Pagi-pagi motoran ke kantor via Casablanca. Saat mau menyalip angkot yang berjalan slow, terlihat supir merokok. Menghisap sebentar lalu dijuntaikan tangannya ke luar. Mungkin supaya orang-orang di dalam angkot tidak kerokokan.
Tapi terhindari 100% pasti sulit karena sebagian asap pasti masuk ke kabin.
Lantas, kemana aturan KTR? Kawasan Tanpa Rokok? Bukankah angkot masuk dalam KTR?
Mengatur-atur perilaku orang dengan aturan-aturan termasuk dalam E pertama intervensi perubahan perilaku. E itu singkatan dari Enforcement. Orang berubah perilaku karena takut atau menghindari hukuman ataupun denda.
E yang kedua adalah Engineering. Di sini pengaturan perilaku orang dilakukan dengan rekayasa lingkungan fisik. Contohnya adalah putaran di bawah jembatan di dekat Sampoerna Strategic Square. Di bawah jembatan itu ada putaran balik yang hanya boleh dilalui motor. Mobil tidak boleh. Cara membuat mobil tidak boleh lewat bukan dengan larangan atau ancamaan denda tapi jalannya disempitkan dengan blokade beton sehingga hanya motor yang bisa masuk.
E yang ketiga adalah Education yang berbeda dengan Enforcement atau Engineering karena orang berubah perilaku bukan terpaksa akibat keterbatasan lingkungan atau karena hukuman, tetapi karena pilihan.
Misalnya, orang kan bisa memilih merokok atau tidak merokok. Namun, karena orang mendapatkan pesan bahaya merokok, maka dia pun memandang tidak merokok lebih baik sehingga memilih tidak merokok. Selain pilihan pribadi, bisa perilaku dikarenakan mengikuti saran orang lain (meski ybs mungkin tidak benar-benar paham atau setuju).
Kembali ke urusan rokok pak supir. Aturan sudah ada. Tapi karena pengawasan tidak optimal, maka sulit diterapkan.
Sebetulnya pengawasan ini bukan hanya urusan berapa banyak jumlah penegak hukum yang dikerahkan tapi lebih banyak terkait dengan berapa banyak orang yang tidak patuh. Patokannya adalah proporsi warga yang mesti dibereskan perilakunya. Kalau jumlahnya banyak, ya Enforcement tidak akan efektif. Cuma buang-buang uang saja. Malahan akan back-fire, menurunkan kredibilitas penegakan hukum.