Firman Allah diatas berbentuk perintah yang menurut ushul fiqh, perintah pada asalnya menunjukan wajib (بوجولل رملاا ىف لصلاا). Adapun qawaid fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dalam mengetahui hukum perbuatan seorang mukalaf. Ini karena dalam menjalankan hukum fiqh terkadang mengalami kendala-kendala. Misalnya kewajiban shalat lima waktu yang harus dikerjakan tepat pada waktunya. Kemudian seorang mukalaf dalam menjalankan kewajibannya mendapat halangan, misalnya ia diancam bunuh jika mengerjakan shalat tepat pada waktunya. Dalam kasus seperti ini, mukallaf tersebut boleh menunda shalat dari waktunya karena jiwanya terancam. Hukum boleh ini dapat ditetapkan lewat pendekatan qawaid fiqhiyyah, yaitu dengan menggunakan qaidah
:لازي ررضلا (bahaya wajib dihilangkan)
5. Tujuan Dan Kepentingan Mempelajari Qawaid Fiqhiyyah
Adapaun tujuan mempelajari qawaid fiqhiyyah itu adalah agar dapat mengetahui prinsip- prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh.
Dari tujuan mempelajari qawaid fiqhiyyah tersebut, maka manfaat yang diperoleh adalah; akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi; akan lebih arif dalam menerapkan materi- materi hukum dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adat yang berbeda; Mempermudah dalam menguasai materi hukum; Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahan baru; Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tempatnya.
Adapun kepentingan Qaidah fiqh dapat dilihat dari dua sudut : Pertama, dari sudut sumber, qaidah merupakan media bagi peminat fiqh untuk memahami dan menguasai maqashid al-Syari’ah, karena dengan mendalami beberapa nash-nash, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan. Kedua, dari segi istinbath al-ahkam, qaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, qawaid fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.
6. Dasar-Dasar Pengambilan Qawaid Fiqhiyyah
Yang dimaksud dengan dasar pengembalian qawaid fiqhiyyah ialah dasar-dasar perumusan qaidah fiqhiyyah, meliputi dasar formil dan materiilnya. Dasar formil maksudnya apakah yang dijadikan dasar ulama dalam merumuskan qaidah fiqhiyyah itu, jelasnya nash-nash manakah yang menjadi pegangan ulama sebagai sumber motivasi penyusunan qawaid fiqhiyyah. Adapun dasar materiil maksudnya dari mana materi qaidah fiqhiyyah itu dirumuskan.
- Dasar formil
Hukum-hukum furu’ yang ada dalam untaian satu qaidah yang memuat satu masalah tertentu, ditetapkan atas dasar nash, baik dari al-Quran maupun Sunnah.
- Dasar materiil
Dasar materiil atau bahan-bahan yang dijadikan rumusan qaidah.
7. Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembanagan Qawaid Fiqhiyyah
Ali Ahmad al-Nadwi, seorang ulama ushul kontemporer, menyebut tiga periode penyusunan qawaid Fiqhiyyah yaitu; periode kelahiran, pembukuan, dan penyempurnaan.
1. Periode Kelahiran.
Masa kelahiran dimulai dari pertumbuhan sampai dengan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih dimulai dari zaman kerasulan sampai abad ketiga hijrah. Periode ini dari segi fase sejarah hukum Islam, dapat dibagi menjadi tiga periode: zaman Nabi Muhammad SAW., yang berlangsung selama 22 tahun lebih, zaman tabi'in, dan zaman tabi'it al-tabi'in yang berlangsung selama lebih kurang 250 tahun. Pada masa kerasulan adalah masa tasyri' (pembentukan hukum Islam) merupakan embrio kelahiran qawaid fiqhiyyah. Nabi Muhammad SAW. menyampaikan Hadis yang jawami' 'ammah (singkat dan padat).