Pada tahun 2024, sejumlah politisi menjadi korban hoaks yang dirancang untuk merusak reputasi mereka. Misalnya, video atau foto yang telah dimanipulasi untuk menyudutkan seorang politisi tertentu dapat dengan cepat menyebar di media sosial dan mempengaruhi opini publik. Untuk menghadapi tantangan ini, politisi perlu mengadopsi strategi komunikasi yang lebih transparan dan autentik, serta memanfaatkan teknologi seperti pemeriksaan fakta untuk melawan penyebaran informasi palsu.
Menurut data dari Lembaga Survei Indonesia (LSI), sekitar 60% pemilih generasi muda merasa lebih terhubung dengan politisi yang aktif di media sosial. Namun, hanya 35% dari mereka yang percaya bahwa konten media sosial mencerminkan keaslian politisi. Data ini menunjukkan bahwa meskipun media sosial memiliki pengaruh besar dalam membentuk preferensi politik, publik masih memiliki keraguan terhadap keaslian konten yang disajikan. Studi dari Center for Political Communication juga mencatat bahwa sekitar 45% pemilih generasi muda membuat keputusan politik berdasarkan konten yang mereka lihat di media sosial. Hal ini menegaskan bahwa media sosial tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga menjadi faktor penting dalam menentukan pilihan politik masyarakat.
Pencitraan politik di era media sosial adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, media sosial memudahkan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi, diskusi, atau terlibat dalam kampanye politik secara online. Informasi politik lebih mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat, sehingga meningkatkan kesadaran politik. Warganet dapat memantau aktivitas pemerintah atau pejabat publik, sehingga menjadi alat kontrol sosial yang efektif. Media sosial memungkinkan politisi menjangkau lebih banyak pemilih dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan kampanye konvensional.
Di sisi lain, media sosial sering digunakan untuk menyebarkan berita palsu atau propaganda yang dapat memecah belah masyarakat. Diskusi politik di media sosial sering kali memicu konflik dan memecah masyarakat ke dalam kelompok-kelompok yang berlawanan. Penggunaan bot dan buzzer di media sosial dapat memanipulasi opini publik untuk mendukung atau menjatuhkan pihak tertentu. Individu yang berbeda pendapat sering kali mendapat serangan verbal atau bahkan ancaman di media sosial, yang bisa mengurangi kebebasan berekspresi. Pada akhirnya, kepercayaan masyarakat tidak hanya dibangun melalui layar ponsel saja, tetapi juga melalui kerja keras dan hasil yang nyata. Masyarakat perlu lebih kritis dalam menyikapi pencitraan politik di media sosial, agar tidak terjebak dalam ilusi semata, tetapi fokus pada substansi dan kontribusi nyata dari para pemimpin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H