Aceh atau dulu dikenal dengan Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang berada di ujung utara pulau Sumatera. Aceh menjadi daerah otonomi khusus melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Melalui UUPA ini, negara memberikan wewenang khusus kepada provinsi Aceh seperti membuat Qanun, memiliki partai lokal, menyelenggarakan pemerintahan yang berlandasakan syariah Islam dan adat istiadat, serta yang lain-lainnya.
Salah satu kekhususan Aceh yang tertulis di dalam UUPA adalah adanya sebuah lembaga adat yang disebut dengan Lembaga Wali Nanggroe (LWN). Â Pada dasarnya LWN ini sebagai amanah dari kesepakatan damai (MoU Helsinki) yang tercantum di dalam poin 1.1.7. MoU Helsinki.Â
Selanjutnya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yaitu pasal 96 ayat (4) dan Pasal 97 tentang Wali Nanggroe. LWN ini sebagai pemersatu rakyat Aceh, pemelihara adat istiadat Aceh, menegakkan keadilan, mewujudkan pemerintahan aceh yang makmur dan sejahtera, menjaga perdamaian aceh dan sebagainya.
Namun, Â hal tersebut berbanding terbalik yang dirasakan oleh masyarakat Aceh sendiri. Dewasa ini keberadaan LWN ini tidak dirasakan oleh masyarakat. LWN hanya menjadi sebuah pajangan dan tontonan masyarakat dengan menara gadingnya yang megah. Fungsinya sebagai lembaga adat yang mempersatukan masyarakat Aceh tidak dirasakan masyarakat.
Tidak ada suatu program kinerja yang konkrit dari lembaga ini yang berpengaruh bagi masyarakat Aceh sendiri. Bahkan dari hasil wawancara yang dilakukan oleh tim ALSA Unsyiah banyak masyarakat Aceh dan mahasiswa pada umumnya tidak mengetahui apa fungsi dari lembaga ini, dan tidak merasakan efektifitas kinerja dari lembaga adat Aceh ini. Masyarakat hanya mengetahui nama dan keberadaan lembaga ini saja. Lembaga Wali Nangroe hanya sebagai lembaga kaya institusi, tapi miskin fungsi.
Sederetan polemik tentang LWN ini pun bermunculan. Salah satunya dari penyataan dari senator asal Aceh, Ghazali Abbas Adan (13/11/2018) di jakarata, yang menyatakan bahwa LWN tidak diperlukan lagi. Menurutnya LWN tidak memberikan nilai tambah untuk Aceh.
Anggaran yang diterima dan yang dikeluarkan oleh LWN ini pun tidak transparan, tidak tau kemana saja anggaran itu dipergunakan dan apa manfaat untuk masyarakat Aceh. Senator asal Aceh ini juga menambahkan angaran untuk LWN tersebut bisa dialokasikan untuk hal-hal yang menjadi prioritas pembangun Aceh Hebat saja.
Penyataan Ghazali Abbas Adan tersebut menimbulkan polemik baru terhadap LWN ini, sehingga menimbulkan pro dan kontra di dalam masyarakat Aceh. Banyak juga masyarakat terutama dari kombatan Gerakan Aceh Merdeka yang menyayangkan penyataan tersebut dan meminta kepada senator Aceh tersebut agar menark kembali penyataannya karena akan ditakutkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Menanggapi hal tersebut, penulis berpandangan bahwa apa yang terjadi saat ini bisa menjadi nilai dan bahan evaluasi untuk pemerintah Aceh dan wali nanggroe sendiri agar lembaga ini bisa menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana mestinya.
Lembaga Wali Nanggroe  menjadi salah satu bukti perdamaian antara Aceh dengan Indonesia. Lembaga ini lahir melalui sebuah kesepakatan damai (MoU Helsinki) dan telah dicantumkan di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006.