Kegagalan terpenuhinya hak-hak disabilitas bagi Wulan bukan sekadar belum mumpuninya fungsi fasilitas publik ramah disabilitas, tetapi juga masalah belum meratanya fasilitas tersebut di setiap daerah.Â
Wulan mengeluhkan kesenjangan fasilitas publik ramah disabilitas yang lebih mudah ditemui di kota besar Sedangkan, kota kecil seperti Banjar belum mampu menerapkan hal serupa.Â
Masih banyak pembenahan yang perlu dilakukan pemerintah Indonesia terkait akses fasilitas publik ramah disabilitas, khususnya Kota Banjar.Â
Fasilitas dasar seperti ramp/handrail, running text, dan rambu visual atau verbal di terminal perlu segera dilengkapi karena guiding block saja tidak mewakili kelengkapan fasilitas ramah difabel.
Upaya implementasi fasilitas ramah difabel lain seperti pintu bus yang dilengkapi alat hidrolik untuk memudahkan para pengguna kursi roda, toilet umum yang dirancang khusus bagi para difabel, perpustakaan yang dilengkapi buku berformat braille atau audiobook untuk penyandang netra juga perlu diwujudkan untuk menunjang kenyamanan para difabel mengakses layanan publik.
"Harapan aku buat pemerintah, dapat memberikan layanan publik yang memadai dan merata, bukan hanya di kota besar, tetapi juga di kota kecil karena penyandang disabilitas tersebar nggak hanya di kota besar. Justru di kota kecil sering terabaikan," tegas Wulan.
Peran aktor pemangku kebijakan patut dimaksimalkan demi menciptakan ruang aman dan kesetaraan bagi seluruh pihak.Â
Tidak luput juga sertakan sosialisasi aksesibilitas fasilitas tersebut agar para difabel paham penggunaannya dan fasilitas dapat bermanfaat secara maksimal.
"Fasilitas tersebut harus lebih diperhatikan karena kami itu bukan hanya penyandang disabilitas, tetapi aku rasa kami juga bagian dari keragaman yang harus dijaga dan dilayani sama seperti masyarakat yang lain," pungkasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H