleh adik-adiknya. Dia yang seakan sulit di dekati bahkan oleh keluarganya. Namun percayalah, dibalik kerasanya dan tidak ramahnya, dia pernah berusaha untuk menjalakan tanggung jawabnya sebagai sulung. Dia yang diam-diam membantu kedua orang tuanya ketika kesulitan biaya, dia yang tanpa diketahui saudaranya memberikan banyak bantuan untuk kelangsungan hidup keluarganya terlepas dari wataknya yang mungkin sulit untuk diterina keluarga.
Ada sulung lain yang hidupnya bukan hanya soal tanggung jawab semata. Namun tentang mengorbankan diri demi mimpi adik-adiknya. Mereka yang rela langsung bekerja setelah lulus SMA demi bisa membuat adiknya bisa bersekolah lebih tinggi dari mereka. Sulung yang menatap kelulusan adiknya seperti seorang orang tua yang bangga melihat anaknya.
Dan saya pribadi memiliki kisah sie sulung yang saya alami sendiri. Menjadi orang pertama yang selalu bergerak apapun kondisi yang terjadi pada keluarga. Lelah fisik dan psikis untuk bertahan apapun kondisinya. Hanya karena saya merasa bahwa saya adalah anak pertama dan saya yang bertanggung jawab atas semuanya tanpa pernah diminta.
Ada kalanya, kami para sulung, tidak bisa menjadi seorang anak seperti apa yang orang tua harapkan. Tekanan tentang harapan-harapan orang sejak kami lahir dunia adalah sesuatu yang saya rasa akan selalu ada ketika kata 'pertama' melekat pada kami. Tapi kami juga manusia. Kami juga tidak sempurna. Ada kalanya usaha kami pun tidak membawa kami pada harapan kedua orang tua. Namun setiap anak pasti memiliki kejayaan mereka sendiri dan beruntunglah mereka yang memiliki orang tua dengan pemikiran terbuka seperti ini.
Sekali lagi, kami juga manusia. Kami jelas tidak jauh dari salah. Kami mungkin tidak bisa menjadi pantuan terbaik untuk para adik-adik kami. Mungkin ada cela yang tak layak adik kami lihat dari kami. Terlepas tanggung jawab sebagai seorang sulung, kami juga tetap butuh teguran dan pengawasan meski kami dianggap panutan. Jangan ikuti apa yang kalian lihat salah dari kami. Tidak. Kalian tidak layak mengikuti kesalahan kami. Kalian harus hidup lebih baik dari kami. Itulah harapan kami.
Seorang anak dengan karakter yang ia miliki adalah bentuk dari apa yang ia dapati dan lihat sejak dini. Bagaimana ia menjalani kehidupan keluarganya adalah alasan utama dari bagaimana ia bertindak saat dewasa kelak.
Banyak orang berkata jika anak sulung adalah mereka yang sangat dibanggakan orang tua. Mereka yang paling keras kepala dikeluarga. Mereka dengan segala egoismenya.
Benar. Saya rasa memang kebanyakan seperti itu. Namun dibalik semua itu, kami adalah anak-anak yang hidup dengan belajar bersama orang tua kami. Kami yang menjadi saksi atas jatuh bangun kedua orang tua kami saat baru menjalani perannya sebagai orang tua.
Menghadapi segala pergolakan dalam keluarga untuk kali pertama menjadikan akhirnya orang tua merasa bangga saat melihat anak sulungnya kini telah dewasa dan memiliki kehidupannya sendiri. Mereka yang dipaksa hidup dengan belajar dari jatuh bangunnya orang tua saat belajar menjalani perannya sebagai orang tua menjadikan kepribadiannya lebih keras dibanding saudara yang lain. Mereka yang mengemban tanggung jawab atas apa yang terjadi pada kehidupan saudaranya kelak, menjadikan mereka sosok yang tegas pada pilihan dan jawaban mereka perihal hidup.
Keras kepala, egois dan tegas adalah beberapa hal yang akhirnya melekat pada kami. Namun dibalik semua jiwa yang keras itu, kami adalah anak yang mencintai dan meprioritaskan keluarga sebagai pilihan pertama kami. Kami yang selalu melihat keluarga sebagai hal yang pertama kali ingin kami lindungi. Kami yang dengan segala ego kami tetap melalukan apapun itu demi keluarga. Demi orang tua dan adik - adik kami. Kami para anak pertama yang berusaha menjadi pegangan ketika kami pun masih kesulitan untuk berdiri. Kami yang tak pernah berhenti belajar untuk menjasi sosok yang layak diikuti adik-adik kami.
Maafkan kami jika menjadi sosok yang sulit untuk dihadapi. Tak jarang terjadi pemberontakan atas tekanan yang kami hadapi. Dan rasa ego dimana seolah kami adalah orang yang paling mengerti.
Maaf jika harap kalian bukalah sosok kami yang sedang berdiri saat ini. Namun sampai kapanpun, kalian adalah sesuatu yang akan kami ingin lindungi dan cintai dengan cara kami sendiri. Mungkin kami bukanlah sosok lembut yang gemar mengungkap isi hati, namun kami adalah anak kuat yang akan berusaha selalu tegap berdiri.
Inilah kami, anak pertama yang tak pernah sempurna namun selalu berusaha memberi cintanya yang istimewa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H