Mohon tunggu...
Riska Setyaningsih
Riska Setyaningsih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Teknologi Yogyakarta

Hai, saya Riska! Penulis yang selalu penasaran dengan hal baru. Saya suka membahas segala hal mulai dari tren gaya hidup, perkembangan teknologi, hingga tips produktivitas sehari-hari. Blog ini adalah ruang berbagi inspirasi dan wawasan yang saya kumpulkan dari pengalaman pribadi dan pembelajaran. Mari jelajahi bersama, siapa tahu kita menemukan hal-hal baru yang bisa memperkaya hidup! Jangan ragu untuk meninggalkan komentar atau berbagi cerita. Terima kasih sudah mampir, dan selamat membaca!

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Fenomena Childfree, Pilihan Hidup yang Semakin Diterima Masyarakat di Indonesia?

10 November 2024   19:56 Diperbarui: 14 November 2024   15:14 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Love Life, Sumber Ilustrasi: Freepik

Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena "childfree" atau keputusan untuk tidak memiliki anak, semakin menjadi perbincangan publik. 

Istilah "childfree" mengacu pada individu atau pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak, meskipun mereka tidak memiliki masalah medis atau biologis yang menghalangi mereka untuk memiliki anak. 

Fenomena ini tidak hanya berkembang di negara-negara Barat, tetapi juga mulai diperbincangkan di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Publikasi Badan Pusat Statistik Nasional (2023) melaporkan bahwa prevalensi perempuan childfree yang hidup di Indonesia saat ini sebesar 8,2% dan cenderung meningkat dalam empat tahun terakhir. 

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2022 mengestimasi angka tersebut terhadap "perempuan berusia 15-49 tahun yang pernah kawin namun belum pernah melahirkan anak dalam keadaan hidup serta tidak menggunakan alat KB" dengan perolehan angka 71 ribu.

Di Indonesia sendiri salah satu influencer, Gita Savitri, menjadi sorotan karena memilih untuk childfree. Menurut Gita, Childfree merupakan rahasia awet muda bagi dirinya dan Wanita lain yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak.

"Aku yang umur 24 kalah sama Ka Git padahal udah 30. Awet muda banget sih," tulis pengguna akun @itsmeiliyaml18 dalam kolom komentar akun Instagram milik Gita.

"Not having kids is indeed natural anti aging. You can sleep for 8 hours every day, no stress hearing kids screaming. And when you finally got wrinkles, you have the money to pay for botox," tulisnya membalas komentar tersebut.

Pilihan untuk tidak memiliki anak sering kali menimbulkan berbagai reaksi, baik positif maupun negatif, dari masyarakat. 

Sedangkan di satu sisi, ada yang mendukungnya sebagai bentuk kebebasan pribadi, sementara di sisi lain, masih banyak yang memandangnya dengan skeptis atau bahkan menganggapnya sebagai pilihan yang tidak alami.

Alasan dibalik Keputusan Childfree

Ada berbagai alasan yang mendorong seseorang atau pasangan untuk memilih untuk tidak memiliki anak. 

Beberapa alasan yang sering diungkapkan seperti,1) Pertimbangan ekonomi, karir, kesehatan mental dan kesejahteraan, yang mana beberapa orang merasa bahwa memiliki anak akan mengganggu pengembangan karir mereka, karena peran sebagai orang tua sering kali membutuhkan waktu dan energi yang banyak. Serta beban emosional yang bisa berdampak negatif. 

2) Kekhawatiran terhadap lingkungan, sebagian orang merasa bahwa mengurangi jumlah populasi dapat berkontribusi pada pelestarian lingkungan. 

3) Kemandirian dan kebebasan, childfree memberikan kebebasan untuk mengejar impian pribadi, berkeliling dunia, atau mengeksplorasi minat dan hobi tanpa harus memikirkan kewajiban besar sebagai orang tua.

Pandangan Masyarakat terhadap Fenomena Childfree di Indonesia

Di Indonesia, semakin banyak orang yang mulai terbuka terhadap pilihan hidup non-tradisional, memilih untuk tidak memiliki anak masih sering dianggap kontroversial.

Beberapa orang mungkin menilai pasangan yang childfree sebagai egois atau tidak memahami nilai-nilai keluarga. Ada pula yang beranggapan bahwa "kewajiban" untuk melahirkan dan membesarkan anak adalah bagian dari eksistensi manusia. 

Terlebih lagi, dalam budaya yang sangat menghargai keturunan dan peran orang tua dalam melanjutkan garis keluarga, keputusan untuk tidak memiliki anak dapat dianggap sebagai penolakan terhadap tradisi.

Namun di sisi lain, ada peningkatan kesadaran tentang keberagaman pilihan hidup dan kebebasan individu. Dalam beberapa tahun terakhir, gerakan childfree semakin diterima, terutama di kalangan generasi muda yang lebih terbuka terhadap konsep kebebasan pribadi. 

Diskusi tentang childfree juga mulai muncul di media sosial dan platform digital, di mana orang dapat berbagi pengalaman dan perspektif mereka tentang kehidupan tanpa anak.

Tantangan dan Stigma yang Dihadapi

Meskipun semakin banyak yang memilih untuk childfree, mereka yang berada di luar arus utama sering kali menghadapi stigma sosial. 

Pertanyaan-pertanyaan seperti "Kenapa tidak mau punya anak?" atau "Apakah kamu tidak takut kesepian di masa tua?" sering kali dilontarkan kepada mereka yang memilih untuk tidak memiliki anak.

Stigma ini mungkin berakar pada pandangan bahwa peran orang tua adalah bagian dari siklus hidup yang "normal" dan bahwa setiap orang harus melanjutkan keturunan mereka. 

Selain itu, dalam banyak budaya, ada ekspektasi bahwa anak-anak adalah jaminan dukungan di masa tua. Oleh karena itu, keputusan untuk childfree dapat dianggap mengabaikan nilai-nilai tersebut.

Menyikapi Fenomena Childfree dengan Bijak

Fenomena childfree mencerminkan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat kita. Sebagai masyarakat yang berkembang, penting bagi kita untuk lebih memahami dan menerima perbedaan pilihan hidup. 

Masing-masing individu memiliki alasan dan pertimbangan yang berbeda dalam menentukan jalannya hidup, termasuk dalam hal apakah ingin menjadi orang tua atau tidak.

Penting untuk menjaga sikap saling menghormati, tanpa menghakimi pilihan orang lain. Setiap individu berhak untuk menentukan apa yang terbaik bagi dirinya, dan pilihan untuk menjadi orang tua atau tidak seharusnya dihargai sebagai bagian dari kebebasan pribadi.

Dengan semakin terbukanya ruang diskusi dan peningkatan kesadaran tentang pilihan hidup yang berbeda, kita berharap akan tercipta masyarakat yang lebih inklusif dan menghargai keragaman dalam menjalani kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun