"Apakah kita akan melatih anak-anak kita untuk menjadi pemimpin hebat seperti Rajawali yang matanya tajam dan mampu terbang tinggi, atau menjadikan mereka burung dara yang indah, yang sayapnya terjahit" (Rhenald Kasali)
Tulisan di atas adalah salah satu bagian dari artikel yang berjudul "Jangan Latih Anak-Anak Dijemput KBRI" yang ditulis oleh Prof. Rhenald Kasali dalam Kompas.com. Artikel itu berisi tentang respon orangtua dalam program Sang Profesor yang mewajibkan mahasiswanya untuk melakukan perjalanan ke luar negeri, sendirian, dan tidak menggunakan bahasa melayu. Pro-kontra pun terjadi. Ada orangtua yang mendukung program ini. Akan tetapi ada juga yang menentang program ini. Salah satu alasannya adalah takut anaknya tersasar di negara orang.
Cerita tersebut merupakan salah satu dari sekian banyaknya kasus yang menggambarkan rasa cinta orangtua kepada anaknya. Rasa cinta yang besar itu kadang terlalu melindungi sehingga anaknya tidak dapat melompat atau terbang lebih tinggi meraih cita-cita. Orangtua melindungi anaknya sehingga menjadi steril, sehingga tidak berani menerima tantangan. Enggan melakukan perubahan. Tidak dapat mengambil keputusan bahkan keputusan yang menyangkut diri mereka sendiri. Bahkan yang lebih celakanya lagi mereka tidak bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Â Padahal di dunia ini sungguh banyak aneka ragam pilihan. Pilihan itu akan berpengaruh terhadap pilihan yang lain, seperti cabang pohon yang lambat laun menghasilkan bunga kemudian buah. Contoh dalam kehidupan sehari-hari adalah berapa banyak anak yang bingung ketika harus memilih jurusan IPA atau IPS?. Setelah itu berapa banyak anak yang bingung memilih jurusan perkuliahan?. Bahkan menurut penelitian Indonesia Career Center Network (2017) menyatakan sebanyak 87% mahasiswa Indonsia salah memilih jurusan. Mengapa hal itu dapat terjadi padahal mereka yang menjalani kehidupannya sendiri, menikmati proses belajarnya, dan seharusnya mengetahui minat, bakat dan kemampuannya sendiri.
Hidup adalah proses perubahan
Seiring dengan perkembangan zaman dan berjalannya waktu. Banyak hal yang telah berubah. Pada generasi 90-an kita tentu masih ingat bahwa televisi, telepon, radio adalah alat telekomunikasi yang cukup digandrungi pada masanya. Berbeda dengan sekarang dimana alat telekomunikasi sudah banyak ragam dan variasinya. Â Zaman sekarang informasi dapat dengan mudah diakses dengan hanya sekali klik atau memencet tombol gadget. Generasi yang lahir diatas tahun 2000, dinamakan juga Generasi C (Gen-C). Generasi C disebut demikian karena huruf C mewakili mereka yang "always clicking, connected, communicating, contac-centric, computerized, dan community-centric" (Fitrah Based Education: 112). Berbagai penemuan baru dan tentu saja akan berpengaruh terhadap generasi yang akan datang. Seolah-olah akan menggerus mereka yang tidak punya nilai atau prinsip yang dipegang. Maka hal pertama yang harus dipersiapkan orangtua adalah pondasi keimanan dan ketakwaan.
Pondasi keimanan dan ketakwaan
Setiap anak lahir dalam keadaan telah terinstal fitrah keimanan, setiap manusia pernah bersaksi bahwa Allah sebagai Robb (kholiqon yaitu Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara, roziqon yaitu Allah sebagai Pemberi Rizki, dan malikan yaitu Allah sebagai Pemilik). Tidak ada anak yang tidak cinta Tuhan dan Kebenaran kecuali disimpangkan dan dikubur oleh pendidikan salah dan gegabah (Fitrah Based Education:42). Â Fitrah keimanan inilah yang melingkupi semua fitrah lainnya seperti fitrah bakat, fitrah belajar, fitrah kepemimpinan, fitrah perkembangan sehingga disempurnakan menjadi mulia. Fitrah keimanan yang menyempurnakan fitrah lainnya sehingga mulia inilah yang kita kenal dengan akhlakul karimah (Fitrah Based Education: 160).
Proses menanamkan pondasi keimanan ini dapat dilakukan sejak anak baru lahir. Orangtua dapat mengenalkan imaji positif tentang sang Pencipta. Melalui cerita, membacakan buku tentang agama/ cerita nabi/sahabat/ kisah-kisah teladan, bahkan mengenalkan Allah dalam kehidupan sehari-hari. Setelah itu orangtua dapat mengenalkan agama melalui contoh kongkrit yaitu memberikan keteladanan dan mengajarkan anak untuk beribadah seperti sholat, membaca Al-Quran, berpuasa, zakat dsb. Sehingga anak akan terbiasa untuk beribadah sejak dini dan akan terus berlanjut sampai dewasa.Â
Cinta Yang Berpikir
A-thinking love- Cinta yang berpikir. Kenapa perlu predikat "berpikir" untuk melengkapi "cinta"? sebab cinta saja ternyata tidak cukup. Memang modal awal untuk menjadi orangtua yang baik adalah rasa cinta yang mendalam bagi anak-anak. Akan tetapi, dalam hal mengasuh anak, cinta harus dilengkapi dengan pengetahuan. (Charlotte Mansion)
Setiap orangtua pasti mencintai anaknya namun kadang rasa cinta yang berlebihan akan mengalahkan logikanya jika tidak mempunyai pengetahuan. Seringkali kita temukan orangtua yang karena rasa cintanya sehingga melindungi anaknya secara berlebihan melalui berbagai larangan. Contoh yang paling sederhana adalah ketika anak ingin membantu pekerjaan rumah, seperti menyapu atau mengepel lantai. Orangtua melarangnya, padahal itu adalah stimulasi yang baik bagi motorik dan sensoriknya. Selain itu anak punya niat yang baik untuk membantu. Hal itu tentu saja akan membuat dia kecewa dan tidak mau membantu lagi. Contoh yang lain adalah orangtua kadang tidak tega untuk melihat anaknya berjalan jauh, kepanasan, hujan-hujanan, main pasir padahal hal itu tidak masalah jika anak-anak tidak merasa sakit atau lelah. Â Biarkanlah anak-anak untuk berkreasi.