Mohon tunggu...
Riska Yunita
Riska Yunita Mohon Tunggu... Bankir - Karyawan Swasta

Be your own kind of beautiful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kalau Bukan Kita, Siapa Lagi?

16 September 2020   09:17 Diperbarui: 16 September 2020   09:22 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika tubuh dan hati manusia bisa bicara, mungkin mereka akan berteriak pada isi kepala, "Bisakah kamu bersikap egois kepada dirimu sendiri?"

Pikiran ini muncul dalam benak saya ketika suatu waktu dimana saya melihat pantulan tubuh gadis yang berdiri menghadap ke arah cermin seukuran tubuh orang dewasa. Lusuh. Terlihat tulang-tulangnya menonjol di beberapa bagian tubuh. 

"Sejak kapan tubuhku menjadi seperti ini?" 

Tubuh kurus itu milik saya. Saya yang kala itu seperti baru saja bisa membuka mata dan melihat apa yang terjadi pada tubuh saya.

Pikiran saya menyelam ke beberapa waktu belakangan. Mencari tahu apa yang membuat saya kehilangan banyak berat badan yang bahkan sebelum itu sudah cukup minim.

Saya baru kehilangan seseorang. Kemudian kehilangan nafsu makan. Berlanjut kehilangan akal dan pikiran. Lupa tentang hidup yang masih harus terus berjalan.

Membiarkan diri untuk tidak makan dengan teratur. Menyombongkan perut yang tak pernah merasa kelaparan. Memaksakan raga yang sebenarnya butuh pemulihan.

Sebelum sampai di titik sadar itu, saya tak pernah tahu dan mau mengakui bahwa saya sedang 'menyiksa' diri saya sendiri.

Memasang wajah bahagia untuk menutup luka yang masih menganga. Selalu punya alasan untuk tidak memberi tubuh ini makan. Menantang raga untuk bertahan dikala dia butuh rehat untuk bisa kembali menang.

"Apa yang sedang kamu lakukan kepada dirimu? Apakah membiarkan tubuhmu terbalut tulang seperti itu akan membuat yang hilang pasti kembali? Apakah pura-pura tak merasa sakit bisa membuatmu menang dalam perang? Apakah  kamu tetap bahagia ketika harus banyak mengorbankan diri?"

Di saat inilah saya membutuhkan egoisme untuk diri saya sendiri. Rasa untuk bisa mengutamakan kepentingan diri saya sendiri. Rasa untuk mencapai bahagia saya sendiri tanpa perlu memperhitungkan orang lain di muka bumi.

Tubuh ini adalah milik kita sendiri. Sayangi dan cintai untuk diri kita sendiri. Mempercantik diri bukan untuk mencari perhatian dan pujian diri. Merawat diri sebagai kewajiban yang patut untuk dijalani.

Tak peduli pahit manis yang sedang kita hadapi, tubuh ini layak untuk dijaga dengan baik. Karena sekali lagi, tubuh ini milik kita sendiri. Bukan bergantung pada suasana hati.

Saat hati merasa tak baik-baik saja, tak usah memaksakan diri untuk terlihat baik-baik saja. Hati juga layak untuk diberi waktu untuk menyendiri dan menyembuhkan lukanya sampai pulih kembali. Bukan untuk dipaksa tegar hanya karena ingin terlihat kuat.

Ketika hati sedang tak baik, ragapun ikut bertindak mengikuti hati. Memaksakan diri untuk tertawa dikala untuk membuka bibir saja sebenarnya sudah tak bertenaga. Setidaknya berikan raga kita ruang untuk rehat agar tidak perlu berpura-pura saat hatinya sedang luka.

Terkadang kita selalu berpikir tentang bahagia dalam wujud yang universal. Tentang hal-hal yang terlihat menyenangkan di mata orang kebanyakan. Namun pernahkan kita berpikir tentang apakah bahagia itu benar-benar kebahagian buat diri kita sendiri?

Apakah hati, jiwa, dan raga kita pernah merasa sakit? Apakah ada hal dari diri kita yang dikorbankan?

Sungguh jarang rasanya kita memikirkan hal-hal demikian. Ketika sebenarnya kebahagian untuk diri sendiri adalah sesuatu yang layak untuk diperjuangkan.

Bukan artinya kita bisa semena-mena dan mementingkan diri kita diatas segalanya, namun ada kalanya kita butuh memusatkan perhatian pada diri kita sendiri. Bukan untuk menyenangkan hati orang lain, bukan untuk mengikuti kemauan orang lain, atau bukan untuk terlihat kuat dimata orang lain.

Kita butuh tahu perihal kebutuhan diri kita sendiri. Kita butuh mencintai diri kita sendiri. Dan ketika ada duka atau luka yang sedang kita hadapi, kita tetap bisa menjaga diri kita sendiri. Karena kita tahu bahwa yang bisa menjaga dan menguatkan hanyalah diri kita sendiri, sie pemilik hati,jiwa dan tubuh ini.

Sedih, hancur, goyah, lemah adalah hal-hal yang manusiawi. Tak perlu merasa kalah saat mengalami situasi-situasi seperti ini. Tak apa untuk tidak baik-baik saja. Jangan memaksakan diri.

Hatimu butuh waktu untuk pulih. Jiwamu butuh ruang untuk kembali kuat. Dan ragamu butuh rehat untuk kembali tegap.

Ayo kita cintai diri kita sendiri. Hargai setiap bagian dari tubuh kita. Jaga setiap inchi dari bagiannya. Ciptakan bahagia untuk hati dan jiwa kita sendiri. Istirahatlah, saat raga sudah memberi petunjuk.

Siapa lagi yang bisa mencintai diri kita, jika bukan diri kita sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun