Banyak yang salah tangkap dengan judul di atas. Dipikir mengecilkan masalah. Padahal maksudnya bukan begitu.
Seperti umumnya masalah pembangunan, sebelum dipecahkan mesti didudukkan dulu. Salah satunya dari variabel penting/ tak penting & variabel urgen/ tak urgen (genting/ tidak genting).
Masalah tidak penting (tidak berdampak serius) tak perlu diperioritaskan. Tapi stunting jelas penting karena masif dan berdampak besar. Risiko otak minimalis atau kena penyakit tidak menular (kanker, jantung, diabetes dll.) saat dewasa jelas serius.
Tapi apakah urgen? Apakah harus segera dibereskan? Atau lebih tepatnya, apakah bisa dibereskan segera? Ini urusan durasi intervensi. Prosesnya sebentar atau lama?
Di sini persoalannya. Stunting itu kronis. Akibat masalah bertahun-tahun, bertumpuk. Mencegahnya perlu dengan membangun perilaku-perilaku sehat dari dini secara istiqomah alias jangka panjang. Apalagi untuk "mengobatinya".
Remaja putri mesti makan makanan bergizi seimbang. Tapi karena kadung anemia, mereka mesti teratur minum TTD (Tablet Tambah Darah).
Ibu hamil juga mesti makan makanan bergizi seimbang. Bahkan, tambah makanan selingan supaya berat badan naik min 12 kg. Lagi-lagi, karena anemia, minum TTD atau MMS, multivitamin ibu hamil.
Setelah itu, bayi diberi ASI Eksklusif. Saat 6 bulan, MPASI. Orang tua/ pengasuh mesti rajin cuci tangan pakai sabun di 5 waktu penting supaya apa yang sudah dimakan anak tidak terbuang sia-sia gegara diare. Imunisasi dimulai sejak lahir. Kalau tidak, apa yang dimakan habis melawan bibit penyakit yang menginfeksi, bukan untuk pertumbuhan. Dan lain-lain dll.
Karena perilaku jangka panjang, intervensi edukasi atau komunikasi menjadi penting. Tapi edukasi atau komunikasi tidak bisa buru-buru. Tidak bisa dengan menakut-nakuti (intervensi emosi sifatnya sesaat). Tidak bisa dipaksa sehingga tidak rela karena perilaku istiqomah hanya dari kerelaan dan pemahaman kuat. Jadi, orang tua mesti belajar. Agar mau aktif dalam pembelajaran, mereka mesti senang dan percaya pada komunikatornya (tenaga kesehatan atau nakes).Â
Jangan memojokkan orang tua. Jangan buat tersinggung. Jangan buat sedih. Sikap mesti apresiatif.
Mengatakan anaknya stunting, pendek, kerdil, atau otak tidak berkembang, akan membuat mereka menarik diri. Dalam pengukuran berat badan, misalnya, jangan bilang: Anak ibu kurang gizi tapi bilang: Ayo, Bu! Dikit lagi berat badannya jadi pas.
Lebih jauh, intervensi harus sistemik. Sistem komunikasi dibenahi. Barisan komunikator dilatih agar menguasai masalah, pintar bangun hubungan, dan trust (kebanyakan orang kita kan lebih percaya pada yang sudah akrab bukan perkara ijazah).
Jadi begitu. Penting tapi tidak genting. Tidak bisa terburu-buru. Ini bukan KLB, kok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H