Sebagian perilaku ditopang oleh norma komunitas. Sehingga, intervensi untuk perubahan perilaku-nya tidak bisa mengandalkan keputusan individual semata. Contoh, perilaku merokok. Merokok kerap dilakukan bersama-sama dan bukan hanya bersama tapi ada nilai kebersamaannya. Norma itu membuat seseorang yang tidak ikut merokok merasa kurang nyaman.
Kita tidak bisa mengajak orang berhenti merokok dengan hanya menyampaikan pesan-pesan tentang bahaya merokok (seperti jantung atau kanker), keuntungan menabung atau menggunakan uang rokok untuk gizi anak, atau menggambarkan para kapitalis yang menari-nari di atas penderitaan rakyat miskin (biasanya pesan untuk anak muda).
Jika ditopang norma komunitas (aturan tidak tertulis yang diikuti), maka intervensi perubahan perilaku mesti diarahkan untuk mengubah norma.
Ada dua pendekatan yang bisa dipertimbangkan untuk menata ulang norma komunitas. Pertama, mengembangkan kesepakatan baru komunitas, khususnya bila anggota-anggota komunitasnya cukup setara dan otonom (bila pun ada pemimpin atau tetua, mereka tidak mendominasi penuh). Di sini, intervensi perubahan perilaku dapat mengambil bentuk-bentuk kegiatan seperti memfasilitasi rembug komunitas, ansos, belajar bersama dan beraksi atau bentuk-bentuk partisipatif lainnya.
Di sini, komunikator mengambil posisi sebagai fasilitator proses atau seperti seorang bidan, yang membantu ibu hamil bersalin tapi bayinya sendiri bukan bayi si Ibu Bidan. Fasilitator membantu warga agar dapat menyampaikan pendapat-pendapat dengan rasa nyaman untuk didengar, didiskusikan, dan kemudian dikerucutkan dan disepakati action points-nya. Fasilitator sendiri tidak berpendapat tapi fokus pada proses dialognya. Kalaupun berpendapat, dia akan minta ijin mengganti topinya dulu -- dari topi fasilitator ke warga biasa.Â
Warga yang ikut berembug mesti berasal dari beragam kelompok dan mereka mesti aktif berpartisipasi sehingga kesepakatan yang muncul merupakan hasil kerja bersama, tanpa ada anggota yang merasa ditinggalkan.
Yang kedua adalah perubahan norma via kepemimpinan. Pendekatan ini lebih pas untuk komunitas yang peran pemimpin atau tetua sangat dominan. Kalau sikap pemimpin berubah, berubah pula norma di komunitas.
Bentuk-bentuk kegiatan yang bisa dipertimbangkan adalah lobi-lobi, diskusi advokasi, kerjasama dengan tokoh yang dapat mempengaruhi pemimpin atau tetua komunitas, penyampaian komitmen di depan umum (via media massa atau lainnya), studi banding (agar pemimpin mendapat wawasan baru) dan lain sebagainya.
Hati-hati, jangan tertukar. Kalau pemimpin dominan, jangan malah membuka ruang partisipasi warga secara luas. Tapi, urus dulu para pemimpinnya.
Kalau komunitasnya egaliter dan otonom, jangan cuma mendekati pemimpin saja. Apalagi sampai berinvestasi banyak pada mereka, seperti mengajak studi banding jauh-jauh atau lainnya. Rugi dong, karena perubahan sikap pemimpin tidak berdampak besar pada sikap komunitas.
Kembali ke isu merokok, apakah bila norma komunitas sudah berubah lantas akan terjadi perubahan di tingkat individual. Untuk merokok rasanya sulit berlaku seperti itu. Ada faktor adiktif. Adiktif itu urusannya tubuh masing-masing. Jadi mesti ada intervensi untuk mengurangi adiksi.
Hmm, rumit ya?
Kalau untuk merokok, memang rumit. Tapi perilaku lainnya, misalnya makan, kebersihan lingkungan, berobat, dll., mungkin tidak serumit itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H