Jakarta sebagai ibukota negara merupakan pusat pemerintahan, sekaligus pusat perekonomian di Indonesia. Hal tersebut menjadi daya tarik pendatang untuk mengadu nasib dan menetap. Mereka datang dari berbagai daerah dengan suku yang berbeda-beda, memengaruhi eksistensi penduduk asli Jakarta yang bersuku betawa.
Perkembangan kota Jakarta menjadi kota metropolitan secara perlahan dan sadar menyingkirkan penduduk aslinya. Pembangunan gedung-gedung pencakar langit yang di bangun untuk lapangan pekerjaan, hotel, dan apartemen yang dibangun untuk tempat tinggal yang bernuansa modern, serta mall - mall yang ada untuk memuaskan kebutuhan.
Penduduk asli Jakarta nyatanya tak banyak bertahan melawan kuatnya arus pembangunan. Tanah-tanah yang mereka miliki dan tempat mereka tinggal dulunya sangat luas, kini perlahan-lahan pindah tangan "dijual". Tingkat pendidikan mereka yang rendah serta jiwa religius yang sangat kuat membuat mereka mudah tergiur dengan uang. Uang yang mereka dapatkan dari hasil menjual tanah kebanyakan digunakan untuk naik haji.
Kini Jakarta bukan lagi milik suku betawi tetapi Jakarta milik semua suku yang tinggal di dalamnya. Suku Betawi mulai menyingkir ke pinggiran Jakarta ataupun daerah lain yang berdekatan dengan Jakarta, seperti Depok, Tanggerang, Bogor, dll. Mereka menjual tanah dengan harga yang mahal dan membeli tanah lagi di daerah tersebut dengan harga yang lebih murah, sisa dari uang itulah yang digunakan mereka untuk naik haji atau ditabung.Â
Nampaknya fenomena tersebut dianggap sebagai masalah oleh Pemerintahan Kota Jakarta, Suku Dinas Kebudayaan. Semakin tersingkirnya Suku Betawi membuat Jakarta kehilangan identitasnya. Maka dari itu dibuatlah Pelestarian Suku Betawi pada suatu daerahdi Jakarta.
Awalnya daerah Condet, Jakarta Timur ditargetkan untuk menjadi Cagar Budaya Betawi pada masa pemerintahan Gubernur Sutiyoso tetapi sayangnya gagal. Hal tersebut dikarenakan penduduk dari Suku Betawinya yang mulai berkurang dan semakin berkembangnya daerah Condet sebagai pusat penjualan minyak wangi.
Berdasarkan penelitian Amri Marzali, Guru Besar FISIP UI menuliskan bahwa strategi pembangunan Cagar Budaya Condet sebenarnya sudah ada sejak zaman Ali Sadikin (1966-1977). Pada masa itu Condet adalah daerah pedesaan, meskipun masih di dalam wilayah Jakarta. Hal itu dikarenakan letaknya yang ada di pinggiran kota, sehingga tidak terlalu terpengaruh oleh pesatnya pembangunan.Â
Penduduknya asli Suku Betawi yang masih terisolasi dari pusat kota, mereka bekerja sebagai petani buah yang memiliki banyak kebun. Kondisi seperti itulah yang membuat Condet terpilih sebagai Cagar Budaya Betawi.
Pada tahun 1972 terjadi pembangunan jalan raya yang membelah Condet, membentang dari Cililitan hingga Cijantung. Hal tersebut membuka akses Condet dengan pusat kota yang dulunya terisolasi. Tujuan utama pemerintah adalah untuk mempermudah distribusi hasil petani condet ke pusat kota.Â
Namun ternyata hal tersebut juga dimanfaatkan oleh penduduk di pusat kota, mereka membeli tanah untuk membangun rumah dikarenakan harganya yang masih rendah. Kebun-kebun yang dulunya ditanami dukuh dan salak kini berubah menjadi perumahan. Penduduk asli betawi yang menjual tanahnya itu tersingkir ke luar Jakarta. Condet telah berubah.
Oleh karena itu, dicarilah daerah lain yang cocok untuk dijadikan pelestarian budaya betawi. Sebagai gantinya, terpilihnya daerah Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan sebagai perkampungan Budaya Betawi. Disana daerahnya masih asri, banyak pohon-pohon buah khas betawi seperti kecapi, belimbing, rambutan, sawo, pepaya, melinjo, dan nangka yang tumbuh di halaman rumah maupun di sekitar Setu.