Mohon tunggu...
Risdo Simangunsong
Risdo Simangunsong Mohon Tunggu... -

Lahir di Sumatera Utara, Menuntut ilmu dan mengejar panggilan hidup di kota Bandung. Laki-laki yang garing dan nyentrik, sesekali suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cobalah Urai Kesalahpahaman (Bagi Umat Al-Masih dan Umat Islam)

19 November 2010   20:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:27 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1.       Arah Penyembahan pada Ilah Yang Sama.

Saat ini setidaknya ada empat agama yang masih bisa ditelisik asal-usulnya berpangkal ke tokoh besar bernama Avram/Avraham (sebutlah beliau dengan Ibrahim atau Abraham, jika Anda lebih menyukai demikian) : Yudaisme, Kaum Samaria (jarang terdengar namun masih ada, saat ini jumlah umatnya kira-kira 6000 orang), Umat Al-Masih, dan Agama Islam. Keempatnya mengaku menyembah satu Sosok Ilah, yang disembah oleh sang Bapak bangsa-bangsa itu. Tapi yang aneh bin ajaib keempatnya, terutama dua yang disebut terakhir merasa yang Ilah disembah saudaranya bukanlah Ilah-nya. Serasa segala bukti di alam raya ini telah membantunya menuding kesesatan saudara rohaninya itu.

Saya hampir selalu tertawa saat mulai bertanya pada rekan-rekan pengikut Al-Masih, “Samakah Ilah yang kita sembah dengan yang pengikut Nabi Muhammad sembah?”

“Beda,” umumnya mereka menjawab begitu.

Saya mulai mereka-reka rajutan logika mereka yang tentu tak luput dari praduga dan prasangka.

“Lho kenapa beda?”

Muncul jawaban yang paling umum dan aman, “Kan beda agama dengan mereka.”

“Mmmm... berarti dengan Yahudi juga beda donk Ilah yang kita sembah?”

Pertanyaan ini selalu membuat umat kristiani di Indonesia berpikir-pikir dulu sebelum menjawab. Ada yang menjawab beda, namun akhirnya bingung saat diperhadapkan pada kenyataan seumur hidup Al-Masih dan keduabelas murid tetaplah beragama Yahudi. Ada yang menjawab sama, namun akhirnya bingung saat dituntut keadilan sikapnya lewat pertanyaan, “Lantas kenapa dengan Islam berbeda?”

Muncul pula jawaban lain, “Kan mereka gak mengakui Yesus Kristus”

Wow... Al Quran, kitab pegangan para pengikut Nabi Muhammad, bahkan berkali-kali mengupas kisah hidup dan ajaran Isa Al-Masih, semua dengan sikap hormat, hampir semua paralel dengan kisah Injil. Yahudi? Mengakui dalam pembicaraan pun tidak. Harusnya lebih mirip dengan Islam donk?

Ada jawaban khas Kristen Barat, “Mereka tidak mengakui Trinitas, jadi pasti beda Allah yang kita sembah”

Kalau jawabannya ini, tentu Yudaisme dan Kaum Samaria juga menyembah Ilah yang berbeda dengan orang Kristen. Wah... kasihan juga orang Kristen ya, dari empat bersaudara, cuma sendirian. Anak tiri ceritanya, hehe.

Paling sering muncul jawaban pamungkas, “Gak perlu disama-samain lah yang penting kita percaya yang diajarkan Alkitab saja, ikut Yesus titik.”

Berhubung sudah disudahi dengan “titik” maka setiap kalimat argumentasi baru akan menjadi permulaan perang yang akan dibombardir dengan kata “titik” berikutnya, atau setidaknya kata-kata lain yang sejenis dengan “titik,” terkadang berasal dari jenis yang lebih kasar.

Saat bertanya kepada umat Islam tentang pertanyaan ini jawabannya biasanya terkotak, yang pertama terbilang rada panas:

“Tidak sama. Kami tidak menyembah manusia. Tuhan kami tidak beranak dan tidak diperanakkan. Kita Suci kami juga tidak diplasukan.”

