Beberapa hari yang lalu seorang sahabat menulis status di jejaring sosial Facebook bahwa titel "haji" diberikan oleh kolonial Belanda untuk bangsa pribumi yang lantang menyuarakan perlawanan terhadap penjajahan. Lalu saya mencari informasi di internet mengenai fakta menarik tersebut. Dan berikut ini beberapa hasil temuan saya dari sumber ini dan ini.
Gelar “haji” atau “hajah” untuk orang yang sudah menunaikan ibadah haji hanya ditemui di Indonesia. Pada masa Rasulullah dan para sahabat, tidak ada pemberian gelar tersebut kepada yang bersangkutan. Lalu dari manakah asal penahbisan gelar tersebut?
Joko Prihatmoko, peneliti muda Nahdlatul Ulama (NU) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Wahid Hasyim, Semarang, sekaligus Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Indonesia (LPPI) menyatakan bahwa gelar haji merupakan identifikasi dari pemerintah kolonial Belanda. Pada zaman penjajahan Belanda, pergerakan da’wah umat Muslim sangat dibatasi karena dikhawatirkan akan menimbulkan rasa persaudaraan dan persatuan yang pada akhirnya memicu pemberontakan. Oleh karena itu setiap jenis peribadatan dibatasi, termasuk ibadah haji. Apalagi mayoritas orang yang pulang dari berhaji akan melakukan gerakan perubahan. Misalnya, Muhammad Darwis setelah pulang berhaji mendirikan Muhammadiyah, Hasyim Asyari pulang dari berhaji mendirikan Nahdlatul Ulama, Samanhudi yang mendirikan Sarekat Dagang Indonesia, dan Cokroaminoto mendirikan Sarekat Islam. Maka untuk mengawasi aktivitas para ulama ini, Belanda menetapkan Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903 bahwa setiap orang yang telah kembali ke tanah air dari menunaikan ibadah haji harus diberi gelar "haji" di depan namanya. Dengan demikian, jika terjadi pemberontakan, Pemerintah kolonial akan mudah mencari orang tersebut.
Menyambung dengan momentum Pilpres 2014, kedua kandidat presiden alhamdulillah telah melaksanakan ibadah haji. Bahkan foto salah satu capres saat melaksanakan ibadah haji diunggah dan disebar di internet untuk menangkis isu bahwa capres tersebut nonmuslim.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang religius. Agama masih menjadi pertimbangan dalam memilih pemimpin. Maka tidak heran dalam mengambil simpati publik, kandidat yang berkompetisi berupaya merangkul simpul-simpul agama.
Kedekatan Prabowo dengan para ulama dalam momentum Pilpres 2014 ini bukan hal yang baru. Prabowo sejak tahun 1998an telah memiliki kedekatan dengan kalangan Islam. Prabowo dikenal memiliki citra sebagai ABRI “hijau”, yaitu kalangan ABRI yang religius. Ia juga kerap menyambangi kediaman tokoh Islam, seperti M. Natsir. Di dalam pertemuan diskusi para cendekiawan politik-ekonomi, Prabowo pernah mengeluarkan pernyataan kontroversial berupa pembelaan terhadap masyarakat muslim Indonesia yang mayoritas namun diperlakukan diskriminatif. Dari sejak saat itu Prabowo dicap sebagai antiminoritas, terutama anti Cina. Akan tetapi cap tersebut dibantah dengan pencalonan Ahok sebagai Wagub DKI dari Partai Gerindra.
Saat Prabowo menerima tuduhan seputar lengsernya Presiden Soeharto dan dicopot dari militer, ia mendapatkan naungan dari para sahabatnya di dunia Islam. Prabowo pergi ke Jordania dan mendapat perlindungan Pangeran Abdullah. Karena keberpihakannya pada Islam, saat pada tokoh Islam memprakarsai pendirian Partai Bulan Bintang tahun 1998, Prabowo mengulurkan bantuan finansial untuk dana awal sosialisasi partai tersebut.
Melihat kedekatan yang dibangun Prabowo dengan para tokoh Islam, tidak heran kalau para ulama besar, salah satunya Aa Gym, pada Pilpres kali ini secara terang menyatakan dukungan kepada salah satu pasangan kandidat, yaitu Prabowo-Hatta. Aa Gym menyatakan bahwa Prabowo terang-terangan membela Islam. Ia perwira militer yang tak rela melihat umat Islam dipinggirkan. Karena alasan tersebut, ia mendukung Prabowo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H