Â
Beberawa waktu lalu, kita terkejut dengan pembekuan pengurus BEM FISIP sebuah Universitas Negeri terkemuka di Surabaya. Pembekuan itu dilakukan oleh dekanat fakultas setempat. Awalnya BEM menempatkan sebuah karangan bunga pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Karangan bunga ini berbentuk spanduk bingkai kayu yang memuat wajah Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dengan latar hitam bercorak merah disertai dengan beberapa tengkorak dan seekor laba-laba.
Karangan bunga itu bertuliskan:
"Selamat atas dilantiknya jenderal bengis pelanggar HAM dan Profesor IPK 2,3 sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang lahir dari rahim haram konstitusi".
"Jenderal TNI Prabowo Subianto Djojohadikusumo (Ketua Tim Mawar), Gibran Rakabuming Raka, B. SC (Admin Fufufafa).
"Dari: Mulyono (Bajingan penghancur demokrasi)."
Dekanat dan kemudian Rektor mempersoalkan diksi (pemilihan kata) kasar yang ada dalam karangan bunga itu. Â Menurut Dekan, kritik yang dijamin oleh demokrasi di indoensia boleh, namun harus dilakukan dengan baik dan santun. Apalagi diksi kasar itu ditujukan kepada dua orang yaitu presiden Indonesia saat ini dan mantan presiden, Joko Widodo.
Setelahnya terjadi polemic di masyarakat. Banyak yang mengecam, namun banyak juga yang memuji pembekuan itu. Namun kemudian pembekuan itu dicabut setelah dilakukan upaya mediasi antar keduanya. Dan persoalan dianggap selesai dan pengurus BEM aktif kembali berorganisasi.
Kita tahu dunia aktivisme mahasiswa Indonesia amat demokratis pada era reformasi. Kebebasan berpendapat dilindungi oleh undang-undang. Kebebasan berpendapat ini amat berpengaruh pada media massa dan mahasiswa. Banyak sekali media baru muncul dan mahasiswa bisa menyuarakan aspirasinya dengan berbagai kesempatan dan waktu. Kanal atau tempat menyampaikannya pun sangat beragam, mulai dari media massa mainstream, sampai media sosial yang menawarkan banyak sekali kebebasan tanpa adanya prosedur ketat seperti media massa. Malah di media sosial banyak orang kebabalasan dalam mengemukakan pendapatnya dibanding pada masa-masa lalu. Seperti inilah pergeseran kebebasan berpendapat yang bisa menciptakan aneka kebabalasan seperti yang terjadi di universitas tadi.
Kebebasan yang di awali keinginan untuk menjadi bangsa berdaulat sejatinya dimulai sejak era Sumpah Pemuda 1928. Pada momentum itu, pendahulu kita mendeklarasikan keinginannya untuk menjadi bangsa yang berdaulat. Jika itu terjadi maka kebebasan ada di tangan kita.
Tapi memang, saat kebebasan dan kedaulatan itu sudah ada dalam genggaman seperti sekarang ini, kita harus menjaga dan mengawalnya dengan baik, sesuai dengan semangat Sumpah Pemuda 1928. Jangan sampai kebablasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H