Mohon tunggu...
Riska Nurul Alif
Riska Nurul Alif Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Privasi

Untuk mengisi berbagai topik menarik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ancaman Konflik di Laut China Selatan terhadap Kedaulatan Indonesia

14 Mei 2024   15:30 Diperbarui: 16 Mei 2024   12:30 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

   

    Ancaman dapat diartikan sebagai usaha dan kegiatan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang dapat dinilai membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 1982, ancaman mencakup ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan, sedangkan menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 digunakan satu istilah yaitu ancaman. Ancaman terhadap kedaulatan negara yang semula bersifat fisik berkembang menjadi fisik dan nonfisik, baik berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Ancaman yang bersifat multidimensional tersebut dapat bersumber, dari permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, maupun permasalahan keamanan yang terkait dengan kejahatan internasional, antara lain pencurian kekayaan alam, pencemaran laut, penangkapan ikan secara ilegal, dan perusakan ekosistem. Perlu adanya strategi dalam pertahanan keamanan yang seimbang pada seluruh aspek kehidupan. Kemampuan dalam ketahanan nasional yang perlu dikembangkan untuk menghadapi ancaman yang dapat membahayakan bangsa dan negara.   Pertahanan keamanan suatu negara merupakan unsur paling utama dalam pertahanan keamanan negara dengan melibatkan militer dan rakyat sebagai bentuk dari hak dan kewajiban warga negara dalam membela negara. Peran serta Indonesia dalam pemeliharaan perdamaian merupakan amanat Pembukaan UUD 1945, yaitu dalam mewujudkan perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Di sisi lain, perubahan dunia akan selalu berpengaruh terhadap kelangsungan bangsa Indonesia. Dunia yang aman dan damai tentu saja menjadi harapan semua umat manusia termasuk Indonesia.

    Pemicu Sengketa Laut China Selatan bermula ketika china pada tahun 1947 memproduksi peta Laut China Selatan dengan 9 garis putus-putus dan menyatakan bahwa wilayah tersebut termasuk dalam lingkaran wilayah Kepulauan Spartly dan Paracel sebagai wilayah teritorialnya. Klaim ini didasarkan pada sejarah China kuno, mulai dari Dinasi Han yang berkuasa pada abad 2 SM sampai dengan Dinasi Ming dan Dinasi Qing abad 13 SM. Aspek sejarah dan penemuan dijadikan alasan china untuk mempertahankan Laut China Selatan. Laut China Selatan, perairan  laut bagian tepi dari Samudra Pasifik, yang membentang dari Selat Karimata dan Selat Malaka, hingga Selat Taiwan dengan luas kurang lebih 3.500.000 km². Laut ini memiliki kekayaan biota laut yang mampu menopang kebutuhan pangan jutaan orang di Asia Tenggara sekaligus cadangan minyak dan gas alam yang besar. Latar belakang terjadinya konflik laut China Selatan adalah terjadinya saling klaim kepemilikan atas beberapa fitur pulau-pulau kecil, terumbu karang dan pulau karang, yang seluruhnya tidak berpenghuni, dan hanya dua pulau utama yang menjadi perhatian beberapa negara pantai sekitarnya, yaitu Pulau Spratly dan gugusan Pulau Paracel. Laut China Selatan memiliki pulau-pulau dan terumbu karang yang kandungan cadangan minyak, gas bumi yang cukup besar. Laut China Selatan adalah kawasan menggiurkan. Secara umum, ada dua hal yang penting dalam perebutan wilayah Laut China Selatan, yakni letak strategis serta potensi ekonomi. Perairan tersebut merupakan salah satu pintu gerbang komersial yang krusial bagi beberapa jalur pelayaran dan sebagian besar industri logistik dunia. Laut China Selatan adalah jalur tercepat dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia yang menghubungkan Asia Timur dengan India, Asia Barat, Eropa, dan Afrika. Dalam konflik di Laut China Selatan, terdapat enam negara yang mengklaim kawasan tersebut baik dari sisi wilayah maritim atau pengakuan atas kepemilikan fitur-fitur (pulau/karang) sebagai wilayahnya, yakni Brunei, China, Filipina, Malaysia, Taiwan dan Vietnam.

