Mohon tunggu...
Riska Darma yanti
Riska Darma yanti Mohon Tunggu... Arsitek - Penulis

Suka belajar hal positif dan suka menulis (novel, cerpen, FF, skrip film, melukis), main piano, nyanyi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bab 1. Warisan dari Kakek (Jodoh Pasti Zebra Bertemu)

15 Agustus 2023   09:12 Diperbarui: 8 September 2023   07:09 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa tahun sebelumnya

Kelantan, Malaysia. 20 Januari 2020.

Sore pukul 18.00 PM MYT

       Sejak covid 19 melanda dunia Aku dan keluargaku memutuskan pindah ke Kelantan, kota Bharu, Ibu kota kerajaan Kubang Kerian, Semenanjung Malaysia. Sebelumnya kami menetap di Kuala Lumpur, Wilayah Persekutuan Malaysia yang terkenal Bandaraya Mertropolitan dan banyak pabrik tegak terpacak serta gedung yang tinggi salah satunya Menara Berkembar Pertronas.

       ''Nun, sabar ya. Sebentar lagi sampai dirumah baru kita di Kelantan ini,'' ujar Ayah dan Ibuku yang duduk di sebelah kanan kiriku. kami menaiki kereta api jadi memakan waktu lama, delapan jam perjalanan. Lepas solat subuh kami bersiap dan sebentar lagi akan sampai.

      "Ayah, kalau di Kelantan mau kerja apa? Nun masih sekolah kelas tiga SMA tak lama lagi lulus,'' keluhku.

       ''Jangan khawatir, Ayahmu  sudah uruskan semua itu karena kita akan menetap di Kelantan." Ucap ibu sambil menggenggam lembut tanganku.

 Aku hanya senyum saja sambil melemparkan pandanganku keluar melalui jendela kereta api, bendera terpacak di setiap sudut tepi jalan. Bendera  Kelantan mempunyai makna tersendiri, warna merah [kejujuran Raja, pembesar dan rakyat jelata kepada Negeri] bersama bulan sabit dan bintang [Islam] tombak dan keris yang bertema putih [kesucian Sultan yang memerintah Negeri Kelantan]

Masa pun berlalu.

   Kami turun di stasiun keretapi Tanah Merah, Kelantan.

Dan Aku lihat ada Pak Cik bawa mobil pick up sudah menunggu kami di parkir dan ia turun dari mobil  berjalan menghampiri kami.

     

           ''Biar saya bantu bawa barangnnya,'' ujarnya sambil mengambil koper yang Aku pegang.

           ''Siapa dia, Bu?'' Aku berbisik ditelinga Ibu.

           ''Pak Cik Ansor. Teman kecil Ayahmu,''jawab Ibu berbisik pula.

           ''Sudah jangan berdiri mematung pasti sudah tak sabar ingin melihat rumah baru kalian, bukan?"

Kami angguk setuju dan ucap terima kasih, setelah itu langsung berjalan menuju parkir dan menaiki mobil pick up tua milik teman Ayahku.

Sepanjang perjalanan Aku tidak bosan melihat pemandangan indah semula jadi, pokok randu berderet di pinggir jalan, pokok kelapa tinggi dan berbuah lebat di pesisir pantai yang ada di Kelantan. Aku akan pergi bersiar bila masa lapang tiba, bisik hatiku dengan senyum terukir di wajah membuat Ibu paham akan maksud senyumku yang tersirat itu.

         ''Bolehlah berpuas hati main ke pantai Kelantan ini, banyak pantai disini,'' ujar Ayah padaku.

          ''Tengok Nun, kampung halaman kita,'' ujar Ibu sambil menunjuk papan tanda kampung Ayer Limau.

          ''Wah, sungguh takjub Aku melihat itu, Bu,'' sahutku sambil melihat pokok limau atau orange yang masih segar di tangkainya.

          ''Alhamdulilah kalau Nun senang, Ayah bahagia,'' sambung Ayah penuh rasa syukur walaupun rumah baru kami tak sebesar rumah kami di Kuala Lumpur.

       Setelah sampai kami turun dan Aku lihat rumah teras cat bewarna hijau daun pisang, halaman luas cocok untuk bertani, penduduk Kelantan memang banyak petani dan juga nelayan karena cuaca yang sejuk setra dekat pegunungan dan banyak tempat pelancong pergi bersiar disini.

    Ayah masih mengobrol dengan temanya tadi sedangkan Aku mengekori ibuku yang sudah meminta izin kepada Ayah dan temanya untuk cek keadaan dalam rumah baru mereka, beli seken atau rumah sudah dihuni sebelumnya.

        "Bu, apakah nanti akan diadakan reauni kampung Ayer Limau untuk menyambut kita penghuni baru ini?'' tanyaku penasaran.

         ''Tak tahu Ibu semua itu Ayahmu yang urus,''jawab ibu.

          ''Nun, kemari Nak ada jiran kita mau kenal kamu,'' panggil Ayah dari luaar.

          ''Iya Ayah,''sahutku sambil berjalan kearah teras depan rumah.

  Aku lihat wanita seumuranku memakai baju kaos putih berkerah dan jeans panjang putih.

           ''Hy namaku Nun,'' sapaku senyum disebalik masker yang kupakai, maklum covid 19 jadi harus jaga jarak.

            ''Hy namaku Siti anak Pak Ansor,'' ujarya memperkenalkan diri.

            ''Besok kita berangkat sekolah bersama sahaja.''

