Mohon tunggu...
Riska Y. Imilda
Riska Y. Imilda Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

IG: riskayi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"Ngeluh" Tidak Baik, Terlebih Pamer di Media Sosial

18 Mei 2020   06:45 Diperbarui: 18 Mei 2020   06:54 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Pusing bgt dah, tidur mulu"

"Kesel bgtt, ada seekor lalat yang masuk ke dalam kamar terus berisik lagi. Hih ganggu"

Beberapa kalimat diatas merupakan hasil cuitanku di akun twitter beberapa hari yang lalu. Tak kusangka, ternyata tweet yang aku buat selang beberapa detik ini memancing kekesalan salah satu followers. Dia mescreenshoot kedua tweet ini dan ia posting kembali dengan menyematkan kata-kata yang cukup membuat hatiku ciut dalam beberapa menit.

Katanya "Ngeluh wae hirup teh, tidur aja ngeluh" artinya 'Hidup mengeluh terus, tidur aja ngeluh". Kira-kira seperti itu intinya. Sebenarnya, aku tidak mempermasalahkan atas balasan tersebut atau kesal sedikit pun yang tersimpan di palung hati. Aku tidak marah terhadap followersku. Serius!

Batinku terpukul untuk sadar, betapa lemahnya diriku hanya tidur dan ada seekor lalat yang masuk saja kesal. Keluhanku sangat tidak masuk akal dilontarkan di tengah wabah ini. 

Tidakkah sadar, betapa banyak manusia di luar sana yang ingin tertidur lelap dan ingin tetap berada dalam ruangan. Menghindari kontak fisik dengan manusia lainnya, namun sayang keadaan tidak memungkinkan hingga memaksa mereka untuk beraktifitas.

Tak hanya itu, ada sekian juta manusia yang mungkin harus hidup ditengah lalat yang berterbangan. Tidakkah anda bersyukur hanya kedatangan satu lalat saja? Aku merenung sejenak. Apa yang salah dengan lalat tersebut? Kenapa dia yang harus disalahkan? Dan bagaimana ia bisa masuk ke dalam ruangan ini?

Berpikir keraslah diriku sembari rebahan terus-menerus hingga pinggang sakit dan terpaksa harus dipakaikan koyo. Berjam-jam rebahan dengan jari tangan masih sibuk menscrool sosial media mulai dari twitter, instagram, whatsapp, facebook, dan kembali lagi ke whatsapp. Amazingly! 

Waktu semakin berlalu, kamar tetap berantakan, lalat masih berterbangan, hingga piring-piring bekas sahur tadi malam belum sempat dicuci. Aku rebahan sepanjang hari! waktuku terbuang sia-sia  dengan menatap layar smartphone tiada henti. Sungguh merugi sekali dirimu..

Tersadarlah diriku, disepersekian menit menjelang berbuka. Saya, ternyata penunda waktu paling ulung. Hingga tak sadar hari sudah menjelang malam saja dan hampir menunju pagi lagi. Kata tersebut ku sematkan di salah satu kolom komentar untuk mengungkapkan siapa diriku di tengah pandemi ini.

Seharusnya diriku tidak mengeluh pada keadaan, apalagi harus mengumbar keluhan pada khalayak. Kuletakkan gawaiku, bangunah diriku dan mulai bergerak untuk merapikan seprai yang sejak tadi sudah tidak keruan bentuknya. 

Kutata kembali sepetak kamar kosan, mulai dari mebersihkan bekas tisu  bekas 'ngedrama' Hi Bye Mama yang cukup menguras emosi hingga berhasil membuat nangis sesegukkan dan mangkok-mangkok yang akan dipakai untuk berbuka kubersihkan.

Tidak menghabiskan waktu berjam-jam untuk membuat kamar menjadi nyaman, bersih, dan lebih sehat. Bahkan tak sampai 1 jam mengembalikan mood baik dan menjernihkan pikiran setelah melakukan pergerakan tadi.

Ternyata kita hanya membutuhkan langkah kecil yang kelihatannya tidak berarti tetapi  memberikan dampak besar pada keseluruhan pemikiran. Bayangkan, dengan 7 kata balasan dari netizen itu mampu memberikan waktu bagi otakku untuk berpikir bahwa mengeluh itu tidak baik apalagi dipamerkan ke media sosial. 

Mengapa? Karena semua manusia di dunia ini memiliki banyak keluhan. Bayangkan jika ribuan dan bahkan jutaan jiwa menuangkan semua keluhannya di media. 

Sudah dapat dipastikan pusing tujuh keliling melihat tulisan penuh keluhan. Is that right? Belum lagi ditambah dengan hashtag trending yang kadang aneh-aneh dan hampir tak masuk di akal.

Kata seseorang, biar kamu tidak terlalu bosan dan terlihat tidak gabut seharian. Cobalah untuk mengakali keadaan dengan memanfaatkan hobi. Contohnya menulis sesuatu dalam keseharian. Lalu, sarannya ku perdebatkan. 

Bukankah menulis membutuhkan mood yang baik? Kalau sedang tak baik-baik saja, bagaimana bisa berpikir jernih. Kala itu, obrolan pun terhenti. Esoknya, aku kembali bercerita betapa membosankannya hidup hanya rebahan dan rebahan.

Hingga suatu waktu, seseorang tersebut kembali berkata "Ternyata nikmat ya disaat kita kerja dan pulangnya sore, terus karena kelelahan jadi langsung ingin tidur saja,". THAT'S POINT! 

Selama ini, kita hampir tidak sadar dengan keadaan yang mungkin bisa berubah dalam hitungan detiknya. Saat sibuk kerja, wara-wiri, kesana-kemari dahulu. Acap kali kita menginginkan untuk libur saja, istirhat di rumah seharian, dan menghabiskan waktu untuk rebahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun