Sukuk telah menjadi salah satu instrumen utama dalam pasar keuangan syariah, berkembang pesat di berbagai negara, termasuk Indonesia. Dalam pasar modal, sukuk sering dianggap setara dengan obligasi.Â
Namun, keduanya memiliki perbedaan mendasar, terutama dalam cara kerja dan landasan hukumnya. Sukuk dirancang untuk memenuhi prinsip-prinsip syariah, sehingga menjadi pilihan utama bagi investor yang menghindari praktik riba, gharar (ketidakjelasan), dan maisir (spekulasi).
1. Pengertian dan Karakteristik SukukÂ
Sukuk adalah sertifikat atau surat berharga yang merepresentasikan kepemilikan atas aset nyata, proyek, atau aktivitas produktif tertentu. Berbeda dengan obligasi konvensional yang berbasis utang, sukuk mencerminkan pembagian kepemilikan pada aset yang menjadi dasar penerbitannya.Â
Aset tersebut dapat berupa aset fisik seperti tanah, bangunan, atau proyek infrastruktur. Investor yang membeli sukuk berhak atas pendapatan dari aset tersebut, seperti pendapatan sewa atau hasil usaha yang sesuai dengan akad syariah. Â
Karakteristik utama sukuk meliputi: Â
1. Sukuk harus didukung oleh aset riil yang dapat menghasilkan pendapatan. Misalnya, sukuk ijarah didasarkan pada sewa aset seperti gedung perkantoran atau fasilitas transportasi. Â
2. Keuntungan yang diperoleh investor berasal dari hasil operasional aset, bukan bunga yang tetap. Hal ini sesuai dengan ketentuan Islam yang melarang riba. Â
3.Sukuk dapat disusun berdasarkan berbagai jenis akad, seperti mudharabah (bagi hasil), musyarakah (kerja sama), ijarah (sewa), atau wakalah (perwakilan). Â
2. Prinsip Dasar Syariah dalam Sukuk
Penerbitan sukuk harus mematuhi prinsip-prinsip syariah yang diawasi oleh dewan pengawas syariah. Prinsip ini meliputi beberapa aspek penting: Â
a.Sukuk tidak boleh memberikan bunga tetap kepada pemegangnya. Sebagai gantinya, investor memperoleh pendapatan dari hasil nyata yang dihasilkan oleh aset dasar. Â
b.Semua informasi tentang aset, risiko, dan potensi pendapatan harus jelas. Ini menghindari gharar atau ketidakjelasan yang dilarang dalam Islam. Â
c. Dana yang dihimpun melalui sukuk harus digunakan untuk pembiayaan proyek atau usaha yang halal, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, atau kesehatan. Â
d. Dalam struktur sukuk, risiko dan keuntungan dibagi secara adil antara penerbit dan investor. Â
Prinsip-prinsip ini menjadikan sukuk sebagai instrumen keuangan yang etis, tidak hanya untuk umat Muslim tetapi juga menarik bagi investor global yang mencari instrumen berbasis aset dengan pengelolaan risiko yang jelas. Â
3. Perbedaan Sukuk dengan Obligasi Konvensional
Meskipun sering dianggap mirip, sukuk dan obligasi konvensional memiliki perbedaan mendasar: Â
a.Obligasi berbasis utang, sementara sukuk berbasis aset. Pemegang obligasi adalah kreditur, sedangkan pemegang sukuk adalah pemilik bersama aset atau proyek tertentu. Â
b.Obligasi memberikan bunga tetap, sedangkan sukuk memberikan pendapatan berdasarkan hasil nyata dari aset atau proyek. Â
c.Dalam obligasi, risiko utamanya adalah gagal bayar oleh penerbit. Dalam sukuk, risiko lebih beragam karena terkait dengan kinerja aset dasar. Â
d.Sukuk diawasi oleh dewan pengawas syariah untuk memastikan kepatuhannya terhadap prinsip Islam, sedangkan obligasi konvensional tidak memiliki batasan ini. Â
Sebagai contoh, jika sebuah perusahaan menerbitkan sukuk untuk membangun pabrik, investor memiliki bagian kepemilikan atas pabrik tersebut dan menerima pendapatan dari hasil produksinya. Di sisi lain, dalam obligasi, investor hanya meminjamkan uang kepada perusahaan dan menerima bunga tetap. Â