Saya tidak berani bertanya soal Yahudi kepada orang menjawab seperti ini. Berhubung saya berdoa dengan sikap rukuk dan sujud serta mengadahkan tangan, berhubung saya terkadang lupa cukur jenggot, saya takut mereka mengira saya beragama Yahudi. Bisa-bisa saya dibenci sebagai penyerobot tanah saudara seagamanya. Meski saya beri tahu mereka Neturei Katta, mahzab Yahudi paling orthodoks, tidak setuju Zionisme. Meski saya beritahu kalau di Palestina ada banyak juga umat Al-Masih.

Namun ada jawaban yang lebih teduh:

“Sama, hanya saja umat Nasrani dan Yahudi sudah melenceng dari ajaran kitab sucinya. Islam ada untuk mengoreksi hal tersebut.”

Nah, untuk yang menjawab seperti ini saya mungkin bisa berdiskusi lebih jauh. Setidaknya dari satu kesamaan kita bisa mencari banyak kesamaan, kalaupun gagal setidaknya kita telah belajar bekerja sama.

Dalam hati saya sering membayang-bayang. Apa kira-kira tanggapan Nabi Ibrahim jika melihat anak-anak jasmani dan anak-anak rohaninya ini? Kaum yang berpikiran sempit mungkin mengira nenek moyang rohani kita itu hanya miliknya dan saat ini hanya hak-nya, hanya melihat ke arah mereka. Hanya mengakui turunannya semata mereka. Barangkali mereka sudah mengurung Nabi Ibrahim dalam sel tahanan buatan pikiran mereka. Hal yang bahkan tidak bisa dilakukan oleh raja-raja lalim sejamannya. Selamat! Anda lebih jago dari Kedorlaomer, anda lebih hebat dari Raja Kaum Sodom dan Gomorah. Anda berhasil memenjarakan Bapak Empat Agama (lima kalau masih mau menghitung Kaum Hanif pra-Muhammad, enam kalau Ahmadiyah dianggap agama berbeda, sembilan kalau Saksi Yehowa dan Mormon dianggap agama lain lagi, hehe).

Saya kemudian berpikir lagi, Ilah yang disembah sang Nabi ini kira-kira menanggapinya seperti apa? Ilah ini yang diseru dengan 99 Nama Utama oleh Umat Islam, 72 Gelar Khas oleh Umat Yahudi, entah berapa sebutan dalam ritual Samaria (karena saya belum terlalu tahu apalagi menghitung) dan entah berapa seruan dalam Umat Al-Masih (karena kebanyakan dan kadang-kadang terlalu kreatif memberi seruan baru, apalagi kemudian diterjemahkan ke berbagai bahasa). Ilah ini dihayati dengan berbagai pengajaran yang berbeda, lantas apakah perbedaan pengajaran itu telah mengoyak-ngoyak Pribadi-Nya? Atau haruskah IA hanya menoleh pada doa satu sekte pengajaran saja? Wah... setelah Nabi Ibrahim selesai dipenjara, apa mereka juga berani memenjarakan Ilahnya Nabi Ibrahim?

Dalam hati saya malah berbisik, seharusnya kalau ada orang yang bisa percaya bahwa Tuhan itu ada, ia perlu bersyukur. Tidak semua manusia, apalagi di zaman edan ini, bisa dapat anugerah seperti itu. Kalau dia bisa percaya ada Tuhan yang Esa (mungkin ada yang lebih suka menyebut tauhid, atau ekhad..., yah terserah) itu anugerah yang jauh lebih baik lagi. Kalau ia bahkan bisa dengan yakin Tuhan Yang Esa itu tadi adalah Pribadi yang bisa ditemuinya dalam ibadah dan doa, bahkan mau mendengar doanya, wah... entah harus sebanyak apa lagi bersyukurnya. Lebih lagi kalau dia bisa memegang kitab suci yang berasal dari sumber yang sama, bahkan menjadi pemandu-pemandu dunia... Tapi mungkin kita malah tak pernah bersyukur buat hadiah semahal itu. Mungkin juga gak puas lantas ingin memiliki semuanya sendiri.... Nah mosok Kitab Suci, Para Nabi dan Tuhan disamakan dengan kekayaan duniawi? Punya hak apa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun