Mohon tunggu...
Riska Amalia
Riska Amalia Mohon Tunggu... Penulis - Prodi Kesehatan Masyarakat, Universitas Pekalongan

life, laugh, simp

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Serba-Serbi Pernikahan Dini di Masa Pandemi dan Dampaknya bagi KIA

20 Juni 2021   18:41 Diperbarui: 20 Juni 2021   18:48 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Indonesia, pernikahan dini masih banyak terjadi dikalangan remaja. Para orang tua sepertinya turut mendukung pernikahan dini tersebut apalagi bagi mereka yang bertempat tinggal di Desa. Mereka lebih memilih untuk menikahkan anaknya tanpa memikirkan bagaimana dampak nantinya.

Menikah muda bagi sebagian orang terutama yang bertempat tinggal di desa tampaknya menjadi hal yang sudah biasa dilakukan. Minimnya edukasi seks di Desa menyebabkan stigma kuno “menikah untuk menghindari zina” menjadi kian marak dikalangan masyarakat desa.

Edukasi seks sendiri tidak semata-mata tentang seks dengan lawan jenis, namun juga meliputi pengenalan organ, bagaimana organ itu bekerja, dan bagaimana cara merawatnya dengan baik. Edukasi seks sejak dini bertujuan untuk membuat remaja paham bagaimana melindungi diri dari kejahatan seksual serta kehamilan yang tidak diharapkan. Edukasi seks dalam lingkup kecil bisa diajarkan di zona keluarga sehingga dalam hal ini orang tua memegang peranan penting dalam edukasi seks itu sendiri.

Namun, seringkali yang jadi masalah adalah ‘orang tua saja mendukung anaknya untuk nikah muda’

Bahkan sebagian besar di Indonesia, permasalahan nikah muda ini makin gencar apalagi pada masa pandemi seperti sekarang. Faktanya, masa pandemi seperti ini kasus pernikahan muda membludak diantara para pelajar SMA bahkan SMP.

Menurut sumber Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama mencatat 34 ribu permohonan dispensasi kawin sepanjang Januari-Juni 2020. Dari jumlah tersebut, 97 % dikabulkan dan 60 % yang mengajukan adalah anak dibawah usia 18 tahun. Kebijakan belajar dirumah selama pandemi COVID-19 turut mendorong peningkatan pernikahan dini di Indonesia. Selain itu, di Kabupaten Ponorogo, mencatat sebanyak 97% alasan permohonan kawin adalah disebabkan karena hamil diluar nikah.

Fenomena tersebut tidak terlepas dari stigma masyarakat desa yang lebih memilih menikahkan anaknya daripada melihat anaknya tidak berproduktif dirumah selama pembelajaran jarak jauh, ditambah stigma kuno yaitu menikah untuk menghindari zina. Menurut BPS, perspektif keluarga dengan status ekonomi rendah tidak mampu memenuhi biaya pendidikan dan cenderung melihat anak perempuan sebagai beban ekonomi keluarga maka solusinya adalah menikah sedini mungkin. Hal itulah yang menyebabkan perempuan lebih cenderung menikah dini dibanding laki-laki di Indonesia. BPS mencatat 3,22 % perempuan menikah dini dibawah usia 15 tahun pada tahun 2020. Sedangkan laki-laki hanya 0,34 %.

Dari fenomena yang terjadi tersebut, menyebabkan dampak pada kehamilan dibawah umur yang mana menurut WHO, kehamilan dan persalinan pada perempuan usia 10-19 tahun berisiko lebih tinggi mengalami eklampsia, puerperal endometris, dan systemic infections daripada perempuan usia 20-24 tahun. Selain itu, bayi yang lahir dari perempuan berusia dibawah 18 tahun memiliki risiko mortalitas dan morbiditas 50 % lebih tinggi, prematur, berat badan lahir rendah (BBLR), dan pendarahan saat persalinan. BPS mencatat 15,74% bayi yang lahir dari perempuan usia 16-19 tahun tergolong BBLR per Maret 2020.

Setelah pernikahan dini masalah berlanjut pada saat masa kehamilan sang ibu. Kehamilan pada perempuan usia remaja memiliki risiko yang besar bagi sang jabang bayi dan bagi ibunya sendiri jika tidak dilakukan pengawasan yang tepat.

Pada saat kehamilan, asupan nutrisi bagi jabang bayi itu sangat penting karena nutrisi pada saat kehamilan akan berpengaruh pada kondisi bayi nantinya.

Perlu diingat, jikalau sang ibu memang belum siap punya anak, mereka harusnya melakukan program KB. Namun faktanya, kebanyakan dari mereka tidak melakukan KB apapun jenisnya karena berbagai alasan. sewaktu sudah menjadi janin mereka mengeluhkan tentang kehamilannya, tidak mau minum suplemen zat besi, asam folat, kalsium, dan lain-lain yang menyebabkan sang bayi bisa berdampak negatif pada jangka panjangnya seperti brain development yang kurang maksimal. Dalam hal ini peran orang tua sangat penting, karena sejatinya sebelum berkeluarga hal-hal harus lebih banyak diperhatikan, jika memang ingin menunda punya anak, jangan malas KB dan memakai alat kontrasepsi saat berhubungan.

Hal ini merujuk pada pernikahan dini yang mana dalam usia sekitar 18 tahun adalah masa-masa transisi menuju kedewasaan yang menyebabkan perubahan emosi yang kurang stabil. Apalagi remaja sekarang memiliki nilai karakter yang bisa terbilang rendah ditambah dengan rendahnya pengawasan orang tua yang dapat menyebabkan remaja bisa terjerumus pada pergaulan yang bebas.

Lanjut pada saat kehamilan asupan nutrisi yang baik dan benar seperti menu makanan 4 sehat 5 sempurna harus selalu digiatkan. Hal ini untuk mendukung tumbuh kembang bayi agar meminimalkan risiko BBLR nantinya. Selain itu juga bertujuan untuk menjaga kesehatan ibu tetap baik dan pertumbuhan bayi normal serta mempersiapkan produksi ASI.

Bila Ibu malas dalam memperhatikan asupan zat gizinya maka akan berdampak buruk bagi sang anak. Apabila makanan tidak cukup mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan dan keadaan ini berlangsung lama, maka akan menyebabkan perubahan metabolisme dalam otak. Hal  ini akan berakibat terjadi ketidakmampuan otak berfungsi secara normal. Pada keadaan yang lebih berat dan kronis, kekurangan gizi menyebabkan pertumbuhan badan tergangggu, badan lebih kecil diikuti dengan ukuran otak yang juga kecil, jumlah sel darah otak berkurang, terjadi ketidakmatangan dan ketidaksempurnaan organisasi biokimia dalam otak. Lebih parahnya anak akan mengalami stunting dan keterlambatan dalam berfikir.

Dari masalah diatas dapat disimpulkan bahwa fenomena yang gencar saat ini ada maraknya pernikahan dini yang didukung oleh orang tua para remaja. Jika fenomena tersebut berlangsung hingga pandemi berakhir, akibatnya pada kesehatan ibu dan anak dan berdampak pada generasi mendatang. Oleh karena itu, kita sebagai mahasiswa kesehatan masyarakat harus kritis dalam menanggapi hal tersebut dan berupaya mensosialisasikan tentang pernikahan dini agar tidak semakin mewabah di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun