Di dalam konstitusi, pemilu harus konsisten dilaksanakan setiap lima tahun. Pasal 22E ayat 1 UUD 1945 mengatakan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun.Â
Jadi sangat jelas di situ secara tekstual bahwa pemilu harus diselenggarakan setiap lima tahun. Artinya, upaya-upaya untuk menundanya adalah tindakan inkonstitusional yang harus dicegah sedini mungkin.
Negara harus bertumpu dan berdiri di atas konstitusi, supaya tidak terjebak ke dalam praktek nepotisme sistem yang berakibat pada rapuhnya demokrasi yang di bangun sejak tahun 1998. Karena itu, upaya-upqya untuk mendongkel konstitusi atau bahkan mengabaikannya --tidak taat pada pasal-pasal pemilu-- itu adalah perbuatan-perbuatan yang musti dihalangi oleh kita sebagai generasi bangsa.
Tentu bukan tanpa alasan, sebab kekuasaan itu membuat orang terlena dan tidak ingin turun dari kursinya. Bahaya ini tidak boleh dilanjut dan harus dicegah semaksimal mungkin. Mencegah sejarah kelam terulang kembali demi menunaikan janji-janji reformasi yang konsekuen atas prinsip-prinsip demokrasi, salah satunya adalah membatasi masa jabatan presiden hanya lima tahun saja.
Sebab, penting untuk diingat bahwa jabatan itu ada masanya bukan selama-lamanya. Dan jangka waktunya sudah disepakati perlima tahun. Itulah demokrasi, yaitu mengatur masa jabatan sesingkat mungkin, supaya sirkulasi elit berlangsung terus menerus untuk mencegah totalitarianisme dan otoritarianisme, seperti yang kita alama di era orde baru.
Barang tentu, politisi kita hari-hari ini terutama aktivis 98 yang masih manggung di pentas politik nasional, mereka perlu refleksi ulang betapa orde baru itu yang sangat lama masa jabatannya, sangat potensial dengan konflik kepentingan; korupsi, kolusi dan nepotisme semakin lebar dan begitu seterusnya.Â
Tentu saja problem orde baru muncul adalah akibat dari surplusnya jabatan yang dipegang oleh Soeharto selama 32 tahun lamanya. Kenapa sejarah orde baru justru terlupakan oleh bangsa ini bila ditautkan dengan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan? Bukankah itu adalah pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi?
Tetapi sekali lagi, peristiwa ini tentu dilematis. Satu sisi kita harus taat konstitusi, sisi yang lain ada hantu covid 19. Tetapi jika melihat pilkada serentak 2020, apa alasannya pemilu 2024 mau ditunda? Toh covid belakangan ini jauh lebih mereda ketimbang pada saat pilkada sebelumnya berlangsung?
Oleh karena itu, pemilu adalah momentum untuk evaluasi kepemimpinan negeri ini. Maka menurut saya, sebaiknya dipikirkan kembali soal wacana penundaan pemilu 2024 demi kemaslahatan umat dan bangsa, para elit politik tidak hanya mementingkan nasib partai politiknya saja, akan tetapi memikirkan kondisi kegentingan yang harus di utamakan bagaimana mengembalikan kelumpuhan ekonomi serta focus pada kesejahteraan masyarakat. Kondisi saat ini memang terlalu miris jika hanya memprioritaskan urusan politik belaka.
Selain itu, bangsa ini tidak boleh terjebak ke dalam lubang yang sama untuk yang kedua kalinya. Menunda dan memperpanjang masa jabatan adalah sinyal awal bahwa bangsa ini akan terpelosok ke dalam jurang yang sama seperti era orde baru.
Dan terakhir, kita mau pilih yang mana; pemilu ditunda dengan alasan covid 19 sambil melanggar konstitusi atau pemilu tetap jalan dalam upaya menjaga regenerasi pemimpin?