Seruan gema kesetaraan kerap digaungkan demi menciptakan kesejahteraan masyarakat di tengah keberagaman.Â
Namun, gaungan ini masih semu. "Sosok" kesetaraan yang dimaksud belum dirasakan sepenuhnya oleh mereka yang tereksklusi sosial di masyarakat, seperti kawan-kawan difabel.Â
Di tengah keterbatasan yang mereka miliki, fasilitas publik tidak turut menyokong kebutuhan mereka, salah satunya fasilitas yang menyasar kota Banjar, Jawa Barat.Â
Fasilitas ramah disabilitas di kota ini masih bisa dihitung jari, tidak banyak, yang paling umum ditemukan yaitu guiding block -- Jalur khusus dari keramik bertekstur yang menjadi pemandu difabel di jalan tertentu.Â
Guiding block yang ditemukan di Kota Banjar juga hanya meliputi area trotoar. Melihat kondisinya pun tidak mengindahkan, bukan hanya secara visual sebagai tata ruang kota tetapi juga secara fungsional sebagai pemandu pengguna jalan disabilitas netra.
Pengalaman tidak menarik ini pun dirasakan oleh Ketua Komunitas Penyandang Disabilitas Kota Banjar dan salah satu pengguna kaki prostetik, Iwan Sanusi.
"Guiding block di Banjar belum ramah difabel, malah cenderung membahayakan karena terhalang tiang listrik atau pohon," sahutnya.
Tidak hanya persoalan guiding block, Iwan juga mengeluhkan gedung-gedung di Kota Banjar yang belum dilengkapi fasilitas lift. Terpaksa, ia harus menaiki anak tangga yang melelahkan dengan kaki prostetiknya.
Masalah yang menyangkut dengan pemenuhan hak-hak disabilitas masih sering terabaikan. Hanya karena masalah ini terjadi sangat dekat dengan kehidupan sosial masyarakat, tidak menutup kemungkinan, beberapa pihak menutup mata akan masalah ini.Â
Persepsi dan stigma yang salah kerap dilayangkan pada para penyandang disabilitas sebagai objek santunan (charity).Â
Konteks pemenuhan hak-hak disabilitas bukan menjadikan keterbatasan bagi mereka sebagai bahan santunan yang memerlukan belas kasihan dari orang lain.Â
Tidak dapat dipungkiri, pandangan negatif dan tatapan tajam seakan melihat suatu keanehan menjadi makanan sehari-hari mereka. Tidak sedikit dari mereka akan merasa tereksklusi dan merasa minder dengan kekurangan fisik yang dimilikinya. Seperti halnya yang pernah dirasakan seorang penyandang disabilitas netra, Wulan Gustrianti.
Menutup mata, kenyataan seolah terlupakan oleh garis pembatas semu yang menampakkan perbedaan fisik di antara para difabel dan non-difabel.Â
Padahal penyandang disabilitas bukan hanya terbatas pada mereka yang telah dilahirkan secara difabel, tidak sedikit mereka yang mengalami kemalangan, kecelakaan sehingga terpaksa berada dalam fase kehidupan sebagai penyandang disabilitas.
Tidak hanya itu, seiring berlanjutnya usia fungsi tubuh kian menurun yang mengakibatkan melambatnya kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas yang biasa saja dirasakan sebelumnya.Â
Wulan mengaku, pemenuhan hak- hak disabilitas tidak terbatas pada fasilitas publik yang menunjang kemudahan akses difabel, tetapi juga dengan menghilangkan stigma negatif dan pandangan santunan pada para penyandang disabilitas.
Wulan sendiri memiliki keterbatasan dalam penglihatan karena kelainan pada kornea matanya sehingga matanya tidak membuka sempurna.Â
Kondisi ini ia sandang sejak lahir, tetapi ia belum tahu nama kelainan yang dialaminya. Ketika ditanya, ia mengasumsikan penyebab kelainannya ini karena sang ibu memiliki riwayat tekanan darah tinggi.Â
Kelainan kornea mata Wulan yang berada di samping mata membuatnya terpaksa melakukan aktivitas sehari-hari yang sedikit berbeda dari yang lain. Seperti saat ia menggunakan ponselnya, terpaksa posisi ponsel yang digunakan harus dengan arah menyamping mengikuti posisi kornea matanya.Â
Penampakan yang tak biasa dijumpai ini tentunya mengundang tatapan aneh serta ejekan dari yang lain, tetapi ia mengaku tidak pernah menganggap hal ini sebagai tindak perundungan.Â
Pengalaman Wulan merupakan salah satu dari sekian penyandang disabilitas yang merasakan pahitnya menjalankan aktivitas biasa tetapi mendapat ejekan yang tidak layak diterima insan manapun.Â
Bersyukurnya, Wulan tumbuh di lingkungan suportif dan positif yang mengajarkannya untuk tidak mudah termakan sikap tercela yang lain.Â
Namun, penyandang disabilitas lain belum tentu seberuntung Wulan. Lingkungan yang tidak pernah mendukung dan menerima keterbatasan difabel, atau terpaksa menerima perlakuan tidak layak yang lebih kejam bisa saja didapatkan penyandang disabilitas lain.Â
Kondisi ini tidak hanya dirasakan segelintir penyandang difabel, mereka terjebak dalam kondisi ini dan terpaksa harus merasakan pahitnya bertahan hidup di dalam lingkungan seperti itu.
"Aku rasa kita semua sama, sama-sama manusia, yah. Mempunyai hak asasi yang sama tanpa ada yang dikurangi, dibatasi, dihalangi, apalagi dihilangkan, gitu.
Jadi kami juga punya hak buat mendapatkan pendidikan, fasilitas layanan publik, pelayanan yang ramah, kita semua sama berhak mendapatkan itu semua," tutur Wulan.
Mengenai hak-hak disabilitas, Wulan merasa belum terpenuhi karena para penyandang difabel memiliki keterbatasan bergerak yang berbeda dengan para non-difabel.Â
Sedangkan akses mereka terhadap fasilitas publik masih sangat terbatas. Pengalaman yang serupa dengan Iwan, Wulan juga mengeluhkan fasilitas pendukung pengguna kursi roda di gedung-gedung publik Kota Banjar yang masih belum ada.Â
"Aku rasa kami perlu banget mendapatkan pelayanan yang ramah, kayak petugas layanan publik itu harus [mampu] menggunakan bahasa isyarat untuk mereka yang mempunyai hambatan dalam pendengaran, jadi mereka tetap bisa berkomunikasi dengan petugas layanan publik tersebut," tambahnya.
Wulan juga menyarankan alternatif lain di samping kemampuan menggunakan bahasa isyarat dengan kehadiran informasi visual, seperti tanda di lokasi strategis atau denah lokasi pada gedung-gedung publik.Â
Selain itu, Wulan juga mendukung informasi visual ini dirancang secara interaktif, dilengkapi tombol tujuan lokasi yang saat ditekan akan memunculkan jalur tercepat menuju lokasi tersebut.Â
Menurutnya, hal ini tidak hanya memberi kemudahan bagi para difabel tetapi juga non-difabel karena berfungsi memandu pengunjung menunjukkan setiap lokasi di Gedung publik.Â
Kegagalan terpenuhinya hak-hak disabilitas bagi Wulan bukan sekadar belum mumpuninya fungsi fasilitas publik ramah disabilitas, tetapi juga masalah belum meratanya fasilitas tersebut di setiap daerah.Â
Wulan mengeluhkan kesenjangan fasilitas publik ramah disabilitas yang lebih mudah ditemui di kota besar Sedangkan, kota kecil seperti Banjar belum mampu menerapkan hal serupa.Â
Masih banyak pembenahan yang perlu dilakukan pemerintah Indonesia terkait akses fasilitas publik ramah disabilitas, khususnya Kota Banjar.Â
Fasilitas dasar seperti ramp/handrail, running text, dan rambu visual atau verbal di terminal perlu segera dilengkapi karena guiding block saja tidak mewakili kelengkapan fasilitas ramah difabel.
Upaya implementasi fasilitas ramah difabel lain seperti pintu bus yang dilengkapi alat hidrolik untuk memudahkan para pengguna kursi roda, toilet umum yang dirancang khusus bagi para difabel, perpustakaan yang dilengkapi buku berformat braille atau audiobook untuk penyandang netra juga perlu diwujudkan untuk menunjang kenyamanan para difabel mengakses layanan publik.
"Harapan aku buat pemerintah, dapat memberikan layanan publik yang memadai dan merata, bukan hanya di kota besar, tetapi juga di kota kecil karena penyandang disabilitas tersebar nggak hanya di kota besar. Justru di kota kecil sering terabaikan," tegas Wulan.
Peran aktor pemangku kebijakan patut dimaksimalkan demi menciptakan ruang aman dan kesetaraan bagi seluruh pihak.Â
Tidak luput juga sertakan sosialisasi aksesibilitas fasilitas tersebut agar para difabel paham penggunaannya dan fasilitas dapat bermanfaat secara maksimal.
"Fasilitas tersebut harus lebih diperhatikan karena kami itu bukan hanya penyandang disabilitas, tetapi aku rasa kami juga bagian dari keragaman yang harus dijaga dan dilayani sama seperti masyarakat yang lain," pungkasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H