Mohon tunggu...
Riska Damayanti
Riska Damayanti Mohon Tunggu... Lainnya - Riska

Be successful

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

"Tauhid" sebagai Paradigma Pengembangan Ilmu Pembelajaran

29 Juni 2021   12:45 Diperbarui: 29 Juni 2021   14:50 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tauhid adalah salah satu hal terpenting yang harus difahami, dimiliki dan dipegang teguh  oleh umat islam, karena dengan tauhid seseorang dapat mengerti apa arti dari kehidupan yang dia jalanani.

Tauhid mempunyai peran besar terhadap hidup manusia, karena dengan tauhidlah manusia dapat memahami arti dan tujuan hidup mereka. Marilah kita tengok di dalam kehidupan kita pada zaman yang katanya modern ini, banyak manusia yang hidup tanpa tujuan yang jelas, mereka bekerja siang malam banting tulang hanya untuk mendapatkan harta yang banyak, dengan harta itulah mereka berusaha memuaskan hawa nafsunya yang tak kunjung puas dengan apa yang telah mereka lakukan, padahal Allah telah berfirman dalam ayat-Nya, yang artinya "Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah kepadaku".

Tauhid  menurut  bahasa  artinya  mengetahui  dengan  sebenarnya  Allah itu    Ada    lagi    Esa.    Menurut    istilah,    tauhid    ialah    suatu ilmu    yang membentangkan  tentang  wujudullah  (adanya  Allah)    dengan  sifat-sifat-Nya yang wajib, mustahildan jaiz (harus), dan membuktikan kerasulan para rasul-Nya dengan sifat-sifat mereka  yang wajib, mustahil dan jaiz, serta membahas segala    hujah terhadap  keimanan  yang  berhubungan  dengan  perkara-perkara samiyat, yaitu perkara yang diambil dari Al-Quran dan Hadist dengan yakin. 

Kembali pada pembahasan tentang paradigma tauhd. Paradigma tersebut berpandangan, bahwa alam dan kehidupan merupakan satu sistem yang holistik dan integral yang menempatkan Tuhan sebagai satu-satunya sentral. Bagi orang beriman, tidak ada keraguan untuk memaknai sentral tersebut sebagai "Yang Maha Kaya/tak tergantung, sedang manusia serba tergantung (QS.47: 38)" dan "Yang Maha Awal dan Maha Akhir, Maha Lahir dan Maha Bathin (QS.57: 3). Paradigma tersebut tentu saja sangat luas, sebab pembelajaran menyakut pengembangan ilmu dan kehidupan manusia yang menyentuh segala aspek dan bidangnya.

Dr. Mulyadhi Kartanegara menawarkan sebuah konsep rekontruksi pengembangan ilmu dengan prinsip integrasi. Berangkat dari kehawatirannya yangserius tentang adanya dikotomi yang sudah sangat kronis antara ilmu dan agama, beliau menulis buku berjudul "Integrasi Nilai: Sebuah Rekonstruksi Holistik".Dalam upaya tersebut, beliau menawarkan satu prinsip utama, yaitu prinsip tauhid.Konsep tauhid yang diangkat dan digunakannya di sini adalah rumusan wadatulwujuddari Mulla Shadra yang menyatakan, bahwa segala wujud yang ada -- dengan segala bentuk dan karakternya -- pada hekekatnya adalah satu dan sama. Yang membedakan satu dari yang lainnya hanyalah gradasinya (tasykk al-wujd) yang disebabkan oleh esesnsinya. Oleh karena itu, menurutnya (2005: 35) segala wujud yang ada, baik yang bersifat spiritual atau materil dapat dijadikan objek yang validbagi ilmu.4 

Berangkat dari pemikiran latarbelakang yang sama, yakni ada paradigma ilmuBarat yang sekuler, Kuntowijoyo (1991: 327) menawarkan pula suatu paradigmayang disebutnya paradigma Alquran. Beliau mengartikannya sebagai suatu konstruk pengetahuan yang memungkinkan kita mamhami realitas sebagaimana Alquran memahaminya. Konstruk pengathuan ini dibangun oleh Alquran pertama-tamadengan tujuan agar kita memamiliki "hikmah" yang atas dasar itu dapat dibentuk perilaku yang sejalan denan nilai-nilai normatif Alquran, baik pada level moral maupun sosial. Pendekatan yang digunkana mengkaji al-Quran dalam rangka mengangkatnya sebagai paradigma, menurutnya adalah pendekatan sintetik-analitik. Dengan pendekatan ini, al-Quran dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian mengenai konsep-konsep dan bagian mengenai kisah-kisah dan amtsal (perumpamaan).

Pendekatan sintetik memandang pengembangan arche-type dari sisipesan moralnya yant gbersifat abadi dan univeersal, bukan segi peristiwa-peristiwa historisnya dan bukansegi bukti empirisnya. Sedang pendekatan analitik memandang ayat-ayat al-Quran sebagai pernyataan-pernyataan normatif yang harus dianalisis dan diterjemahkan pada level yang obyektif. Ini berarti al-Quran harus dirumuskan dalam bentuk kontruk-konstruk teoritis. Elaborasi terhadap konstruk-kontruk teoritis al-Quran inipada akhirnya merupakan kegiatan Quranic theority building (perumusan teori Alquran). Dan dari sinilah muncul paradigma qurani.

Lain halnya dengan   Hasan Langgulung. Beliau mencoba mengembangkan paradigma Islam tentan ilmu dan pendidikan itu dengan mengangkat konsep ummah, paradigma ummah. Ummah menurutnya (2002: 137) adalah orde sosial dalam Islamyang   bersifat   universal,   meliputi   semua   umat   manusia   tanpa   kecuali.   Islammengakui  sifat  pengelompokan  manusia  ke  dalam  keluarga-keluarga,  suku-suku, dan  bangsa-bangsa,  sebagai  aturan  yang  telah  diciptakan  dan  ditentukan  Tuhan. Kecuali  ada  pengakuan  tersebut,  Islampun  menyatakan  bahwa  standar  kualitas eksistensi   masing-masing   kelompok   tersebut   terletak   pada   keterarahan   dan keterintegrasiannya  kepada-Nya.   Dengan  demikian  jelas,   bahwa  yang  dimaksud ummahadalah untuk menjadi saksi bagi pelaksanaan risalah ilahiyah seperti yang terkandung dalam Alquran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun