Mohon tunggu...
Risdo Simangunsong
Risdo Simangunsong Mohon Tunggu... -

Lahir di Sumatera Utara, Menuntut ilmu dan mengejar panggilan hidup di kota Bandung. Laki-laki yang garing dan nyentrik, sesekali suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pemahaman tentang Pembinaan Praksis bagi Kaum Pergerakan Indonesia

11 Agustus 2012   08:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:56 2257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kita memang butuh praksis, tapi tunggu dulu apa yang kamu maksud dengan 'praksis'?"

"Tergantung juga dengan apa yang kamu maksud dengan 'butuh'?

(Dari pembicaraan dua teman mahasiswa, saat mulai berdiskusi soal pembinaan praksis)

Kata ‘praksis’ memang sering diidentikkan dengan tradisi pemikiran kaum Kiri. Hal inilah yang membuat konsep ini agak segan digunakan dalam uraian-uraian umum, walhasil kurang dikenal secara luas. Masyarakat awam (khususnya di Indonesia) sering mengira praksis itu sama dengan padanan lemahnya ‘praktis’, dimana yang terakhir ini sering lebih dikonotasikan sebagai hal yang tidak ribet-ribet berteori, yang penting dapat diterapkan dan manjur di tataran praktik.

Pengertian seperti itu tentu saja menyesatkan. Meski memang benar konsep pemikiran praksis sangat menekankan kesahihan penerapan di lapangan kenyataan (bahkan awalnya kata ‘praktis/praktikal’ pun sering dipakai untuk menggambarkan ‘praksis’), namun jelas keliru jika praksisme dianggap tidak didasarkan pada teori yang mendalam, apalagi jika akhirnya kita menyamakan praksis dengan pragmatis.

Maka ada baiknya sebelum beranjak langkah ke pemikiran tentang pembinaan praksis, kita menggali kembali perkembangan pemaknaan akan istilah praksis, guna memantapkan pijakan pemahaman kita.

1. 1. Perkembangan Pemaknaan Praksis

Penjelasan lugas tentang kata Yunani πράξις (baca: praxis) – yang merupakan asal istilah praksis ini – sudah digagas oleh Aristoteles (384-322 SM). Guru filsafatnya Iskandar Agung ini mendefenisikan praxis sebagai kegiatan yang dilakukan oleh orang yang merdeka. Ia lantas mengkategorikan praxis sebagai kegiatan yang tujuannya adalah aksi nyata (untuk membedakan dengan theoria, yang tujuannya adalah kebenarandan poiesis, yang tujuannya adalah produk) [1]. Praxis pun dapat dimaknai sebagai sintesis sekaligus awal tesis baru bagi interaksi antara theoria dan poiesis, jika kita boleh berandai-andai Hegel meminjamkan konsep dialektikanya pada pemahaman Aristoteles ini.

Sumbangsih pembedaan antara poiesis – karya yang produknya langsung terasa/terlihat, dengan theoria – karya yang lebih kontemplatif (dalam term khas Latin vita activa vs vita contemplativa) juga datang dari para Doktor Gereja Barat, St. Agustinus (354-430 M) dan St. Thomas Aquinas (1225-1274 M) [2]. Sayang penekanan yang berlebihan pada vita contemplativa dan penyempitan maknanya menjadi hanya sekedar perenungan keagamaan, membuat Gereja Barat Abad Pertengahan akhirnya terjebak di awang-awang mistikanya theoria-nya sendiri untuk akhirnya digeser ke dalam posisi ekstrim lain (penekanan vita activa) selepas Reformasi Protestan – yang dalam kacamata Weber memberi etika baru dengan menekankan karya poiesis [3].

Eropa Barat pun sekian lama kehilangan konsep praksis dalam beriman. Padahal dalam tradisi Gereja Timur, kedua karya tadi telah disintesiskan dalam konsep praksis ortodoks, yaitu pengejewantahan ajaran gereja dalam karya sehari-hari dan kegiatan religius dengan memandang ketiganya sebagai satu kesatuan yang utuh (dibahasakan secara lugas oleh diktum St.Maximus: “teologi tanpa tindakan, pada hakikatnya adalah teologi dari setan.”) [4]. Meski di Kekristenan Timur penekanan terhadap kegiatan religius akhirnya juga sangat terasa (semisal banyaknya yang mengejar kehidupan membiara), demikian pula perkembangan pemikiran selepas perpisahan dengan Gereja Barat (1054 M) hampir tidak ada lagi, namun setidaknya Gereja Timur tidak mengidap skizofrenia rohani dengan membeda-bedakan derajat maupun entitas antara ajaran gereja teoritis dengan praktik sehari-hari seseorang selaku umat gereja.

Apa yang terjadi dalam tradisi Kristiani soal perbedaan penekanan poiesis dan theoria, serta ada tidaknya konsep praxis sebagai sintesisnya (secara kasar terlihat dalam perbedaan penekanan antara mazhab Protestan, Katolik Roma dan Ortodoks Timur), kiranya juga terjadi dalam agama-agama lainnya. Tradisi agama Timur umumnya mengenal konsep praxis dalam pengertianya sebagai kesatuan dan pergulatan sinambung antara ajaran dan praktik, meski bukan dalam formula yang lugas, sebab nyaris tidak ada kritik terhadap ajaran. Pemahaman tradisi Timur soal keseimbangan dan harmoni (misal Yin-Yang dalam tradisi Cina) pada hakikatnya adalah tindakan ‘praksisyang tersembunyi’ [5]. Sementara Islam di awal perkembangannya sampai Era Empat Imam Besar masih sangat menekankan poiesis. Ajaran-ajaran Islam di masa itu terutama sekali menekankan perbuatan dan produk nyatanya. Meski demikian dalam merumuskan bagaimana seseorang berbuat, para ulama sering kali berusaha membaca kenyataan dan mencari analoginya pada Kitab Suci dan Hadits/Sunnah Rasul dengan metode itjihad sedangkan hasilnya masih boleh dipertentangkan dengan hasil itjihad lain yang dianggap sahih (jadi boleh dikatakan sebagai orientasi poiesis yang agak praxis meski kegiatannya hanya terbatas pada kaum elit, yaitu ulama/orang yang dinilai mampu) [6]. Selepas perkenalan dengan filsafat Yunani (terutama Aristoteles yang diperkenalkan oleh al-Kindi 801-873 M), dalam keislaman ilmu pengetahuan pun mulai berkembang dan menjalani banyak aspek praksis. Namun hampir dapat dikatakan kegiatan praksis dalam ajaran pokok agama adalah hal yang tabu. Agaknya hampir semua pemikir besar Islam mengambil sikap bahwa Kitab Suci dan Hadits/Sunnah Rasul adalah theoria yang agung dan tidak boleh diutak-atik dalam tindakan praksis, sedangkan theoria yang lain silahkan saja (bahkan harus) dipraksiskan sehingga menjadi ilmu yang islami [7].

Minggat dari tafsiran agamawi, Karl Marx (1818-1883) juga memberi sumbangsih soal praksis sebagai tindakan politis-ekonomis. Sosiolog Antonio Labriola memang menyebut Filsafat Ekonomi-Politik Marx sebagai filsafat praksis, ini ditunjukkan lewat sindiran Marx untuk teolog Feuerbach:”Para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan berbagai cara, padahal yang paling penting adalah mengubah dunia.” [8] Walhasil sejak saat itu praksis sering dimaknai sebagai tindakan politis-ekonomis yang memberi perubahan nyata. Suatu perjuangan kelas untuk pembebasan. Di Indonesia tafsiran seperti inilah yang sering malah kebablasan dimaknai oleh kaum pergerakan (mahasiswa dan buruh), dengan menganggap hanya tindakan ekonomis dan politis-lah (dalam pengertian sempitnya) yang layak disebut sebagai kegiatan ber-praksis sehingga menganggap rendah kegiatan berdiskusi/berwacana yang cenderung dicap teoritis [9].

Sumbangan lebih anyar dan mumpuni tentang praksis memang datang dari penerus sekaligus kritikus tradisi Marxian. Untuk kesempatan kali ini, cukuplah kita catatkan dua tokoh sosial-politik, Juergen Habermas (1929 - …) dan Hannah Arendt (1906-1975) serta satu tokoh pendidikan, Paulo Freire (1921-1997).

Dalam pengertian Habermas ada kritik terhadap konsep praksis Marxian yang belakangan sering jadi terlalu mengarah pada kerja poiesis politik-ekonomi. Bagi Habermas praksis adalah tindakan komunikatif. Dalam tindakan komunikatif inilah, individu menjadi obyek aktif dari perubahan sosial [10]. Jadi dalam pengertian ini, bolehlah dikatakan bahwa alm. Nurcholish Madjid (1939-2005), misalnya, adalah juga tokoh yang ber-praksis. Karena meski hampir seluruh karyanya hanya ada di tataran wacana (entah tulisan, diskusi, ceramah, dll.) namun itu bukanlah wacana mengawang theoria semata. Jelas sekali diakui pembacaannya atas kenyataan dan sumbangsihnya bagi perubahan cara pandang kaum Islam Indonesia. Hal yang sama tentu dapat pula disematkan pada Marx bukan? Sebab Marx pun seringnya berwacana, ia bukanlah Lenin, Mao atau Che, yang berwacana sekaligus memimpin revolusi.

Arendt nampaknya ingin mengembalikan simpanan pengertian praksis Aristotelian beserta bunganya. Dalam The Human Condition, filsuf perempuan ini berpendapat bahwa kapasitas kita untuk terlibat aktif dalam praksis, yaitu kegiatan menganalisis ide-ide sekaligus bergelut nyata dengan ide-ide tersebut, adalah hal unik yang membedakan manusia dari makhluk lain. Karenanya Arendt menyebut praksis sebagai tingkatan tertinggi dan terpenting dalam tindak-hidup manusia [11].

Sementara itu Freire, tokoh revolusi pendidikan Amerika Selatan yang juga telah mengerjakan praktik pendidikan, mendefenisikan praksis sebagai “refleksi sekaligus tindakan nyata terhadap dunia dalam rangka mengubahnya”. Bagi Freire pemisahan antara refleksi dan tindakan, dengan penekanan yang satu dan pengorbanan yang lain, bukanlah perjuangan, bukan pula pendidikan (pembinaan). Pemisahan itu hanya akan menghasilkan verbalisme yang bermuara slogan di satu sisi (mengorbankan tindakan), atau aktivisme yang bermuara rentetan program kerja di sisi ekstrim lain (mengrobankan refleksi). Lebih lanjut Freire memberi contoh bahwa ‘kata’ adalah sampel yang tepat untuk sebuah praksis. Tidak pernah ada kata sejati yang bukan merupakan hasil sintesis antara refleksi dan tindakan [12].

Dari beberapa perkembangan pemahaman tadi dapatlah kita menyimpulkan bahwa praksis adalah suatu tindakan dengan kualitas-kualitas: (1) kemerdekaan pelakunya, (2) kesatuan dan sintesis utuh antara pengetahuan teori dan praktik, ini mengandung makna pengetahuan adalah sekaligus keterlibatan, (3) berpijak dari kenyataan dan pembacaan dunia pelakunya, (4) menghasilkan kerja nyata yang mengubah dan refleksi yang tajam membaca dunia, (5) bersifat komunikatif, tidak pernah satu arah, dan (6) bersifat dialektis sinambung antara pengerjaan dan refleksi.

2.2. Praksis Sebagai Bentuk Pembinaan

Pengertian tadi agaknya lebih mengena pada apa yang kita maksudkan, saat membahas pembinaan praksis. Kesatuan utuh antara refleksi dengan tindakan nyata terhadap dunia, itulah yang kita harapkan terjadi dalam pembinaan. Orang yang mengalami pembinaan memperoleh pengetahuan dalam keterlibatannya dengan dunia, yaitu dengan membaca sekaligus berusaha mengubah dunianya. Kerja perenungannya mengarah pada upaya nyata, dan kerjanya di upaya nyata mengarah pada pembaruan perenungannya. Ini bukanlah pembinaan dengan menjejal-diktekan banyak-banyak pengetahuan asing, bukan pula pembinaan dengan menyuruh-arahkan untuk melakukan ini-itu kerja asing. Tapi pembinaan dengan pembacaan (refleksi) atas dunia kita sendiri dan upaya yang muncul secara mandiri – sebagai hasil pembacaan tadi – untuk mengubah dunia kita, lantas perubahan tadi akan memberikan pembacaan yang baru.

Tentu saja acuan yang digunakan sebagai dasar refleksi dan tindakan nyata-nya bisa beragam, serta menghasilkan pembacaan dan pengubahan dunia yang juga beragam. Freire nampaknya berpijak dari humanisme Marxis dalam latar ajaran Kristiani (sebagaimana lazim kita temui pada penganut Teologi Pembebasan), tapi itu tentu bukan satu-satunya pilihan. Mungkin saja titik pijakan yang berbeda pada akhirnya menghasilkan pembacaan dan pengubahan yang bisa bekerja sama. Tapi metodologi praksis itu sendiri harus diejawantahkan terlebih dahulu agar kita bisa menemui sintesis antar berbagai pijakan.

3.3.Permasalahan Pembinaan Praksis bagi Kaum Pergerakan Indonesia

Permasalahan kita sekarang, terutama kaum pergerakan Indonesia, pembinaan praksis yang sedemikian memang minim. Hampir tidak dijumpai dalam pergerakan yang berbasis pendidikan, tidak dalam pergerakan yang berbasis agama, tidak juga dalam basis nasionalis dan sosialis ataupun kesenian kita. Pendidikan kita kebanyakan masih menganut sistem, yang dalam term Freire disebut sebagai “pendidikan gaya bank”, yang ricuh menjejejalkan ‘ilmu’ pada nara-didik agar bisa menjadi mesin penjawab soal yang ulung. Pergerakan keagamaan pun kini cenderung pragmatis dan verbalistik, semakin tak tahu malu dengan slogan-slogannya mengkafirkan banyak kerja pemikiran kritis. Sementara kaum nasionalis dan sosialis sering hanya berkutat di poiesis (aktivisme, kalau dalam istilah Freire) ekonomi-politik, tanpa wacana, tanpa dasar teori tapi terus bergerak atau malah sibuk dengan eksperimen pemikiran yang tidak bisa membaca kenyataan. Kesenian? Kita mungkin bingung mana yang layak disebut sebagai pergerakan kesenian di negeri ini. (Meski kita harus mengakui tanpa pesisimisme bahwa di beberapa elemen pergerakan tadi memang sudah ada yang ber-praksis).

Sistem yang sudah sangat terbiasa dengan gaya pembinaan non-praksis memang akan limbung saat mulai mencoba ber-praksis. Ada halangan budaya dan halangan kekuasaan yang harus dilalui oleh perjuangan, saat kita mulai menggagas pembinaan praksis. Namun demikian, halangan itu tidak boleh dihadapi dengan cara-cara non praksis oleh para pejuang pembinaan praksis, sebab hal tersebut adalah pengkhianatan terhadap praksis itu sendiri. (Prinsip ini mungkin tidak selalu bersetuju dengan pandangan kaum revolusioner, yang mengutamakan perubahan, namun akan dibahas lebih lanjut di kesempatan lain).

Lantas bagaimana mengubah pembinaan non-praksis dalam kaum pergerakan kita bisa diubah menjadi praksis yang mumpuni? Agaknya kita perlu mulai membaca-ubah dunia kita kini saat kita mulai mencoba untuk menjawab dan mengerjakan jawabannya.

Catatan Akhir:

[1] Aristotle (2004) The Nicomachean Ethics. Trans. J. A. K. Thomson, London: Penguin hal: 207-209

[2] Dalam Suma Tehologia, St. Thomas Aquinas meneruskan pembedaan antara vita contemplativa dan vita activa ala St. Agustinus. Dalam beberapa artikel, jelas sekali Doktor Gereja ini kendati menghargai hidup yang sifatnya kerja aktif, namun tetap menanggap hidup kontemplasi berada di atas hidup kerja aktif.

[3] Weber, Max (2002) "The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism" translated by Peter Baehr and Gordon C. Wells. London: Penguin Books. Hal 14-15

[4] Lihat Koleksi Edinburgh (2010): Mission among Other Faiths: An Orthodox Perspective

[5] Lihat Palmquist, Stephen (2007) Pohon Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bab IV dan V

[6] Lihat misalnya Maulana Muhammad Ali (1996) Islamologi. Jakarta: DK Islamiyah, Bab 3

[7] Lihat misalnya Badri Yatim (1996) Sejarah Peradaban Islam II. Jakarta Raja Grafindo Persada,hal 56-57 atau Montgomery Watt (1987) Sejarah Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam. Jakarta: P3M, hal 54-113.

[8] Marx, Karl (1845) Theses on Feurbach: XI dalam marxist.org

[9] Lihat misalnya Firdaus Putra A. (2008). Praksis – Praxis? dalam Mengintipdunia.blogspot.com

[10] Habermas, J. (1973). Theory and Practice. trans. J. Viertel, Boston, MA.: Beacon Press/ Cambridge: Polity Press. Bab 7

[11] Arendt, Hannah (1958) The Human Condition hal 97:, dalam Women-philosophers.com.

[12] Freire, P (2008). Pendidikan Kaum terindas. Terj Tim LP3ES, Jakarta: LP3ES. Bab 3.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun