***
Sore ini aku kembali dengan persiapan yang lebih matang. Akan bertahan lebih lama menunggu. Mempersiapkan hati ketika bertemu dengan dia. Senja hari ini menghilang. Hujan turun lebih deras dari kemarin. Halilintar dan petir bersahutan. Untung saja aku sudah berada didalam gedung. Cuaca kali ini lebih menyeramkan, dengan nyaman aku duduk ditempat biasa. Meja belajar di barisan terakhir. Ditempat inilah aku dapat memerhatikan semua orang yang datang dan tentang menunggu gerak-gerik kedatangannya. Kali ini aku membawa banyak buku, aku akan berdiam diri sampai malam tiba.
Detik demi detik semakin dekat dengan perbatasan waktu yang kutentukan. Sekarang aku lebih santai, mataku tidak berkeling kesana-kemari. Mata ini masih tertuju pada pusaran-pusaran sastra yang ada. Puisi-puis cinta kuno yang diabadikan dalam antologi. Otak terkuras untuk memahami setiap bait-baitnya. Ternyata percintaan manusia terdahulu itu pelik penuh dengan kerisauan dan perjodohan yang amat sangat. Keluarga yang membawamu ke pelaminan, pasanganmu pilihan keluargamu. Alangkah baiknya jika sejoli itu berjodoh, apabila tidak? Sudahlah pupus.
Lembaran-lembaran kertas aku sudah lewati dan kucerna dengan baik. Hatiku semakin gelisah. Segelintir orang beranjak pergi dari kursinya masing-masing. Sedangkan aku masih terdiam dalam hening yang tak berujung. Ini sungguh menyebalkan. Aku mulai mengutuk diriku. Mengapa aku harus percaya dengan perkataan indah kala itu.
“Esok sore kita bertemu, di ruangan ini aku akan membawakanmu puisi yang kubuat sendiri,”
Dengan wajah itu ia meyakinkanku. Dan aku sungguh yakin akan itu. Aku menyerah, aku akan kembali tanpa hasil apapun. Anak tangga aku turuni satu persatu. Langkah kakiku gontai tubuhku tak ada semangat. Aku mulai melangkahkan kaki keluar. Seseorang memanggilku, dia petugas perpustakaan.
“Nona mengenal Kenzi? Dia menitipkan ini kepada saya sejak kemarin dan ingin memberikan buku ini kepadamu,”
Aku tersentak bukan kepalang, sejak kemarin. Berarti dia datang, kenapa tak menghampiriku dan menjemputku. Jika tak ingin berlama setidaknya ia berpapasan dengan memberikan buku ini dengan sendirinya. Tidak seperti. Aku semakin kecewa. Hujan masih saja turun. Aku letakkan buku di tas ransel, kakiku melangkah cepat menerobos air hujan ini. Aku kembali dengan tubuh kedinginan.
***
Kubuka buku pemberian dia. Dia yang diberi nama Kenzi. Buku sastra lama dengan kulit buku sudah mulai rapuh dengan lembaran kertasnya yang sudah berubah warna menjadi coklat. Ah hanya buku ini! Ku menunggunya tak keruan. Menabrak waktu, terjatuh dalam hujan, kedinginan yang menusuk tulangku, serta hatiku yang kecewa.
Dilembar kelima, aku menemukan secarik kertas dengan tulisan tangan.