             ''Dengan senang hati.''

              ''Ya sudah besok Aku jemput kamu, maaf Aku tidak bisa masuk sebab Aku baru dari pantai jadi kotor.'' Ujarnya sambil melihat diri sendiri.

Aku maklum dan bisa lihat bajunya yang basah dan juga kedua tanganya yang membawa kerang, penyu yang kecil diletak di plastik kotak. Dia pamit undur diri sama ayahnya juga. Setelah mereka semua jauh dari pandangan lalu kami masuk dan membantu ibu mengemasi rumah baru ini.

    "Semoga betah di rumah baru ini ya, Nun," ujar Ayah sambil memelukku. 

     "Terima kasih ya Ayah. Nun, suka sama rumah baru ini walaupun seken tapi rumah ini layak huni dan juga mempunyai halaman yang luas," ucapku.

       "Betul Nak, kita beli sesuatu harus ukur di badan sendiri semampu kita. Oya, Kamarmu yang Ayah perbarui akan diberi chat warna pink tapi masih renovasi. Jadi Nun tidur di kamar tamu dulu ya," ucap Ayah dengan senyum berharap Aku paham lalu Aku pun angguk paham.

       

Ayah mengajakku ke belakang dan Aku menurut. Sampai dibelakang Ada kandang beserta kuda bewarna putih bulunya yang halus ini kuda keturunan Arab.

    "Ayah, itu kuda milik siapa?" Aku bertanya penasaran sekaligus bahagia karena Aku suka kuda.

    "Itu, kuda pemberian Kakek dulu sebelum dia meninggal dia berpesan kepada Ayah untuk memberikanya kepadamu setelah kamu tamat SMA biar Kamu bisa bawa sendiri tanpa Ayah." Jawab Ayah.

     "Nun, suka kuda?" Ayah bertanya sebelum mengeluarkan kuda dari kandang.

       "Nun suka kuda Ayah, bermacam-macam kuda Nun suka, tapi Nun tidak mau mati di tendang kuda," jawabku penuh riang gembira.

Tanpa banyak kata Ayah mengeluarkan kuda dan membawanya kearahku. Lalu Ayah memberitahu dahulu sebelum Aku menunggang kuda.

    "Namanya Zebra, walaupun ini kuda Arab," beritahu Ayah dan Aku angguk paham.

     

Sebenarnya ini Kuda sejak usiaku tujuh tahun Kakek memberiku, tapi Ayah belum mengizinkan untuk Aku menunggang kuda memandangkan usiaku dahulu masih kecil. Kakek pun sudah berpesan kepadaku sebelum Kakek meninggal akibat terkena virus covid 19, untuk Aku jaga baik-baik warisan turun temurun dari Kakek. Kakek tahu Aku butuh teman dan hiburan jadi Kakek beri Aku kuda itu pun kuda bekas Kakek saat dirinya masih muda. Dan Zebra adalah anak kuda yang Kakek pakai. Kuda asli Kakek emaknya Zebra sudah mati karena sakit tua.

    "Ayah, Nun mau photo sama Zebra. Boleh?"ucapku dengan senyum bahagia.

    "Boleh sangat, Nun. Ibu! tolong ambilkan kamera Ayah di tas dekat kursi rotan di ruang tamu ya," panggil Ayah dari luar.

    "Ya Pak," sahut ibu dari dalam rumah. Tak lama kemudian Ibu keluar dengan kamera Canon milik Ayah.

Lalu Aku ambil posisi photo berdiri didekat kuda sambil bebisik kepada kuda sebelum photo. Zebra mempunyai bulu putih yang halus, giginya yang tersusun rapih, Zebra adalah kuda Arab jantan yang gagah. Saya suka.

    "Hy Zebra, kenalin namaku Nun. Bakalan jadi permaisurimu," bisikku sambil tersenyum.

   "Eh, senyum pulak dia. Bahagialah tu," ujar Ibu dan Ayahku.

   "Tentu. Ayah, tolong ambil gambar sekarang ya, Zebra sudah setuju ya kan?" Aku bertanya kepada kuda baruku dengan mengelus lembut dan penuh kasih rambut kuda.

 Tangan kuda (kaki depan kuda), kaki kuda (kaki belakang kuda), rambut kuda (bulu dibagian kepala sampai leher), baju kuda bulu yang ada di seluruh tubuh kuda. Tapi, Aku akan buatkan baju khusus kuda supaya tak sejuk. Kasihan, Aku bayangkan kudaku itu seperti diriku di tengah salju yang kental.

 

    Setelah berfoto Aku dan kedua orang tuaku membersihkan kembali kandang kudanya dan di seteril di siram anti bakteri khusus hewan agar tak tertular oleh manusia. Ayahku sangat mementingkan Aku walaupun lelaki urusan keluarganya dari keuangan Ayah yang handle, ibuku membuka butik baju pengantin. 

  

Ayah menjagaku bagaikan menata minyak di atas telapak tangan jangan sampai tumpah.

     Aku mempunyai bola mata yang coklat dan rambut bewarna coklat. Usiaku saat ini 17 tahun. Aku mirip Ayahku yang keturunan bule cina, sedangkan ibuku asli Melayu Kuala Lumpur. Dan di Kelantan ini Aku dan keluargaku memulai hidup baru di era pondemi ini. Aku anak tunggal begitu juga kedua orang tuaku mereka anak tunggal jadi saudara kami adalah jiran kami or neighbors.

                                                            BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun