Waktu dulu kerja di kampung-kampung di negeri Sudan (Afrika) saya sempat dicap sombong oleh kawan-kawan orang sana gara-gara makan dari piring sendiri (waktu itu saya sering makan mie instan). Sebetulnya, saya bersama-sama makan dengan orang-orang lain di ruangan atau pojokan yang sama, tetapi kawna-kawan saya makan dari nampan bersama.
Karena tidak enak, lama-lama saya berubah. Jadi ikut makan dari nampan bersama.
Tapi ternyata masih dicap sombong juga. Gara-garanya saya mengambil-ambil makanan-makanan dan menumpuknya di sisi terdekat. Persis seperti orang Indonesia kalau makan bersama pakai jejeran daun-daun pisang. Potong ayam. Ambil nasi. Colek sambal. Comot sayuran. Tumpuk-tumpuk sampai lengkap dan menggunung.
Di Sudan, orang makan bersama-sama dari satu nampan, comot pakai tangan, dan langsung masuk mulut. Tidak dikumpulkan menjadi tumpukan pribadi.
Awalnya geli juga. Kebersihan tangan orang kan siapa tahu? Apalagi makanannya lebih dominan kacang-kacangan yang dibuat seperti bubur tapi tidak cair betul. Tangan mesti sering mondar mandir menyomot makanan lalu ke mulut.
Kalau pun tersedia daging-dagingan, cara makannya tak jauh berbeda.
Setelah kembali ke Jakarta, lama waktu berlalu, saya mengalami masalah kesehatan gegara makan kebablasan. Kebanyakan makan, gerak kurang, akhirnya divonis tipe 2 diabetes atau awam mengenalnya sebagai penyakit gula.
Jadi teringat pengalaman kerja di Sudan, yang sepertinya memberi pelajaran penting.
Selama ini makan lebih sering dilihat sebagai perilaku individual alias pribadi alias privat. Urusan nafsi-nafsi alias dewe-dewe.
Jangan-jangan makan lebih berdampak positif bagi sehat jika tidak dilihat sebagai perilaku individual.