Airlangga Hartanto sebagai Menko Bidang Perekonomian telah memberikan kode bahwasannya PPN akan naik 12% per 1 Januari 2025. Di tanggal 28 Maret 2024 kemarin Airlaga Hartanto mengatakan "kita lihat masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan bahwa pilihannya keberlajutan. Kalau keberlanjutan tentu berbagai program yang dicanangkan pemerintah akan tetap dilanjutkan. Termasuk kebijakan PPN."
Kenaikan PPN ini sudah diatur di Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dalam aturan ini ditulis bahwa PPN yang tadinya 11% bisa naik 12% sebelum 1 Januari 2025. Namun jelas kenaikan ini tidak lepas dari kontroversi, beberapa pihak menyuarakan kekhawatirannya tentang dampak kenaikan PPN ini. Terutama terhadap inflasi dan daya beli masyarakat.
Semua kalangan masyarakat pastinya terbebani dengan kenaikan PPN ini. Namun ada salah satu kalangan masyarakat yang paling terbebani yaitu masyarakat kelas menengah, mengapa? Masyarakat kelas menengah dinilai menjadi pihak yang paling terdampak atas rencana pemerintah untuk mengerek tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kenaikan PPN ini merupakan upaya menambah penerimaan, lantaran PPN menjadi tulang punggung di antara penerimaan pajak lainnya dalam pundi-pundi kas negara. Ekonom menilai konsumsi masyarakat, khususnya kelas menengah akan cukup tertekan dengan kenaikan tarif ini.
Pajak mana yang bakal berpengaruh terhadapat masyarakat Indonesia? Yaitu transaksi pembelian rumah, langganan internet, apartemen, dan sampai ke langganan platfrom streaming seperti Netflix. Walaupun kenaikan PPN ini tidak berlaku untuk kebutuhan pokok tetapi tetap saja akan berpengaruh ke daya beli konsumen. Jika daya beli masyarakat menurun, makan produsen juga akan dirugikan. Seperti contoh, jika para pengusaha menaikan harga produk dan jasanya maka otomatis sebagai konsumen akan mengerem untuk membeli. Apalagi jika pendapatannya tidak ikut naik.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Akhmad Akbar Susamto melihat, kelas menengah cenderung menghabiskan pendapatannya untuk konsumsi barang dan jasa. Dengan kenaikan PPN, biaya tambahan yang harus dibayar untuk pembelian barang dan jasa akan meningkat. Namun, bahan pokok dan jasa pendidikan dibebaskan dari pajak ini.
Peneysuaian tarif PPN merupakan upaya optimalisasi penerimaan pajak untuk meningkatkan rasio pajak agar tercapai pondasi perpajakan yang kuat. Tarif PPN 10% di Indonesia pun belum pernah berubah sejak pertama kali sistem PPN diperkenalkan pada 1984. Secara global, tarif PPN di Indonesia relatif lebih rendah dari rata rata dunia yang sebesr 15,4%.
Sedangkan kenaikan tarif PPN yang semula 11% menjadi 12% dapat menyebabkan inflasi tinggi. Inflasi yang cukup tinggi terjadi pada April 2022 ketika terjadi kenaikan PPN dari 10% menjadi 11%. Yang menyebabkan kenikan inflasi sebesar 0,95% dimana secara year on year mencapai 3,47%. Dampaknya  akan terjadi pada sektor makanan, minuman, dan tembakau, yang berkontribusi paling besar dalam menyebabkan inflasi pada tahun tersebut. Dengan naiknya tarif PPN, harga-harga di sektor makanan dan minuman akan terus naik, yang dapat memukul daya beli masyarakat menengah ke bawah. Maka masyarakat memangkas kebutuhan pengeluaran seperti kebutuhan makan dikarenakan harga kebutuhan pokok naik ditambah dengan adanya kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN). Apabila PPN dinaikkan, maka akan semakin mahal biaya bahan-bahan pokok yang lain, terlebih bagi mahasiswa yang belum berpenghasilan namun banyak kebutuhan yang diperlukan.
Meningkatnya inflasi, khususnya inflasi pangan, akan menurunkan daya beli masyarakat. Kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 1% dari 11 menjadi 12% akan mempengaruhi daya beli masyarakat dikarenakan kenaikan PPN yang terus meroket dalam biaya produksi dan konsumsi yang membuat daya beli masyarakat melemah. Apabila daya beli yang menurun, maka utilitas dan penjualan melemah sehingga kinerja keuangan ikut terdampak dan tenaga kerja. Akibat terjadinya penurunan daya beli masyarakat karena PPN yang meningkat berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah harus melihat ini sebagai sebuah kesempatan dengan bertumbuhnya golongan  menengah  ke  atas,  tentunya konsumsi   akan terus   naik   dan   akan berakibat pada peningkatan perokonomian  dengan  adanya  kenaikan tarif PPN. Diharapkan Indonesia  akan mengikuti  jejak  Denmark  (1967-1979),  Swedia  (1970-1977)  dan  Italia  (1976-1983)  yang  berhasil  menjaga pertumbuhan  ekonomi  lebih  dari  2.5%  pada  saat kenaikan tarif PPN.
Selain itu, Indonesia bisa berkaca pada pelaksanaan kenaikan terif di Jepang yang 4 (empat) prinsip (Keen, et.al, 2011):
1.Waktu harus tepat