Saat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Undang-undang Ibukota Negara (IKN) yang akhirnya dipilih nama Nusantara, perdebatan muncul di berbagai kalangan, baik dari kalangan akademisi bahasa dan sejarah, politikus sampai masyarakat kebanyakan.
Yang tidak kalah seru adalah penolakan dan polemik soal IKN dari kelompok radikal pro kekerasan yang tidak setuju baik soal ibukota baru yang dinilai pemborosan dan menghabiskan uang rakyat padahal ekonomi bangsa kita belum pulih akibat covid-19 yang memang sangat terasa dampaknya pada masyarakat.
Kelompok radikal pro kekerasan ini juga merambah soal narasi sektarian. Narasi-narasi sektarian ini cenderung memecahbelah dan mengadudomba dengan memberi pemaknaan yang salah kepada masyarakat. Â Mereka juga tak jarang memenggal kata atau kalimat sampai menghilangkan konteks sehingga jauh dari pemaknaan sebenarnya.
Meski tidak perlu diperdebatkan lagi soal penamaan IKN dengan Nusantara, mungkin kita bisa mengingat kembali makna Nusantara bagi masyarakat Indonesia sehingga pemerintah memilih nama itu. Sejatinya  Nusantara ingin mengembalikan mentalitas bangsa ini sebagai bangsa yang unggul dan jaya yang dibangun oleh persatuan dalam keragaman
Istilah Nusantara sejatinya mulai terdengar sejak zaman Singasari pada tahun 1275. Kata lain yang identik dengan itu adalah Dwipantara dalam konsep Cakrawala mandala Dwipantara. Kita bersama tahu bahwa Dwipa artinya pulau dan antara artinya di luar. Frasa ini serupa dengan definisi nusantara yaitu Nusa yang artinya pulau dan antara berarti di luar. Dwipantara dan Nusantara diartikan sebagai kepulauan di tanah seberang.
Konsep ini diserap oleh Raja Kertanegara untuk mempersatukan beberapaka kerajaan di tanah seberang di bawah Singasari untuk mencegah intervensi dari bangsa Mongol saat itu yang diketahui berasal dari Dinasti Yuan China. Dengan kata lain konsep Nusantara atau Dwipantara dipakai oleh raja Singasari untuk menyatukan Jawa dan dan Dwipantara untuk melawan ancaman itu.
Hal itu terjadi dan meski awalnya konsep itu dianggap sebagai upaya penaklukan militer pada akhirnya Cakrawala Mandala Dwipantara merupakan upaya-upaya diplomatik antara Singasari dan kerajaan-kerajaan sekitar seperti kerajaan Melayu.
Pada masa Majapahit , Nusantara juga dipakai karena Majapahit berhasil menguasasi Jawa, Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Melayu, Nusa tenggara, bali, Sulawesi dan Papua.
Awal abad 20, Ki Hajar Dewantara kembali memperdengarkan istilah Nusantara setelah politik etis diberlakukan dan sebutan untuk Indonesia pada masa itu adalah Indi atau Hindia atau Indies. Sebutan Indies atau bahkan hindia Belanda tidak membuat Ki Hajar Dewantara nyaman. Dia memilih menyebut bangsa dan negara dengan Nusantara sebagai alternatif penyebutan Hindia Belanda. Nusantara ala Ki Hajar Dewantara tidak merujuk pada Nusantara sebagai pulau-pulau terluar pulau Jawa.
Dari runutan sejarah itu, Nusantara telah mengalami perubahan makna mulai dari pulau-pulau terluar yang hendak ditaklukkan sampai wilayah yang terdiri dari kepulauan yang dipersatukan dan mempersatukan.
Saya sendiri bisa paham kenapa Pemerintah Indonesia saat ini memilih Nusantara, yaitu karena ingin melestarikan Nusantara sehingga tidak dilupakan oleh generasi masa yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H