    Pada tanggal 15 Desember, Kementerian Pertahanan Tiongkok memperingatkan Amerika Serikat dan sekutunya agar tidak melakukan campur tangan lebih lanjut dalam situasi di Laut China Selatan. Beberapa hari yang lalu, bentrokan militer terbesar antara Tiongkok dan Filipina terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Pada tanggal 10 Desember, sebuah kapal penjaga pantai Tiongkok menggunakan meriam air terhadap kapal-kapal Filipina dekat kepulauan Spratly di barat daya laut china selatan, menyebabkan kerusakan parah pada mesin salah satu kapal, dan juga menabrak Unaizah Mae 1. Warga Filipina tiba di terumbu karang yang disengketakan tersebut untuk mengirimkan perbekalan dan merotasi personel di Sierra Madre, sebuah kapal serbu amfibi Amerika bekas Perang Dunia II yang sengaja dikandaskan pihak berwenang Filipina di dekat pulau-pulau yang disengketakan pada tahun 1999 dan digunakan sebagai pos terdepan. Pihak berwenang Tiongkok menyalahkan Manila atas insiden tersebut, dan menuduh tentara Filipina berada secara ilegal di wilayah perairan mereka. Kementerian Pertahanan Tiongkok menyatakan bahwa kapal Filipinalah yang menabrak kapal penjaga pantai Tiongkok, dan mereka hanya dipaksa untuk menanggapi provokasi tersebut. Insiden tersebut merupakan tabrakan keempat antara kapal Tiongkok dan Filipina dalam beberapa bulan terakhir dan yang paling serius, meski tidak ada korban luka atau korban jiwa di kedua sisi. Sejak akhir tahun 1960-an, telah berulang kali terjadi bentrokan antara negara-negara yang mengklaim kedaulatan atas pulau-pulau tersebut. Menurut Administrasi Informasi Energi Amerika Serikat, ladang dengan total cadangan sekitar 11 miliar barel berlokasi di perairan Laut Cina Selatan. minyak dan 190 triliun meter kubik. Minyak,gas alam. Amerika Serikat, Australia, Inggris Raya, Kanada dan Jepang memihak Filipina. Sebagai tanggapan, Kementerian Pertahanan Tiongkok mengatakan bahwa “beberapa negara di luar kawasan dengan jahat memprovokasi situasi dan menambah bahan bakar ke dalam api.” “Kami mendesak negara-negara terkait untuk segera menghentikan perambahan dan provokasi untuk menghindari eskalasi lebih lanjut dan memperburuk situasi,” kata juru bicara kementerian Zhang Xiaogang pada tanggal 15 Desember. Meski sengketa wilayah telah berlangsung selama puluhan tahun, namun situasi di Laut Cina Selatan semakin memanas seiring dengan pergantian kekuasaan di Filipina pada tahun 2022. Berbeda dengan mantan Presiden Rodrigo Duterte, kepala negara baru Ferdinand Marcos Jr. mengambil sikap keras terhadap Tiongkok dan menuju pemulihan hubungan yang lebih erat dengan Amerika Serikat dan blok AUKUS (selain Amerika Serikat, termasuk Australia dan Inggris).

    Indonesia bukan negara pengklaim di kawasan tersebut, karena jalur lintas pelayaran, hak atas wilayah maritim, dan wilayah ZEE Indonesia berada di perlintasan kawasan yang diperebutkan oleh negara pengklaim (China, Vietnam dan Malaysia), posisi Indonesia menjadi berkepentingan. Selain itu, Vietnam dan Malaysia adalah negara anggota ASEAN. Sehingga Indonesia harus memastikan bahwa kawasan Laut China Selatan  harus stabil dan aman sebagai jalur utama untuk pelayaran internasional dan posisi wilayah maritim Indonesia yang berada dalam lingkup tiga jalur strategis, yaitu Laut Andaman, Selat Malaka serta Laut Natuna dalam keadaan terkendali dan dapat dikelola. Indonesia melakukan pendekatan secara bilateral dengan negara tetangga yang langsung berbatasan maritim, secara geo-politik kawasan, dalam kaitan hubungan dengan China sebagai negara pengklaim yang dinilai agresif dan cenderung self-centered melalui mekanisme proses dalam ASEAN dan Organisasi Internasional di bidang kelautan dan kemaritiman; dan mendorong proses mediasi/atau arbitrase internasional sesuai Part XV UNCLOS 1982. Dengan adanya pendekatan tersebut kita bisa menyelidiki permasalahan dalam menangani konflik yang berkepanjangan, dan dapat menjadi pilihan dalam memproses penyelesaian konflik. Negara-negara pengklaim untuk sementara mengesampingkan konflik melalui kerjasama di bidang-bidang teknis kelautan dan kemaritiman. Lalu, Indonesia memulai proses yang dituangkan dalam program kerja jangka panjang nasional untuk mengisi upaya konkret dan langsung dalam pengelolaan kerjasama kawasan guna menghindari konflik yang berkepanjangan menjadi kawasan yang damai, stabil dan terciptanya kerjasama yang saling menguntungkan. Dalam mekanisme ini, negara-negara yang terlibat dan berpartisipasi tidak membahas permasalahan klaim kawasan oleh negara-negara yang berkonflik, termasuk pelibatan negara-negara lain bukan pengklaim, melainkan mencari kesepahaman bersama untuk bekerjasama secara non-politik yang dalam perjalanannya akan memberi ruang untuk saling memahami kepentingan bersama di kawasan Laut China Selatan. Peran Indonesia menjadi lebih strategis karena terdapat empat dari enam negara pengklaim yang merupakan sesama negara ASEAN (Brunei, Filipina, Malaysia, dan Vietnam), sehingga ada kontribusi lain yang diperlukan oleh Indonesia untuk melibatkan ASEAN dalam menghadapi agresivitas klaim sepihak China (historical rights) di wilayah Laut China Selatan yang bersinggungan secara langsung dengan wilayah ZEE Indonesia dan secara indikatif geografis telah menerobos ke dalam kawasan pantai di Pulau Natuna.

    Indonesia dalam menegakkan kedaulatannya harus terus mengedepankan pembangunan kawasan Perairan Natuna secara berkelanjutan dengan program-program yang menegaskan kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia di kawasan tersebut tanpa kecuali. Khususnya, melalui pengembangan kegiatan pengelolaan sumber daya lintas negara, serta terus memastikan kehadiran simbol negara (aparat penegak hukum non-militer) di wilayah ZEE Indonesia tetap berlanjut. Selain itu, peran Indonesia menunjukan kepemimpinan dalam mengedepankan upaya untuk menjaga perdamaian dan keamanan wilayah negara anggotanya dengan negara-negara tetangga dan negara lain yang memanfaatkan wilayah Laut China Selatan sebagai kawasan tanpa konflik terbuka. Indonesia beserta negara ASEAN lain yang bukan pengklaim dapat mengajukan proses khusus yang tercermin dengan disepakatinya Declaration of Conduct (2002) melalui ASEAN-China Framework yang saat ini telah berproses dalam perundingan untuk menyusun dokumen hukum dalam bentuk Code of Conduct sebagai landasan hukum untuk menyepakati pengaturan aktivitas negara-negara di kawasan Laut China Selatan. Peran Indonesia dapat menyelesaikan potensi konflik yang melibatkan negara anggota ASEAN serta mendorong pihak-pihak lain yang berkepentingan untuk menghormati proses ini sebagai bagian dari masyarakat global dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan Laut China Selatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun