Mohon tunggu...
riska nuraini
riska nuraini Mohon Tunggu... Ahli Gizi - suka menolong orang

seorang yang senang membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jangan Menunggangi Kurikulum Merdeka

31 Juli 2022   22:45 Diperbarui: 31 Juli 2022   22:59 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada seorang teman bercerita kepada saya. Anaknya yang menginjak Sekolah Menengah Atas(SMA) bercerita padanya bahwa mereka yang mulai masuk ke kelas X (1 SMA) akan belajar dengan system baru yaitu kurikulum merdeka untuk menggantikan kurikulum 2013.

Ayahnya yang menginjak paruh baya, mendengar cerita itu dengan sedikit enggan, karena memang berulang kali Kementrian Pendidikan (dulu Namanya Dept P dan K ) melakukan pergantian kurikulum seiring bergantinya Menteri atau kabinet.

Namun jika kita cermati, kurikulum merdeka belajar memang agak (atau bahkan sangat) berbeda dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Kurikulum ini bertujuan untuk mengasah minat dan bakat anak sejak dini dengan berfokus pada materi esensial, pengembangan karakter dan kompetensi anak didik.

Kurikulum merdeka yang saat uji coba dinamakan kurikulum Prototipe untuk sekolah penggerak ini menurut Kementrian Pendidikan, Kebudayaan dan Ristek sudah diuji coba di 2.500 sekolah, dam saat ini sudah ada 143.265 sekolah yang sudah menggunakan kurikulum merdeka dan akan terus meningkat untuk diterapkan di seluruh TK,SD, SMP dan SMA.

Inti kurikulum merdeka selain menekankan pengembangan karakter, siswa dibebaskan untuk belajar apa yang menjadi minat dan bakatnya. 

Jika punya bakat seni maka sekolah akan memfasilitasi anak untuk belajar seni, enah itu seni tari, seni suara, ketrampilan kriya dll. Kurikulum ini menekankan strategi berlajar berbasis proyek yang dinamakan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan bersifat lintas mapel. Penjurusan yang sebelumnya ada di SMA tidak ada lagi.

Tentu saja hal ini layak kita apresiasi karena lebih mengedepankan apa yang bisa dilakukan anak sesuai dengan minat dan bakatnya. Anak tak lagi banyak belajar hal yang tidak disukainya.

Hal yang layak diwaspadai adalah kemungkinan faham selain Pancasila yang masuk ke sekolah atau siswa dengan dalih kemerdekaan belajar. 

Alih-alih sekelompok anak berminat mendalami agama sebagai salah satu hal positif untuk membangun karakter sesuai dengan kurikulum merdeka, namun yang terjadi mungkin adalah pengembangan faham transnasional. 

Hal ini sering terjadi di sekolah menengah pertama dimana siswa dan siswi masih dalam masa labil dan belum bisa mengindentifikasi keinginan atau dirinya sendiri.

Jika kemudian faham transnasional itu diperkenalkan (mungkin secara sembunyi-sembunyi) atas nama kurikulum merdeka, sang anak akan mengikutinya dan mungkin karakternya akan berubah. Dalam waktu 10-15 tahun, maka sang anak yang mungkin awalnya hanya intoleran, akan berubah menjadi radikal dan mungkin sangat dekat dengan terorisme.

Ini ironis. Alih-alih bertujuan memudahkan anak belajar sesuai keinginannya dengan kurikulum merdeka, namun ditunggangi beberapa oknum untuk memperkenalkan ideologi selain Pancasila.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun