Mohon tunggu...
Riska Rina Kaloko
Riska Rina Kaloko Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Sedang Berkelana

Karena hidup terlalu sederhana kalau hanya untuk diri sendiri, maka hiduplah untuk mereka yang membutuhkan sehingga kau akan melihat betapa kompleksnya sukacita yang disediakan Tuhan disana.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kalau Saja Kita Merasa Cukup

3 Juli 2018   00:38 Diperbarui: 3 Juli 2018   00:51 771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Perhatikanlah caramu hidup, apakah penuh dengan kebijaksanaan dan kemanfaatan?"

Saya bukan seorang kaya juga bukan seorang yang telah banyak berjasa, tapi hari ini saya belajar tentang satu hal yang fundamental dan penting, dan karena itu hari ini saya ingin belajar memulai hidup dengan bijaksana serta memperhatikan bagaimana cara saya hidup, sehingga karena cara saya hidup itu saya dapat memberikan kemanfaatan dalam segala hal aspek kehidupan. Bahkan selain itu, saya juga ingin berbagi didalam artikel ini kepada para pembaca dan dengan penuh harap gagasan ini akan membentuk generasi yang penuh cinta kasih dan kepedulian kepada sesamanya.

Semua ini bermula dari kata "cukup", kata yang sangat berbanding terbalik dengan karakter dasar manusia yaitu "tidak pernah puas". Mengapakah manusia diidentikkan dengan kata-kata ini? Ya, karena itulah sifat dasar yang secara alamiah tumbuh dalam diri setiap manusia. Sadar atau tidak sadar, kamu punya itu, begitu juga saya.

Tapi bukan hal yang mustahil untuk mematikannya, kita hanya perlu melihat sekitar  dan coba berbincang dengan nurani (karena kita semua juga punya ini) kita, apakah mereka tidur nyaman seperti saya? Apakah mereka makan hidangan yang cukup gizi dan dengan lauk-pauk seperti saya? Apakah mereka mendapat pendidikan di sekolah sehingga dapat membaca dan berhitung seperti saya?

Sedikit informasi, bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh FAO (Food and Agricultur Organization), yaitu Organisasi Pangan dan Pertanian yang berada dibawah naungan PBB memberikan data bahwa angka penderita kelaparan didunia saat ini mencapai 850 juta jiwa (19,4 juta diantaranya berada di Indonesia). Dimana Asia berada pada rangking teratas saat ini meskipun Afrika bagian selatan Gurun Sahara berada dalam keadaan yang lebih gawat.

Selain itu, dari data ini ditemukan sebuah fakta bahwa 6 juta dari 11 juta anak yang kelaparan meninggal setiap tahunnya dan anak-anak itu rata-rata berusia 5 tahun kebawah. Ahh, realita yang sangat mengoyak hati, mereka bahkan tidak sempat menikmati hidup di alam semesta ini hanya karena kelaparan, bahaya kelaparan telah merenggut banyak jiwa dengan kematian.

Kenyataan ini sangat mengganggu saya, sehingga mendorong saya mengevaluasi diri dan menurut saya perbincangan dengan nurani yang tadi sudah kita mulai harus dilanjutkan kembali, kita harus bertanya apa yang bisa saya lakukan? Apakah saya harus memikirkan permasalahan ini, itu bukankah terlalu kompleks untuk saya atasi? Benarkah itu harus menjadi tanggung jawab saya? Sedangkan saya juga tak bisa menikmati hidup dalam kemewahan. Ahh, bukankah sudah terlalu banyak program pemerintah dan program dari organisasi dunia sekelas PBB yang memikirkan permasalahan itu?

Saya bukan orang kaya, saya juga bukan orang yang bisa memberikan banyak dari apa yang saya miliki bagi mereka, bahkan bisa dikatakan bahwa saya hampir tidak pernah memberikan apa-apa kepada mereka secara materi. Saya hanya pernah terlibat dalam beberapa program-program sosial yang merupakan pelayanan peduli pada pendidikan anak-anak kurang mampu, penyuluhan kesehatan, penyuluhan hukum dan pendampingan hukum bagi masyarakat kurang mampu yang terlibat dalam permasalahan hukum (sesuai dengan pekerjaan saya sebagai lawyer).

Tapi saya merasa itu semua tidak cukup, belum memberikan pengaruh apapun. Kemudian saya memperhatikan lagi bahwa semakin hari semakin banyak saja mereka yang terlibat dalam permasalahan hukum, bahkan beberapa diantaranya telah dikenakan pemberatan residivis. Tapi tahukah anda, bahwa sebagian besar alasan mereka melakukan perbuatan itu serta mengulangi perbuatan itu lagi adalah karena desakan ekonomi mereka, mereka harus makan, kalau tidak mereka akan menjadi korban kelaparan.

Semakin dalam saya memikirkan semua ini, maka saya juga semakin berpikir dan bertanya pada nurani saya, apa yang harus saya lakukan?. Dalam masa perenungan ini, seorang penulis memberikan jawaban sangat bijaksana kepada saya, dia adalah David Platt, katanya, "Kita memiliki titik buta, titik buta yang sukar diidentifikasi. Kita tidak ingin mengakuinya. Sehingga pura-pura saja, anggap tidak ada saja. Padahal mereka ada!"

Yang ingin diungkapkan David Platt adalah dia ingin kita membuka mata dan nurani kita pada kebutuhan dunia disekeliling kita. Apakah kita memiliki keberanian untuk menatap wajah mereka yang ada disekeliling kita yang tubuhnya kurang gizi serta otaknya terhambat berpikir karena tidak punya makanan. Beliau juga ingin kita melihat kepada kehidupan kita dan memikirkan dengan serius bagaimana kita hidup dan bagaimana pula dengan gaya hidup kita.

Dari pernyataan-pernyataan itu, hati saya sangat bergejolak, saya sangat remuk karena saya berpikir mengapa selama ini saya tidak pernah memikirkan hal itu. Saya buta, anggap saja mereka tidak ada. Yang penting saya hidup dengan baik dan tidak mengganggu hidup mereka, yaa begitu. Saya memang bukan golongan yang berkelimpahan, hidup dengan kemewahan. Saya hanya seorang biasa-biasa saja (ini pengakuan jujur). Tapi perkataan David Platt sangat mengganggu saya, kata dia, "perhatikanlah cara hidupmu!"

Pernahkah dalam piring makanmu tersisa makanan? Pernahkah kamu membuang botol minum yang masih diisin oleh air? Pernahkah kamu membeli barang yang sebernarnya tidak terlalu urgent untuk dimiliki, tapi tuntutan life style membuatmu membelinya? Pernahkah kamu membeli barang-barang lebih dari satu yang mana satu saja cukup? Pernahkah kamu berlibur berkali-kali dalam setahun? Pernahkah kamu lebih memilih memakai angkutan umum dari pada kendaraan pribadi atau taxi? Inti dari pertanyaan ini adalah "PERNAHKAH KAMU MERASA CUKUP?".

 Dari pertanyaan-pertanyaan sederhana itu, saya dapat memahami bahwa musuh saya adalah diri saya. Sebenarnya kuncinya hanya satu, saya harus memerangi diri saya sendiri untuk selalu merasa "cukup" dan melihat kebawah, ada banyak mereka yang membutuhkan satu dari dua baju yang tidak kamu pakai. Ada banyak yang ingin makan dari sisa di piringmu. Saya tidak ingin ada kesalahpahaman dengan apa yang saya maksud disini, saya tidak melarang untuk berlibur, beli barang-barang, dll. Saya hanya ingin kita sadar dan membuka mata, dan mengatakan sudah cukup.

Kalo ada diantara kita yang merasa tidak adil dan berpikir "yang kerja keras kan saya, yang lembur kan saya, masakan saya tidak bisa menikmati hasil keringat saya?" Saya juga membenarkan pernyataan itu, nikmatilah, tapi cukupkanlah dirimu dan pandanglah sekelilingmu itu. Kalo bisa berbagi dari kerja keras kita, bukankah tidak ada salahnya? Dan kalo kita belum memiliki apa-apa untuk dibagikan, lakukanlah hal-hal sederhana itu, karena tidak sulit untuk menghabiskan nasi dalam piring itu.

Memang ada banyak orang yang telah memberikan diri untuk mengatasi masalah kemiskinan ini, bahkan menjadi program yang mendunia. Tapi kita juga bertanggung jawab atas mereka, kalo kita makan cukup bukankah sisanya bisa kita berikan kepada yang kelaparan?

"KALAU SAJA KITA MERASA CUKUP", maka mereka akan mendapat bagian dari kecukupan kita. Semoga bermanfaat.

_Riska Kaloko_

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun