Padang - Digitalisasi perpajakan telah menjadi topik hangat dalam beberapa tahun terakhir. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) masih terus melakukan upaya pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (coretax sytem) atau lebih dikenal dengan istilah PSIAP.
Melalui proyek Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) dan pengembangan sistem informasi berbasis commercial off-the-self (COTS), semakin memudahkan proses wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Namun, sisi lain dari kemudahan ini ada kekhawatiran bahwa ini justru dapat meningkatkan penghindaran pajak, terutama dengan semakin besarnya shadow economy dan potensi penyalahgunaan teknologi untuk menghindari pajak.
Shadow economy adalah aktivitas ekonomi yang tidak dilaporkan secara resmi kepada pemerintah atau lembaga perpajakan. Dengan berubahnya struktur ekonomi yang mengarah pada digitalisasi dan tingginya sektor informasi bisa meningkatkan shadow economy yang bisa mempengaruhi penerimaan pajak di masa mendatang.
Faktor lain yang dapat menyebabkan munculnya shadow economy :
1. Pajak Tinggi
Tingkat pajak yang tinggi atau sistem perpajakan yang kompleks dapat mendorong idividu dan perusahaan untuk mencari cara-cara untuk menghindari atau mengurangi kewajiban pajak mereka.
2. Biaya kepatuhan
Terkadang biaya dan kerumitan untuk mematuhi semua peraturan dan persyaratan perpajakan yang berlaku dapat menjadi beban yang besar bagi beberapa individu atau bisnis.
Selain itu, digitalisasi perpajakan yang seharusnya mempermudah proses pelaporan dan pembayaran pajak, justru dapat dimanfaatkan oleh pelaku shadow economy untuk menghindari pajak. Salah satu contoh adalah penggunaan teknologi enkripsi dan cryptocurrency yang bisa digunakan untuk menyembunyikan aset dan transaksi.
Selain itu, adanya perusahaan digital internasional yang beroperasi di berbagai yurisdiksi juga menimbulkan tantangan dalam menentukan tempat di mana pajak harus dibayar.